Sore yang kurang bersahabat. Angin “jahat” terus saja berkesiur setiap detik. Gerimis yang tajam seperti menusuk-nusuk kulit para penduduk kampung yang terhadang di perjalanan. Di gardu poskamling, Kang Badrun merapatkan sarungnya. Di sebelahnya, Kang Karli tak henti-hentinya membakar dadanya yang keropos dengan kepulan asap nikotin. Di sudut gardu yang lain, wajah Lik Kaderi berselimutkan mendung. Tak secuil pun senyuman keluar dari bibirnya yang tebal. Suasana sepi dan nglangut.
“Sebenarnya yang Sampeyan pikir itu apa toh, Lik? Sedari cemberut. Sedang ada masalah dengan Mbok Wedok?” tanya Kang Badrun memecah kesepian. Lik Kaderi hanya menoleh, tanpa bersuara. Wajahnya tetap saja cemberut.
“Iya, Lik! Kalau ada masalah mbok ya cerita sama kami. Siapa tahu kami bisa mbantu!” sahut Kang Karli sembari membuang puntung rokok “tingwe” untuk ke sekian kalinya.
“Alah, tahu apa Sampeyan berdua? Ini perkara besar yang hanya bisa dipecahkan oleh orang-orang besar! Memangnya Sampeyan ini tergolong orang besar apa?” Lik Kaderi yang bertubuh tambun itu akhirnya mengeluarkan suara juga, meski terdengar gatal di telinga.
“Lho! Sampeyan ini gimana toh? Meski jarang bergaul dengan orang besar, saya ini selalu mengikuti berita tentang orang-orang besar. Di mata saya, orang besar itu ya orang yang suka korupsi. Hobi memeras wong cilik, suka melakukan tipu-daya, dan berbagai tindakan culas lainnya!” sergah Kang Badrun sambil membenahi sarungnya yang melorot.
“Bener banget apa kata Kang Badrun itu, Lik! Coba Sampeyan perhatikan! Apa pernah ada tayangan berita TV yang luput memberitakan tentang korupsi, hem? Tidak pernah! Dan Sampeyan lihat siapa saja mereka? Ya itu tadi yang dikatakan Kang Badrun! Rata-rata mereka adalah orang besar yang punya pengaruh, wewenang, dan kekuasaan. Mana mungkin wong cilik seperti saya punya celah untuk korupsi?” sahut Kang Karli. Lik Kaderi terdiam beberapa jurus lamanya. Kang Badrun dan Kang Karli saling berpandangan. Sementara di luar sana, gerimis “tajam” telah berubah jadi hujan yang cukup deras. Berkabut.
“Iya, Lik Kaderi. Ayo, ngomong dong! Kalau memang benar yang Sampeyan maksud orang besar itu para koruptor yang kini diuber-uber KPK itu apa Sampeyan punya cara dan solusi paling jitu untuk memberantas virus korupsi yang menggurita di negeri ini?” berondong Kang Badrun.
“Hem … bukan, Kang! Kalau korupsi sih sudah jadi berita basi! Hampir setiap detik kita disuguhi tayangan wajah para pengemplang harta negara! Itu persoalan bangsa yang mustahil bisa diselesaikan semudah kita membalikkan telapak tangan! Jangankan saya, presiden saja bisanya hanya sebatas prihatin!” jawab Lik Kaderi. Kang Badrun dan Kang Karli manggut-manggut serempak.
“Lantas, apa sebenarnya yang sedang Sampeyan pikir?” tanya Kang Karli.
“Hem …. Saya itu sedang memikirkan anak saya yang tahun ini mau menempuh Ujian Nasional!”
“Loh! Memangnya kenapa? Khawatir tidak lulus? Apa pula hubungannya kalau persoalan ini hanya bisa diselesaikan orang-orang besar? Anakmu pun sanggup mengatasinya!” sahut Kang Karli.
“Ujian nasional dan mentalitas korup itu sangat dekat hubungannya, Kang. Coba Sampeyan pikir, adakah orang-orang besar di negeri ini yang lahir tanpa melalui lembaga pendidikan? Dan Sampeyan tahu betapa amburadulnya pelaksanaan ujian nasional di negeri ini?” Diberondong pertanyaan retorik semacam itu, Kang Karli dan Kang Badrun hanya saling berpandangan.
Pertanyaan Lik Kaderi memang tidak butuh jawaban. Semua orang sudah tahu kacaunya pelaksanaan ujian nasional dari tahun ke tahun. Anak-anak negeri ini tidak pernah bisa mengembangkan kemampuan berpikirnya secara kritis dan kreatif. Pola berpikir mereka diseragamkan melalui jawaban soal dalam bentuk pilihan ganda. Kalau jawaban mereka berbeda dengan kunci jawaban, sudah pasti dinyatakan salah. Sangat beralasan jika kemampuan literasi anak-anak negeri ini kalau diukur menggunakan soal-soal berstandar internasional jadi payah.
“Tapi, kok saya masih bingung ya hubungan antara pelaksanaan ujian nasional yang amburadul dengan korupsi?” tanya Kang Badrun.
“Begini loh, Kang! Ujian Nasional itu lebih mementingkan angka alias nilai ketimbang kemampuan bernalar! Artinya, hasil lebih diutamakan ketimbang proses. Akibatnya, banyak pemangku kepentingan yang berusaha keras bagaimana mendongkrak nilai ujian, bukan bagaimana anak berproses menemukan jawaban yang benar berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan!”
“Istilah yang Sampeyan pakai hanya pas untuk orang-orang besar, Lik! Saya ndak mudheng, hehe ….!” Segah kang Badrun.
“Hehe …. Saya mulai agak ngeh dengan cara berpikir Lik Kaderi. Menurut saya begini, lho, Kang. Mereka yang bermental korup itu bisa jadi lantaran sistem ujian nasional di negeri kita selama ini tidak mendidik anak-anak negeri ini bersikap jujur. Bahkan, mereka cenderung menghalalkan segala cara untuk mendapatkan hasil ujian yang tinggi. Makanya, perilaku curang, seperti mencontek berjamaah, dapat bocoran kunci jawaban, dan semacamnya itu dianggap sebagai hal yang wajar. Perilaku curang semacam ini mereka bawa setelah mereka jadi pejabat alias orang besar. Melakukan korupsi, manipulasi data, dan mark-up anggaran sudah dianggap sebagai hal yang wajar,” jawab Kang Karli. Lik Kaderi manggut-manggut. Kang Badrun membelalakkan bola matanya.
“Oh, begitu, ya? Agak sedikit paham saya, hehe ….”
Begitulah obrolan sore di bawah guyuran hujan deras yang membadai di tengah perkampungan. Tiga warga kampung itu terus terlibat dalam perbincangan hangat di gardu poskamling yang berdiri kokoh di jantung kampung hingga menjelang azan Maghrib menggema. Entah apa lagi yang mereka obrolkan ketika tiba-tiba gendang telinga mereka menangkap suara kentongan beruntun pertanda banjir besar menghajar perkampungan.
“Celaka!” teriak mereka bertiga (hampir) bersamaan. Lantas, segera berjingkat dengan langkah tergesa-gesa menerobos hujan yang terus membadai. ***
Semoga saja semua kesalahan ini dapat dibenarkan secepatnya agar ujian kembali normal
triamakasih atas artikelnya yang berjudul “Ujian yang Salah Urus dan Mentalitas Korup ”
sangat bermanfaat sekali buat saya dan semoga sukses untuk agan 🙂
mungkin ketidak konsistenan hukum di indonesia, korupsi masih belum takut dengan semua sangsi yang masih bisa di bayar hanya dengan uang.
Jaman sekarang memang da byk yang tdak bgtu beres mdahh”an
smunya bisa sadar yaa gan 🙂
silahkan kunjungi web kami
http://www.sundulbet.com
terima kasih dan mohon kunjungannya