Buku sebagai Penjaga Peradaban

Kategori Opini Oleh

Dalam waktu yang hampir bersamaan, saya mendapatkan kiriman tiga buku yang cukup menarik dari tiga sahabat. Pertama, dari sahabat Budi Maryono, sastrawan dan jurnalis yang kini mengelola Penerbit Gigih Pustaka Mandiri. Buku ini merupakan kompilasi tulisan karya dua penulis, yakni Wiwien Wintarto bertajuk Dongeng Karya Sendiri (67 halaman) dan Widyo Babahe Leksono bertajuk Ndongeng Enteng Sreng … (61 halaman) yang terbit bulan Juni 2012. Kedua, dari sahabat Fary SJ Oroh, jurnalis dan blogger yang pernah menulis buku 55 Tip Terbaik Google+. Buku yang dikirimkan berjudul 66 Jurus Mabuk buat Ngeblog yang diterbitkan oleh Penerbit PT Elex Media Komputindo tahun 2012 setebal 132 halaman. Ketiga, dari sahabat penyair Dharmadi berjudul Kalau Kau Rindu setebal 80 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit Kosa Kata Kita (2012).

Melalui Farhan Satria, beberapa waktu sebelumnya saya juga mendapatkan kiriman tiga buku dari Mbak Hanna Fransisca, seorang blogger yang kini berkibar namanya sebagai sastrawati berkelas, yaitu Benih Kayu Dewa Kapur (Kumpulan Sajak setebal 160 halaman) yang diterbitkan oleh Penerbit PT Komodo Books (Mei 2012), Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina (Kumpulan Cerpen setebal 139 halaman) yang diterbitkan oleh Penerbit PT Komodo Books (Mei 2012), dan Kawan Tidur (Naskah Drama setebal 95 halaman) yang diterbitkan oleh Penerbit PT Komodo Books (Mei 2012). Luar biasa produktivitas dan kreativitas Mbak Hanna Fransisca! Hanya dalam hitungan sebulan, tiga buku karyanya bisa terbit sekaligus.

Ucapan terima kasih saya sampaikan buat sahabat Budi Maryono, Fary SJ Oroh, Dharmadi, dan Hanna Fransisca, atas kiriman bukunya. Namun, lantaran keterbatasan waktu, saya belum sempat me-review secara detail terhadap buku-buku menarik ini. Sesuai bidangnya masing-masing, para penulis buku ini telah memberikan sumbangsih yang sangat berharga bagi kemajuan peradaban bangsa. Buku sejatinya adalah penjaga peradaban. Pemikiran-pemikiran kritis dan kreatif sang penulis yang tertuang dalam sebuah buku akan terus dikenang dan “memfosil” dalam bingkai dinamika zaman yang akan memberikan pencerahan ketika atmosfer peradaban tengah “mati suri” akibat meruyaknya berbagai perilaku anomali yang tak henti-hentinya menggerus nilai-nilai kejujuran dan keluhuran budi.

Sejarah literer di negeri ini mungkin belum sehebat negeri Sakura Jepang yang memiliki kultur membaca yang luar biasa. Namun, buku tetaplah sebuah buku. Kalau toh kultur literasi di negeri ini belum begitu menggembirakan, buku akan tetap mampu menjalankan perannya sebagai penjaga peradaban. Suatu ketika akan menemukan ruang-ruang kebermaknaan buat pembacanya. ***

Tags:

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

38 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Opini

Go to Top