Dunia sastra Indonesia kembali kehilangan salah satu putra terbaiknya; Sitor Situmorang. Sastrawan kelahiran Harianboho, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, pada 2 Oktober 1923 itu dikabarkan menghembuskan napas terakhirnya di Apeldoorn, Belanda, 21 Desember 2014 dalam usia 91 tahun. Semasa hidupnya, almarhum tergolong sebagai sastrawan yang cukup produktif dan kreatif. Bahkan, A. Teeuw menyebutnya sebagai penyair Indonesia terkemuka setelah meninggalnya Chairil Anwar.
Beberapa karyanya tidak hanya dijadikan sebagai bahan ajar di sekolah, tetapi juga menjadi bahan kajian dan penelitian para sarjana sastra. Kumpulan cerpennya Pertempuran dan Salju di Paris (1956) mendapat Hadiah Sastra Nasional (1955) dan kumpulan sajak Peta Perjalanan memperoleh Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta (1976). Beberapa karyanya yang tidak asing bagi para pencinta sastra Indonesia, di antaranya:
- Surat Kertas Hijau, kumpulan puisi (1954)
- Jalan Mutiara, drama (1954)
- Dalam Sajak, kumpulan puisi (1955)
- Wajah Tak Bernama, kumpulan puisi (1956)
- Rapar Anak Jalang (1955)
- Zaman Baru, kumpulan puisi (1962)
- Pangeran, kumpulan cerpen (1963)
- Sastra Revolusioner, kumpulan esai (1965)
- Dinding Waktu, kumpulan puisi (1976)
- Sitor Situmorang Sastrawan 45, Penyair Danau Toba, otobiografi (1981)
- Danau Toba, kumpulan cerpen (1981)
- Angin Danau, kumpulan puisi (1982)
- Bunga di Atas Batu, kumpulan puisi (1989)
- Toba na Sae (1993) dan Guru Somalaing dan Modigliani Utusan Raja Rom, sejarah lokal (1993).
- Rindu Kelana, kumpulan puisi (1994)
Sitor Situmorang juga menerjemahkan karya asing ke dalam bahasa Indonesia, yakni: Sel, terjemahan drama karya William Saroyan (1954) dan Hikayat Lebak karya Rob Nieuwenhuys (1977).
Di tengah situasi peradaban yang makin abai terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan nihil kepeduliannya terhadap sastra, wafatnya Sitor Situmorang jelas merupakan sebuah kehilangan. Almarhum tidak hanya dikenal sebagai sastrawan yang produktif dan kreatif, tetapi juga gigih memegang prinsip hidupnya. Mungkin lantaran kegigihannya dalam memegang prinsip hidup, almarhum pernah dipenjara sebagai tahanan politik pada 1957-1974 oleh pemerintah Orde Baru. Karya-karyanya dibekukan dan tidak diterbitkan.
Meskipun Sitor Situmorang telah tiada, jejak-jejak sastranya masih akan terus dikenang dan karya-karyanya merupakan dokumen literer yang tak ternilai harganya. Selamat jalan, Bapak Sitor Situmorang, semoga dilapangkan jalanmu menuju ke alam keabadian dan mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya. ***
Eminemall
Sitor Situmorang Tutup usia, Dunia Sastra Berduka: Catatan Sawali Tuhusetya