Dalang: Sawali Tuhusetya
Sungguh, sebuah tempat yang jauh dari menyenangkan. Musik yang menyangkut di telinga hanyalah orkestra suara satwa liar dan ganas yang menyakitkan. Minuman yang mereka teguk hanyalah sumber mata air dari balik dan ceruk bukit yang gelap dan terjal. Makanan yang melesak ke dalam perut mereka hanyalah buah-buahan yang tersisa dari mulut para monyet. Tidak heran apabila baru dua pekan berada di tempat itu, mereka merasa seperti terjebak dalam keabadian zaman ratusan abad lamanya. Bima yang selama ini dikenal sebagai pemuda perkasa pun nyaris putus asa. Lebih-lebih ketika Arjuna tidak berada di tengah-tengah mereka. Praktis, rombongan para putra Pandu yang tengah berada di hutan Kamiyaka yang singup itu jadi kian merasa tersiksa. Drupadi yang cantik dan Sadewa yang lembut berkali-kali disengat demam.
“Bagaimana kalau kita segera pindah saja dari sini, Kang Mas? Aku selalu teringat Mas Arjuna yang kini tak jelas keberadaannya. Semakin lama di sini, sakitku bukan hanya karena demam, tapi juga karena siksaan batin. Sakitnya itu di sini, Kang Mas!” keluh Sadewa sambil menunjuk dadanya. Bima terdiam. Dia sangat memahami kondisi adiknya yang rentan kena penyakit itu. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa, selain menunggu komando kakak sulungnya, Yudistira.
Agaknya, Yudistira tanggap dengan kondisi adik sulungnya, Sadewa. Namun, seperti biasanya, Yudistira tak pernah bicara dengan lugas. Bahasanya selalu bersayap. Kepada para sesepuh, termasuk penasihat spiritual, dan semua rombongan, Yudistira mengatakan bahwa Arjuna sedang menjalankan misi pendakian Gunung Himalaya, untuk menemukan berbagai jenis senjata canggih yang kelak diharapkan mampu melumpuhkan para dedengkot Kurawa, seperti Bisma, Druna, Krepa, atau Aswatama.
“Kita tahu, para mahaguru itu pasti berada di pihak putra-putra Destarastra. Kita juga tahu, Karna juga memiliki senjata hebat yang mustahil bisa dihadapi dengan senjata biasa. Oleh karena itu, Arjuna memang sengaja aku minta untuk menjalankan misi rahasia ini,” kata Yudistira dengan nada lembut di depan rombongan. “Arjuna memang sudah lama menjalankan misinya. Kepergiannya membuat tempat ini semakin menjenuhkan. Oleh karena itu, kita akan pergi dari tempat ini untuk mencari tempat yang bisa membuat kita tidak selalu teringat kepada Arjuna,” lanjut Yudistira.
“Para sesepuh dan penasihat, barangkali ada yang tahu, tempat mana yang harus kita tuju?” tanya Yudistira sembari menyapukan pandangan matanya kepada para sesepuh dan penasihat spiritual. Resi Daumya, seorang mahaguru yang sudah sarat pengalaman keluar masuk hutan, memmberikan gambaran tentang seluk-beluk hutan di sekitar hutan Kamiyaka serta tempat-tempat yang dianggap suci. Setelah melakukan persiapan secukupnya, para Pandawa dan rombongan bergegas menjelajahi hutan untuk menjalani masa-masa “incognito”; menyamar di tempat pengasingan agar tidak terdeteksi musuh. Dengan berbagai risiko yang menghadang selama dalam perjalanan, mereka terus berjalan melalui medan yang amat sulit dan berbahaya, hingga akhirnya tiba di kaki Gunung Himalaya yang singup tertutup belantara dengan berbagai tebing , jurang, dan lembah yang sarat dengan tikungan dan jebakan.
Perjalanan benar-benar berat dan melelahkan, hingga Drupadi tak sanggup lagi melanjutkan pengembaraan. Melihat isterinya dalam kondisi mencemaskan, Yudistira meminta Bima, Sadewa, dan dan Gatotkaca, untuk menemani Drupadi beristirahat di Ganggadwara. Sementara Yudistira sendiri akan melanjutkan perjalanan bersama Resi Lomasa dan Nakula. Namun, Bima menolak. Ia sudah sangat merindukan Arjuna, adik tercintanya. Selain itu, Bima juga tak bisa membiarkan Yudistira hanya pergi bertiga menembus rimba belantara yang dihuni banyak raksasa, binatang buas, dan berbagai jenis makhluk jahat lainnya. Akhirnya, Yudistira memutuskan untuk menjelajahi hutan bersama-sama; apa pun yang terjadi.
Pengembaraan panjang, berat, dan melelahkan yang telah mereka lakukan akhirnya mampu membawa mereka menapakkan jejak kaki hingga masuk di perkampungan Kulinda, salah satu wilayah Kerajaan Subahu di kaki Gunung Himalaya. Yudistira bersama rombongan diterima dengan ramah dan bersahabat oleh Raja Subahu dan beristirahat hingga beberapa hari. Tak lama kemudian, mereka melanjutkan pengembaraan lagi hingga masuk ke ke hutan Narayansrama dan beristirahat hingga beberapa hari.
Tanpa tahu sebab yang pasti, suatu ketika mendadak terjadi tiupan angin kencang dari arah Timur Laut; menaburkan aroma wangi bunga, dedaunan, dan ranting-ranting kering. Tanpa diduga, sekuntum bunga wangi jatuh di pangkuan Drupadi. Hati Drupadi berbunga-bunga dan bergegas meminta tolong Bima untuk mencarikan pohon bunga yang harum itu.
“Alangkah indahnya dan harumnya bunga ini. Jika suatu saat nanti kita kembali ke ke Kamiyaka, aku ingin menanamnya di sana! Maukah engkau mencarikan pohonnya untukku, Mas Bima?” rajuk Drupadi. Tanpa menunda waktu, Bima menyanggupi permintaan Drupadi dan bergegas mencari pohon berdasarkan arah angin. Setelah berjalan cukup jauh, ia sampai di kaki sebuah bukit. Ia terkejut. Di depan mata telanjangnya, ia melihat semak-semak dan pepohonan rebah. Ia makin terkejut ketika di dekat pepohonan yang rebah itu terliat seekor kera besar berbulu indah bercahaya sedang berbaring tak bergerak. Tentu saja, kera raksasa itu menjadi penghalang langkahnya untuk mencari pohon bunga yang diminta Drupadi karena sudah tak ada jalan lain. Bima mencoba mengusir kera itu dengan menggeram sekuatnya hingga menimbulkan getaran di sekitar hutan. Suara geramnya bergema dan memantul-mantul. Namun, kera raksasa itu tetap bergeming.
“Aku sedang sakit, mengapa Sampeyan menggangguku. Sebagai manusia yang berakal budi, tidak seharusnya bersikap seperti itu. Tidak tahukah Sampeyan kalau aku benar-benar sakit? Siapakah Sampeyan sebenarnya dan hendak ke mana? Sampeyan tak bisa melanjutkan perjalanan lewat bukit ini, karena jalur ini khusus untuk para dewata. Tak ada manusia di sini. Kalau Sampeyan manusia yang berakal budi, Sampeyan pasti memilih balik kanan dan pulang menemui keluargamu!” kata kera itu seperti hendak merendahkan Bima.
Karena merasa diremehkan, Bima geram. “Siapa sebenarnya engkau, hai kera jelek? Mengapa omonganmu seperti mampu menggetarkan pintu langit? Aku ini ksatria keturunan bangsa Kuru dan anak Dewi Kunti. Ketahuilah, aku ini putra Dewa Angin. Cepat pergi dari sini! Berikan aku jalan! Kalau tidak, engkau akan kuhabisi!” kata Bima dengan nada kasar. Bola matanya menyala-nyala. Giginya gemeletuk menahan amarah.
Kera itu hanya tersenyum. “Memang benar kata Sampeyan, aku hanya seekor kera. Tetapi, percayalah, kau akan menemui kehancuran jika tetap memaksa untuk lewat!”
“Apa pedulimu? Aku tidak percaya! Aku siap menghajarmu! Minggirlah!”
“Aku tak punya kekuatan lagi untuk bangun. Aku sudah terlalu letih dan tua. Kalau Sampeyan memaksa mau lewat, langkahi saja aku.”
“Tidak ada jalan yang lebih mudah dari itu. Tetapi kitab-kitab suci melarang orang berbuat demikian. Kalau tidak, pasti aku sudah loncati engkau dan bukit itu sekaligus dalam satu loncatan, seperti Anoman melompati lautan.”
Kera tersentak. “Wahai kesatria, siapakah Anoman yang mampu melompati lautan itu? Ceritakanlah padaku!”
“Apakah engkau tak pernah mendengar bahwa Anoman adalah kakakku yang berhasil melompati lautan dan
menempuh seratus yojana untuk mencari Dewi Sinta, istri Sri Rama? Aku sama dengan dia, baik dalam kekuatan maupun keperwiraan. Ah, mengapa aku jadi lama berbincang denganmu? Sekarang, bergeserlah jangan menghalangiku. Jangan membuat aku marah dan terpaksa berkelahi denganmu!”
“Sabarlah, wahai kesatria perkasa! Lembut hatilah sedikit. Tak ada salahnya bersikap lembut meskipun Sampeyan kuat dan perkasa. Kasihanilah yang lemah dan yang tua. Aku sungguh tak mampu bangun sebab badanku telah tua dan rapuh. Kalau Sampeyan tidak mau melompatiku, tolong singkirkan ekorku ke samping dan carilah jalan untuk lewat!”
Bangga akan keperkasaannya, Bima bermaksud menarik ekor kera itu keras-keras dan menyingkirkannya. Namun, sungguh ia tak menduganya. Sudah berbagai macam cara dan kekuatan ia kerahkan, tetapi tak sedikit mampu menggeser ekor kera itu. Bima malu. Ia segera menunduk takzim dan memberi hormat kepada kera itu.
“Siapakah sebenarnya engkau? Dewa atau raksasa?”
“Wahai Pandawa perkasa, ketahuilah aku ini saudaramu, Anoman, anak Batara Bayu, sang Dewa Angin. Jika tidak kuhalangi, Sampeyan pasti telah meneruskan perjalanan dan sampai ke dunia gaib yang dihuni para raksasa. Engkau pasti menemui malapetaka di sana. Karena itulah aku menghalangimu. Tak ada manusia yang bisa selamat melewati batas ini. Sekarang, pergilah ke lembah di bawah sana. Di tepi sungai yang membelah lembah itu tumbuh pohon Saugandhika yang kaucari.”
Mendengar penuturan itu, Bima sangat bahagia. Jantungnya berdegup kencang, sekujur tubuhnya terasa hangat. Anoman bangkit, lalu menarik napas panjang. Tiba-tiba, badannya membesar bagaikan gunung, seakan-akan memenuhi hutan itu. Bima silau memandang Anoman yang menjadi luar biasa besar dan bulunya bercahaya gemilang.
“Bima, di hadapan musuh, badanku bisa bertambah besar lagi,” kata Anoman. Kemudian, ia segera mengembuskan napas dan berdiri di depan Bima. Badannya kembali mengecil, kemudia Anoman memeluk Bima. Ketika berpelukan, dua bersaudara itu merasa mendapat kekuatan luar biasa dan berlipat ganda.
“Wahai kesatria, kembalilah kepada keluargamu. Pikirkan aku jika kau memerlukan pertolonganku. Aku sangat bahagia bisa bertemu denganmu, Saudaraku. Aku merasa seperti bertemu Sri Rama yang suci raganya,” kata Anoman.
“Berbahagialah Pandawa sebab aku telah mendapat kesempatan untuk bertemu denganmu. Berkat pengaruh kekuatanmu, aku yakin kami pasti bisa mengalahkan musuh-musuh kami.”
“Kelak dalam pertempuran besar, jika kau meraung seperti singa jantan, suaraku akan berpadu dengan suaramu, menggelegar di angkasa dan menyebabkan musuh-musuhmu gemetar ketakutan. Aku akan hadir di dekat bendera kereta Arjuna. Engkau pasti menang!” kata Anoman seraya menunjukkan jalan ke tempat tumbuhnya pohon kembang Saugandhika.
Sebuah pertemuan yang mengharukan. Setelah menuntaskan kerinduan kepada saudaranya itu, Bima segera mohon diri untuk secepatnya mencari pohon Saugandhika yang diinginkan Drupadi. *** (Tancep kayon)
cerita yang menyentuh hati . sangat bagus
uang gratis
mantap..