Negeri Kelelawar Kian Sempoyongan Memanggul Beban

Sastra

Oleh: Sawali Tuhusetya

Kian jauh melewat usia kemerdekaan, rakyat negeri Kelelawar bukannya makin sejahtera, melainkan kian tersuruk dalam lembah kemiskinan dan keterbelakangan. Sungguh ironis memang, negeri yang dikenal “gemah ripah loh jinawi”, rakyatnya justru banyak yang hidup sengsara dan terlunta-lunta. Lihat saja, mereka yang hidup bergerombol di jalanan sekadar untuk mencari pengganjal perut, juga mereka yang tidur bergelimpangan di emper-emper toko! Mereka sesungguhnya merupakan korban dari kebijakan penguasa yang salah urus.

Ki Doblang yang selama ini menjadi rujukan para pemburu berita hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Ayolah, Ki! Apa benarkah penguasa negeri ini yang menjadi sumber korupsi?” desak para wartawan foto dan berita. Ki Doblang mengerutkan jidatnya. “Ayo, Ki, bicaralah pada kami!” sahut yang lain.

“Apa lagi yang mesti saya omongkan, hem? Bukankah kalian sudah dapat kebenaran info itu dari sumber yang terpercaya?” jawab Ki Doblang kalem.

“Jadi, bener info itu?”

“Loh, silakan kalian tafsirkan sendiri! Saya ndak biasa menggunakan logika terbalik seperti pejabat-pejabat negeri Kelelawar yang lain. Kalau saya bilang merah, ya, merah! Putih ya putih! Titik!”

“Oh, statement Ki Doblang bisa bikin gempar, nih!”

“Gempar gimana? Itu kan pinter-pinternya Sampeyan memplintir berita! Saya bilang merah, situ memberitakan putih! Jangan-jangan Sampeyan sudah ketularan virus pejabat di negeri Kelelawar ini! Tapi, sudahlah! Daripada nanti Sampeyan terlalu repot menafsirkan pernyataan saya, lebih baik saya ngomong blak-blakan, kalau info yang beredar itu benar adanya! Puas Sampeyan?” tegas Ki Doblang sambil memlintir brengosnya yang lumayan tebal. Para pemburu berita manggut-manggut. Di kepala mereka terbayang oplah terbitan yang bakal melonjak drastis. Maklum, isu yang beredar selama ini ibarat –maaf– “kentut”. Tercium bau busuknya, tapi tak jelas siapa yang telah menghembuskan gas amoniak itu. Kini, berita simpang-siur itu agaknya mulai terang-benderang. Mereka paham benar siapa Ki Doblang itu. Ya, sosok yang selama ini dinilai tegas dalam menggorok leher para koruptor, justru bernasib tragis. Ia dijebloskan ke dalam hotel prodeo yang pengap dan berbau busuk akibat rekayasa kelelawar-kelelawar “hitam” dan korup. Namun, Ki Doblang tak gentar menghadapi rekayasa licik para pengemplang harta negara. Sebagai mantan Ketua Komite Pemberangusan Kelelawar Koruptor (KPKK) yang taat hukum, ia jalani semua tuntutan hukum itu dengan lapang dada, meski ia sendiri tak pernah melakukan tindak tercela itu; membunuh. Namun, ia menyimpan banyak “kartu truf” yang bisa menjerat sosok-sosok penting di negeri Kelelawar. Hanya tinggal tunggu waktunya saja!

Begitulah! Keesokan harinya, seantero negeri Kelelawar gempar. (Hampir) semua media cetak dan elektronik mengangkat pernyataan Ki Doblang sebagai “headline” berita dengan huruf kapital. Para politisi yang selama ini tak pernah merasa terusik, mendadak seperti tersengat lebah. Pening dan nyeri.

“Wow … testimoni Ki Doblang benar-benar bisa membuat penguasa negeri Kelelawar kelimpungan!” gumam sesosok wakil rakyat sembari membanting koran. Ia yang selama ini dikenal sebagai pendukung kebijakan sang penguasa yang salah urus itu mendadak kebakaran jenggot. Bola matanya menyala liar. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus.

“Bos, mau ke mana? Kok nampak sewot begitu?” sapa salah satu koleganya dari partai lain.

“Itu bukan urusan Ente!” sahutnya sambil menyambar jas yang sedari tadi nangkring di atas kursi.

Begitu koleganya kabur, buru-buru sang wakil rakyat itu mendekati meja koleganya. Jidatnya berkerutan begitu membaca “headline’ sebuah harian: “Testimoni Ki Doblang: Penguasa Negeri Kelelawar Bakal Kelimpungan!” Disambarnya koran itu dengan napas sengal, lantas buru-buru ngeloyor entah ke mana.

***

Berita bahwa sang penguasa negeri Kelalawar berdiri di balik kasus mega-korupsi seperti terkuak sudah. Ki Doblang bagaikan membuka “kotak pandora” yang selama ini (nyaris) tak tersentuh. Begitu terbuka, gemanya langsung membahana ke seluruh penjuru negeri. Rakyat negeri kelelawar yang hampir mencapai seperempat milyar jumlahnya dibuat menganga. Mereka sungguh tak percaya kalau sang penguasa negeri yang konon akan berdiri di garda depan dalam memberantas korupsi dengan pedang tajamnya, ternyata justru malah menjadi “biang kerok”.

“Sampeyan percaya berita itu, Kang?” tanya seekor kelelawar gendut di sebuah warung kopi.

“Ya, percaya! Siapa dulu yang ngomong? Kalau politisi yang ngomong aku ndak bakalan percaya! Tapi kalau Ki Doblang kan sudah jelas rekam jejaknya selama ini! Tidak suka plintat-plintut seperti para wakil rakyat yang sok pinter itu!” sahut si kelelawar berwajah tirus sambil nyrutup kopi.

“Percaya sih boleh! Tapi Sampeyan jangan buru-buru menyimpulkan kalau pemimpin kita itu bener-bener terlibat di dalamnya!”

“Sudahlah, Kang, aku ndak mau berdebat! Saya hanya menunggu dan menunggu! Kalau Ki Doblang sudah ngomong begitu, tapi aparat penegak hukum tidak segera bertindak, rakyat yang akan segera bertindak! Kang, rakyat di negeri ini sudah makin sempoyongan memanggul beban! Hutang bejibun, ee … lha kok dhuwit negara malah dibuat bancakan! Apa ndak terlalu itu!”

“Sabar, Kang, sabar!”

“Mau sabar gimana? Sudah cari kerjaan susah ee … kelelawar-kelelawar yang di atas sana malah bancakan dhuwit trilyunan! Sudah, saya mau ngemis lagi!” katanya sambil memberikan selembar lima ribuan kepada tukang kopi. Si kelelawar gendut hanya bisa geleng-geleng kepala sambil mengelus dadanya yang terasa sesak. Mendadak terdengar langkah serempak tergesa-gesa dari kejauhan sana seperti gerombolan kelelawar yang tengah berdemo. Buru-buru si kelelawar gendut itu meninggalkan tukang kopi, lantas terbang menuju gerombolan kelelawar yang tengah berdemo. (Bersambung). ***

Comments

  1. huahhaha… bener khan, orang kalau marah, jangan disuruh sabar. Soalnya kesabarannya sudha habis. Mending dikasih es campur aja hahaha

  2. molluca bag

    Negeri Kelelawar Kian Sempoyongan Memanggul Beban: Catatan Sawali Tuhusetya

  3. apartemen

    Negeri Kelelawar Kian Sempoyongan Memanggul Beban: Catatan Sawali Tuhusetya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *