Ramadhan dan Kesalehan Sosial

Kategori Opini Oleh

Ramadhan, kata para pemburu kebenaran hakiki, ibarat kawah candradimuka. Ia (Ramadhan) tak hanya sekadar menjadi momentum untuk menjalankan rutinitas ibadah tahunan. Lebih daripada itu, Ramadhan bisa menjadi tempat yang tepat untuk menggembleng dan “membakar” diri agar terhindar dari nafsu serba rendah dan nista. Ia tak hanya menjadi momentum untuk membangun kesalehan individu, tetapi juga untuk mengokohkan nilai kesalehan sosial.

Berdasarkan jumlah penduduk, Indonesia berada pada urutan ke-4 sebagai negara berpenduduk besar setelah RRC, India, dan Amerika Serikat. Dengan jumlah penduduk 241.452.952 jiwa, Indonesia memiliki mobilitas sosial yang cukup tinggi dengan berbagai latar dan setting sosial yang cukup beragam. Secara sosial, kondisi semacam ini sungguh menguntungkan. Aset kependudukan yang cukup besar membawa kemungkinan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara dengan daya dukung yang amat kuat dalam berbagai ranah. Namun, kenyataan menunjukkan, aset sosial ternyata tidak selalu memberikan efek yang membanggakan. Bahkan, tak jarang membawa beban “peradaban” yang tak pernah kunjung teratasi. Angka kemiskinan semakin merangkak, kasus korupsi pun kian melambung tinggi.

Dalam konteks demikian, Ramadhan di negeri agaknya belum sepenuhnya mampu menjadi momentum yang tepat untuk membangun nilai kesalehan sosial. Puasa baru sebatas dimaknai mencegah makan dan minum, tetapi belum mampu menyentuh nilai keluhuran hakiki. Perut yang kosong dan tenggorokan yang kering sebagai bagian dari aktivitas berpuasa belum mampu menumbuhkan sikap empati terhadap saudara-saudara kita yang selalu didera rasa lapar dan haus. Mereka yang hidup terpuruk dalam kenistaan zaman terus-terusan menjadi beban sosial bangsa. Tidak berlebihan apabila kemiskinan di negeri ini bagaikan mata rantai yang (nyaris) tak pernah bisa diputus dari generasi ke generasi.

Puasa sejatinya juga merupakan manifestasi sikap egaliter dalam entitas kehidupan sosial. Ketika rasa lapar dan haus mendera, orang kaya maupun orang-orang paria merasakan keadaan yang sama. Dengan kata lain, puasa mengajarkan sikap toleran dan empati sebagai bagian dari totalitas ketaqwaan terhadap Sang Khalik. Kehidupan sosial akan mampu mencapai fase “paripurna” apabila setiap manusia dalam kehidupan sosialnya mampu menumbuhkan sikap sensitif terhadap rasa sakit dan derita yang dialami sesamanya.

Puasa sesungguhnya juga merupakan upaya sadar untuk mengimplementasikan sikap kasih sayang terhadap sesamanya melalui proses penumbuhan dan penyuburan nurani kemanusiaan. Proses semacam ini akan mampu menciptakan nilai-nilai kesalehan sosial dalam ranah kehidupan sejati meski berada di tengah situasi peradaban yang tengah “sakit” sekalipun. Pelaku ibadah puasa yang didasari sikap pengabdian secara tulus dan total kepada Sang Khalik akan mampu mengasah kepekaan nurani sehingga mata hati dan telinga jiwanya senantiasa mampu menangkap rintihan suara kaum fakir.

Selamat menjalankan ibadah puasa, semoga kita tergolong hamba-Nya yang mampu menggapai derajat muttaqin setelah menggembleng diri di kawah candradimuka sebulan suntuk lamanya. ***

Tags:

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

45 Comments

  1. Sekarang tamadhan telah usai dan semoga niat dan ibadah kita dibulan ramdhan yang lalu tidak berhenti sampau disutu dsna tetap menjalankan ibadah dan amal seperti bulan ramadhan
    Jadikan setiap harinya seperti ramadhan ..

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Opini

Go to Top