Pindah agama sesungguhnya merupakan persoalan klasik. Ia (baca: pindah agama) tak semata-mata dipengaruhi oleh faktor lingkungan (keluarga dan faktor kekerabatan, misalnya), tetapi juga spirit religiusitas yang ada dalam diri seseorang. Spirit religiusitas seseorang yang masih “mulur-mungkret” yang dimanifestasikan dalam bentuk perilaku “ambigu” –serba bimbang dan ragu—akan membuka katup keagamaan hingga akhirnya memantabkan keyakinan seseorang untuk menganut agama tertentu. Tak peduli seorang artis atau masyarakat awam. Siapa pun bisa terkena sindroma religius “mulur-mungkret” itu.
Maka, ketika media sosial “menghebohkan” kepindahan agama Lukman Sardi, aktor yang pernah membintangi K.H. Akhmad Dahlan dalam “Sang Pencerah” itu, bagi saya, merupakan soal klasik. Toh, hanya lantaran faktor popularitas si Lukman Sardi yang membuat persoalan ini mencuat ke permukaan. Toh, sesungguhnya bukan hanya putra Idris Sardi itu saja yang menunjukkan spirit religiusitas “mulur-mungkret” hingga meyakinkannya untuk “bermigrasi” ke agama tertentu. Di sekeliling kita, tidak sedikit orang yang menunjukkan fenomena serupa. Toh, juga tak ada seorang pun yang mempersoalkan. Tuhan pun memberikan pilihan “jalan hidup”, termasuk agama, kepada hamba-Nya. Seandainya separuh penduduk di muka bumi ini ramai-ramai pindah agama; dari Islam ke non-Islam, misalnya, tak sedikit pun mengurangi kebesaran Tuhan.
Agama bukanlah sekadar atribut. Apalagi jargon atau slogan. Untuk menunjukkan keislamannya, misalnya, orang tidak harus pakai sorban lantas berteriak-teriak “Allahu Akbar” sambil membawa pentungan untuk merazia tempat-tempat tertentu yang menjadi wilayah aparat kemananan. Agama merupakan salah satu unsur kesejatian diri seseorang secara personal. Ia sendiri yang kelak akan mempertanggungjawabkan keyakinannya itu. Kalau ada jalan A, B, C, D, E, atau F, membentang di hadapannya, dan seseorang memilih jalan B untuk menuju ke alam terakhirnya, orang lain –bahkan yang sama-sama menempuh jalan B sekalipun—tak bisa melakukan intervensi. Agama merupakan pilihan dan “jalan hidup” yang diyakini kebenarannya berdasarkan spirit religiusitasnya.
Maka, ketika media sosial “menghebohkan” seorang Lukman Sardi yang “bermigrasi” agama, toh pada akhirnya akan senyap dan hening. Tak jauh berbeda ketika kita menyaksikan seorang penumpang kereta di sebuah stasiun yang pindah jalur yang diyakininya lebih aman dan nyaman, lantas kita teriaki dengan berbagai umpatan dan caci-maki. Bukankah kita yang akan capek dan lelah sendiri? Semoga kita tidak termasuk orang yang terkena sindroma religius “mulur-mungkret” yang gampang sekali “bermigrasi” agama, hingga akhirnya memancing banyak orang untuk berteriak, mengumpat, dan mencaci-maki. ***
tergantung kepercayaan masing2
Hak pribadi dalam memeluk suatu agama tanpa paksaan dari orang lain..
agamamu-agamamu, agamaku-agamaku
Kalau pindah agama hanya sesuatu ya resiko ditanggung penumpang.
iya benar,tapi mbok ya jadi contoh apa yang membuat dia merasa harus pindah agama.