Munas I Agupena: Momentum Mewujudkan Gerakan Guru (Indonesia) Menulis

Kategori Opini Oleh

Oleh: Sawali Tuhusetya, Anggota Steering Committee Munas I Agupena

Jika tak ada aral melintang, Pengurus Pusat Asosiasi Guru Penulis Indonesia (Agupena) akan menggelar Musyawarah Nasional (Munas) I pada 29-31 Juli di Kampus Unis Tangerang dan Hotel Permata Mulia, Tangerang Selatan, Banten. Tema besar yang diangkat adalah “Penguatan Peran Guru Penulis dalam Meningkatkan Kualitas Masyarakat dan Pendidikan”.

revSelain memilih Ketua Umum Agupena Pusat yang baru, menetapkan/mengubah AD/ART Agupena, memusyawarahkan berbagai permasalahan internal Agupena, dan merumuskan berbagai rekomendasi demi kemajuan dunia pendidikan di Indonesia, baik untuk dilaksanakan oleh Pengurus Pusat Agupena maupun diusulkan kepada berbagai pihak terkait, Munas yang akan dihadiri Mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Prof. Dr. H. Fasli Djalal dan Mantan Kepala Dinas Pendidikan Banten, Drs. H. Hudaya Latuconsina itu, juga meluncurkan buku Bunga Rampai Pendidikan bertajuk Membangun Kapasitas Guru Penulis yang merupakan kumpulan esai pendidikan karya para penggiat Agupena di seluruh tanah air. Selain itu, juga pemberian anugerah Agupena Award kepada para tokoh yang dinilai memiliki jasa besar terhadap kelahiran Agupena.

Guru sebagai Pencerah Peradaban

revSejatinya, guru merupakan pencerah peradaban. Dari tangannya telah lahir banyak tokoh bersejarah –dengan semangat zamannya– yang telah berhasil menorehkan tinta emas dalam perjalanan berbangsa dan bernegara. Dinamika hidup dan kehidupan negeri ini, dengan segenap keriuhan kemajuan, modernitas, dan globalitasnya, tak luput dari sentuhan seorang guru. Beragam profesi –dengan berbagai disiplin ilmunya masing-masing– yang tersebar di seantero negeri, diakui atau tidak, pernah mendapatkan sentuhan “tangan dingin” seorang guru. Meski jasa mereka tak jarang terabaikan, kehadiran sosok guru tak pernah tergantikan. Mereka tetap berada di garda terdepan dalam memberikan pencerahan di tengah dinamika dan silang-sengkarutnya peradaban.

Namun, seiring dengan tantangan dunia pendidikan yang kian rumit dan kompleks, guru agaknya membutuhkan “asupan” lain agar tetap bisa berkiprah sebagai pencerah peradaban, yakni menulis. Guru –meminjam bahasa Pramoedya Ananta Toer– boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Ini artinya, sehebat apa pun guru terampil mengajar, peran kemanusiaannya –sebagai pencerah peradaban– tidak bisa ditunaikan dengan baik sepanjang mereka tidak mengakrabi dunia kepenulisan. Mereka hanya dikenal sebagai tukang ajar yang menerapkan kurikulum sekolah secara sempit dan belum sanggup berkiprah sebagai guru inspiratif yang menerapkan kurikulum kehidupan yang sesungguhnya. Dalam konteks demikian, menulis sejatinya merupakan “fitrah kemanusiaan” seorang guru sebagai agen pembelajaran yang harus terus-menerus memberikan pencerahan di tengah dinamika zaman.

Gerakan Guru (Indonesia) Menulis
Dalam konteks demikian, Munas I pada akhir Juli 2016 mendatang perlu mengambil peran untuk mewujudkan Gerakan Guru (Indonesia) Menulis. Munas I menjadi momentum yang strategis bagi Agupena untuk merumuskan langkah dan agenda penting dalam memberikan “asupan” guru Indonesia dalam dunia kepenulisan.

Di tengah maraknya organisasi profesi guru dengan berbagai slogan dan tagline-nya, sepanjang pengamatan awam saya, Agupena tak didesain untuk menjadi institusi yang memosisikan diri sebagai organisasi oposisi sebagai bentuk perlawanan terhadap organisasi profesi guru yang dianggap telah gagal memperjuangkan aspirasi guru. Kelahiran Agupena bukan dilandasi semangat resistensi terhadap carut-marut dunia keguruan, melainkan lebih dilandasi oleh semangat untuk melakukan perubahan melalui aksi-aksi konkret yang bersentuhan langsung dengan dunia kepenulisan. Senjata Agupena adalah pena sebagai alat bedah untuk menyalurkan pemikiran-pemikiran kritis, kreatif, cerdas, dan mencerahkan yang diharapkan mampu membangun nilai-nilai kesejawatan antarguru, sehingga sosok pendidik di negeri ini memiliki posisi tawar yang lebih terhormat dan bermartabat, tidak lagi terpinggirkan akibat ketidakberdayaan guru dalam menghadapi berbagai persoalan rumit yang menelikungnya, terlebih dengan hadirnya Permen PANRB Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya yang mewajibkan guru untuk menyusun publikasi ilmiah dan/atau karya inovatif agar bisa naik pangkat.

Agupena juga tak tertarik untuk memasuki wilayah politis-ideologis yang seringkali dapat memicu sentimen primordial dan kesukuan. Ia lintasbudaya, lintasagama, dan tidak berafiliasi ke dalam partai politik apa pun. Kalau toh ada sebutan wilayah teritorial, semacam nama provinsi atau kabupaten/kota, semata-mata itu sekadar penanda untuk memudahkan manajemen organisasi yang memang didesain secara berjenjang sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati. “Roh” Agupena bisa tumbuh dan hidup kapan dan di mana saja, tanpa belenggu ranah ruang dan waktu. Agupena bisa ada di mana-mana dengan beragam karakter pengurus dan anggotanya, tetapi visi dan misinya tetap mengacu pada nilai-nilai universalitas untuk membangun jejaring sosial yang mampu memberdayakan guru dalam mengembangkan talenta kepenulisannya.

Dalam situasi seperti itu, guru abad ke-21 agaknya juga perlu memperkuat jejaring sosial untuk melakukan Gerakan Guru (Indonesia) Menulis yang secara kolektif dan masif bergerak bersama untuk mewujudkan Indonesia yang berkeadaban dengan kultur literasi yang mengagumkan.  Melalui sebuah komunitas, suara guru yang tersalurkan melalui tulisan akan lebih bergaung sehingga harapan untuk melakukan sebuah perubahan itu dapat terwujud.

Guru perlu menjadi “pionir” Gerakan Guru (Indonesia) Menulis dengan senantiasa mengabadikan pemikiran-pemikiran kritis dan kreatifnya melalui tulisan. Gerakan ini juga senada dengan budaya literasi yang kini tengah masif digencarkan oleh pemerintah. Melalui tulisan, pemikiran-pemikiran cerdas dan bernas dari seorang guru tidak akan menguap begitu saja di tengah riuhnya peradaban.

Menulis merupakan aktivitas dinamis yang selalu bersentuhan dengan kepekaan kita dalam merespons berbagai persoalan yang terjadi. Agar mampu menjadi “pionir” Gerakan Guru (Indonesia) Menulis, seorang guru perlu menjaga atmosfer kepenulisan agar “adrenalin” kita untuk melahirkan tulisan-tulisan yang mencerahkan bisa terus eksis dan terjaga. Dalam konteks demikian, jejaring sosial guru perlu diperluas dengan terlibat aktif dalam berbagai organisasi profesi yang secara intensif mampu merangsang “adrenalin” kepenulisan. Salah satu organisasi profesi guru yang dinilai mampu menciptakan “adrenalin” kepenulisan adalah Asosiasi Guru Penulis Indonesia (Agupena) yang berupaya serius untuk mengawal marwah dan martabat guru menjadi lebih profesional melalui gerakan dan aksi-aksi kepenulisan.

Sudah saatnya menulis menjadi kultur baru bagi para guru yang diposisikan sebagai agen pembelajaran yang harus memiliki kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian. Peran kemanusiaan sebagai guru kreatif dan inspiratif akan cepat menguap di tengah belantara informasi apabila guru “lumpuh” menulis. Kini, pilihan terbentang di depan mata. Mau menjadi guru inspiratif yang sanggup mengilhami peserta didik menjadi sosok yang cerdas dan berkarakter melalui tulisan atau menjadi guru kurikulum yang memosisikan siswa sebagai “robot” peradaban akibat kealpaan kita dalam mengabadikan pemikiran-pemikiran kritis, kreatif, cerdas, dan mencerahkan.

Nah, selamat menyongsong Munas I Agupena, semoga berlangsung lancar dan sukses, serta mampu merumuskan langkah dan agenda strategis dalam “menggerakkan” guru di seluruh pelosok nusantara untuk menulis, menulis, dan menulis. **

Catatan:
Dengan berbagai pertimbangan dan masukan dari Pembina Agupena Pusat, Munas I diundur. Diperkirakan akan berlangsung pada bulan Oktober 2016, dengan harapan Munas tidak hanya sekadar memilih ketua umum, tetapi juga ikut berkiprah membahas isu-isu nasional yang terkait dengan masalah pendidikan. Terima kasih dan mohon maaf…

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

6 Comments

  1. “Nah, selamat menyongsong Munas I Agupena, semoga berlangsung lancar dan sukses, serta mampu merumuskan langkah dan agenda strategis dalam “menggerakkan” guru di seluruh pelosok nusantara untuk menulis, menulis, dan menulis”.

    Amin ya robbal alamin….

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Opini

Go to Top