Pilpres, Mudik, dan Lebaran

Kategori Budaya Oleh
Budaya

Oleh: Sawali Tuhusetya

Suasana Ramadhan tahun ini sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada minggu pertama, tepatnya 9 Juli 2014, ditandai dengan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang berlangsung aman dan damai. Partisipasi warga bisa dibilang cukup tinggi dibandingkan Pilpres periode-periode sebelumnya. Angka Golput yang selama ini dianggap menjadi “hantu” pada setiap Pemilu merosot drastis. Hal ini bisa menjadi salah satu bukti tingginya harapan rakyat akan figur pemimpin baru yang dinilai mampu membawa sebuah perubahan menuju Indonesia masa depan yang lebih baik.

Pasca-Pilpres, suasana politik pun makin riuh, bahkan cenderung memanas. Kehadiran beberapa lembaga survei yang menyajikan data hitung cepat dengan hasil persentase yang berbeda menimbulkan perdebatan hangat di tengah publik. Masing-masing pasangan capres-cawapres saling klaim kemenangan versi hitung cepat yang “memenangkan”-nya. Rakyat yang telah menyuarakan pilihannya pun dibuat bingung. Namun, di tengah hangatnya debat publik itu, semua pihak sepakat untuk menunggu hasil hitungan nyata (real-count) dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hitungan resmi KPU juga menjadi taruhan para lembaga survei. Lembaga survei mana yang kredibel dan mana yang abal-abal.

Kecurigaan publik terhadap kredibilitas dan profesionalitas KPU agaknya tidak terbukti ketika secara terbuka mengunggah rekapitulasi suara setiap TPS melalui situs pilpres2014.kpu.go.id. Rakyat bisa bersama-sama mengawalnya. Peran para netizen sungguh luar biasa. Mereka dengan cepat berbagi informasi dan tautan tentang perkembangan rekapitulasi KPU. Keberadaan situas kawalpemilu.org juga sangat membantu transparansi perolehan suara secara berjenjang. Dari sisi ini, kredibitas dan profesionalitas KPU layak dipuji. Namun, rakyat dibuat tersentak ketika menjelang berakhirnya proses penghitungan suara secara nasional pada tanggal 22 Juli 2014, capres nomor urut I, Prabowo Subianto – yang tidak didampingi Cawapres Hatta Rajasa, mendadak membuat pernyataan sikap yang sangat mengejutkan; menarik diri dari proses Pilpres yang dinilai tidak demokrastis, jujur, dan adil. Menghadapi situasi “panas” dan krusial semacam itu, KPU bergeming. Proses rekapitulasi jalan terus hingga akhirnya menetapkan pasangan capres nomor urut II, Joko Widodo-Jusuf Kalla, sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode 2014-2015.

Ya, ya, ya, Pilpres 2014, memang terbilang pemilu yang paling panas dan menegangkan; sarat intrik, bahkan fitnah. Meski KPU sudah resmi mengumumkan hasil Pilpres, suasana panas dan sarat intrik itu belum juga mereda. Kubu pasangan capres-cawapres yang dinyatakan kalah agaknya masih terus berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan versinya. Tentu saja, kita sangat menghargai perjuangan itu sepanjang berlandaskan konstitusi dan tidak menimbulkan masalah baru pasca-pilpres. Kita sangat berharap, suasana yang panas dan sarat intrik itu tidak berimbas ke akar rumput. Sebagian besar rakyat, saya kira, sudah makin matang dan dewasa dalam berdemokrasi, sehingga tidak mau berlelah-lelah untuk ikut memperdebatkan sesuatu yang sudah jelas hasilnya dan telah diakui dunia.

Meskipun demikian, sebagaimana diakui oleh Pak Joko Widodo kalau Pak Prabowo Subianto adalah seorang negarawan, suatu ketika Pak Prabowo akan membuktikan ucapan Gus Dur sebagai seorang pemimpin yang ikhlas. Ikhlas dan legawa untuk menerima hasil Pilpres 2014 dan mengakui Pak Jokowi dan Pak JK sebagai presiden dan wakil presiden. Kalau toh selama ini masih terkesan belum legawa, bisa jadi lantaran masih banyaknya orang-orang di sekelilingnya yang terus mengusiknya untuk melakukan “perlawanan” terhadap KPU. Setelah gugatan ke Mahkamah Konstitusi –yang diakui Pak Mahfud MD merupakan tindakan sia-sia karena sulit untuk membuktikan kecurangan suara lebih dari 8 juta— akan terjadi suasana “cooling down”. Para pendukung setianya pun perlahan-lahan akan meninggalkannya.

Apalagi, pasca-pilpres juga berdekatan dengan suasana lebaran yang diyakini menjadi momentum yang tepat untuk melakukan “tabayun politik” dan silaturahmi. Mudah-mudahan momen lebaran tahun ini bisa dimanfaatkan untuk menurunkan tensi politik, untuk selanjutnya kembali menyatu sebagai saudara sebangsa dan setanah air untuk bersama-sama membangun masa depan bangsa yang mandiri secara ekonimi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian secara budaya.

Pada saat yang (nyaris) bersamaan, saudara-saudara kita juga tengah berupaya melupakan intrik-intrik politik dengan berlelah-lelah sepanjang perjalanan melalui tradisi mudik agar bisa bertemu dan bersilaturahmi dengan sanak-saudaranya di kampung halaman. Semoga mereka diberikan kesehatan dan keselamatan hingga akhirnya bisa bertemu dengan sanak-saudaranya di tanah kelahiran dalam suasana guyup, rukun, dan penuh suka cita.

Demikian juga halnya, saya dan keluarga juga akan menjadi bagian dari arus pemudik yang harus menikmati perjalanan yang padat dan tersendat. Semoga lancar dan selamat. Nah, selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin, semoga kita semua kembali ke fitrah-Nya sebagai makhluk religius, beradab, dan berbudaya. Salam Indonesia Raya! ***

Tags:

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

21 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Budaya

Go to Top