Komunitas Budaya sebagai Katalisator Kebudayaan

Kategori Budaya Oleh

Komunitas Budaya sebagai Katalisator Kebudayaan *)

Oleh Sawali Tuhusetya

Kelambanan kolektif kita, ujar Taufiq Ismail suatu ketika, akan diterjang tanpa ampun oleh kencang lajunya peradaban milenium yang akan datang ketika batas-batas geografis dan berbagai sekat peraturan sudah diangkat orang. Kita yang terkenal lambat, lamban, lalai, dan lengah, akan tergeser, tergusur, tergasak, dan kemudian tergeletak di pinggir jalan raya peradaban dunia.

Sebuah ”warning” yang layak kita renungkan ketika masyarakat di berbagai belahan dunia sudah hidup bersama dalam satu atap di sebuah ”perkampungan global”. Pernyataan itu juga mengingatkan betapa pentingnya kita secara kolektif untuk memberikan perhatian yang lebih serius dan intens terhadap persoalan kesenian dan kebudayaan. Tujuannya? Agar jatidiri dan kepribadian bangsa yang kuyup akan nilai–nilai keluhuran budi bisa terevitalisasi dan teraktualisasi dalam tataran praksis kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, jangan sampai kita terjebak dan latah dalam kelancungan slogan moral dan keagungan budi yang kehilangan basis estetika dan kulturalnya.

Modernisasi, harus diakui, telah banyak membawa dampak perekonomian dan perindustrian yang terus menunjukkan grafik naik. Sudah tak terbilang lagi jumlah kelompok maupun perorangan yang mampu mengaksesnya dengan capaian tingkat kesejahteraan dan taraf hidup yang lebih baik. Meski demikian, modernisasi dinilai juga telah membawa dampak munculnya manusia berkarakter pembangkang, oportunis, munafik, hedonistik, bermoral lemah, megalomaniak, maupun schizopronik; terjadi ketimpangan antara kata dan perbuatan.

Manusia-manusia berkarakter semacam itu konon akan mudah tergelincir ke dalam kubangan kemanjaan nafsu dan selera hidup yang tega tertawa ngakak di atas derita dan bangkai sesamanya. Tatanan hidup tak jauh berbeda dengan siklus kehidupan hukum rimba; makhluk yang lemah dan tak berdaya akan menjadi santapan yang empuk bagi mereka yang kuat dan berkuasa. Dengan kata lain, bingkai kehidupan telah tereduksi oleh peradaban bar-bar, sadis, keras, dan lepas dari kontrol nilai kemanusiaan.

Iklim modernisasi yang bergitu terbuka dalam menawarkan nilai-nilai baru yang dinamis dan progresif, agaknya tak berdaya dalam membangun peradaban yang lebih cerah, bermartabat, dan terhormat. Sikap latah dalam memburu gengsi dan kemaruk dalam menumpuk-numpuk harta, disadari atau tidak, telah melumpuhkan kepekaan sosial dan nurani kemanusiaan, bahkan cenderung menghalalkan segala cara dalam menuntaskan ambisi. Yang lebih mencemaskan, modernisasi dinilai juga telah membuka peluang terhadap meningkatnya kekerasan pada (hampir) semua jenjang, lapis, dan lini masyarakat. Pemerkosaan, pembunuhan, dan berbagai aksi kekerasan seakan-akan sudah menjadi fenomena yang lumrah terjadi di atas panggung kehidupan sosial.

Arus modernisasi dan globalisasi memang mustahil ditolak kehadirannya. Yang diperlukan adalah kesigapan kita untuk bersikap adaptif dan lentur agar nilai-nilai modern, global, dan mondial semacam itu bisa bersinergi dengan nilai-nilai jatidiri dan kepribadian bangsa. Oleh karena itu, diperlukan sikap sensitif dan jejaring antarkomunitas budaya yang kuat untuk menyentuh dimensi kesenian dan kebudayaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam dinamika pembangunan karakter bangsa.

Setidaknya, ada dua argumen yang bisa dikemukakan. Pertama, untuk membentengi bangsa dari gerusan nilai-nilai global dan mondial agar jatidiri dan kepribadian bangsa yang sudah teruji lewat sejarah peradaban yang panjang tetap menampilkan entitasnya. Hal ini tak terlepas dari esensi seni dan budaya itu sendiri sebagai elemen humaniora yang mampu menumbuhkan kepekaan nurani, nilai kesalehan hidup (baik individu maupun sosial), dan makna kearifan hidup. Melalui seni dan budaya, mata hati kita akan makin terbuka terhadap persoalan-persoalan kebangsaan sehingga mampu melihat setiap persoalan secara jernih; tidak mudah terjebak dan tergelincir dalam jalan hidup yang mengedepankan otot dan kekerasan.

Kedua, menjadikan ”paket” kesenian dan kebudayaan tak hanya sebatas sebagai bagian dari mata rantai industri yang menjanjikan keuntungan materiil, tetapi juga menjadikannya sebagai ikon peradaban bangsa yang santun, terhormat, dan bermartabat. Dalam skala mikro, para pelaku seni dan budaya agaknya perlu sigap menangkap momen-momen globalisasi dengan menciptakan karya-karya monumental dan representatif yang mampu menembus batas-batas geografis, tak sekadar menjadi karya masterpiece di negeri sendiri. Lobi kesenian dan kebudayaan antarbangsa pun perlu dibuka dan dihidupkan.

***

Dalam konteks demikian, kehadiran komunitas dan kantong-kantong budaya menjadi penting dan urgen sebagai katalisator kebudayaan yang memiliki dua fungsi. Pertama, penguat ketahanan dan identitas kebudayaan. Sudah lama negeri kita dikenal sebagai sebuah bangsa yang kaya budaya. Keragaman budaya dengan corak multikultur-nya sudah menjadi brand yang mengagumkan. Banyak negeri lain yang merasa iri dengan kekayaan multikultur nusantara. Hampir setiap daerah memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang diekspresikan secara kreatif dalam produk-produk budaya yang indah dan eksotis, hingga membentuk mozaik budaya yang memiliki daya pikat dan daya pesona tersendiri. Pada titik inilah sebuah komunitas budaya yang sekaligus sebagai salah satu pemangku kebudayan bisa mengambil peran di garda terdepan.

Kedua, menciptakan ruang dan atmosfer kebudayaan yang mampu memicu “adrenalin” para pelaku budaya dalam menghasilkan produk-produk budaya yang eksotis dan mengagumkan. Melalui jejaring antarkomunitas budaya yang kuat, para pelaku budaya bisa bersinergi dan berkolaborasi dalam melahirkan karya-karya “masterpeice”, termasuk dalam mempromosikan produk budaya ke ruang-ruang publik. Sebagai sebuah produk budaya, hasil-hasil kesenian dan kebudayaan akan ikut menjadi faktor penentu terhadap kedaulatan bangsa dan negara. Jangan sampai terjadi, produk-produk budaya yang indah dan eksotis gagal menjadi salah satu ikon pencerah peradaban akibat sikap abai, lalai, lamban, dan salah urus secara kolektif. Komunitas Budaya perlu kembali ke “khittah”-nya sebagai katalisator peradaban yang mengambil peran terdepan untuk menumbuhkembangkan nilai-nilai kearifan lokal melalui produk budaya yang dihasilkan para awak komunitas.

Di tengah era kesejagatan ketika dunia menjadi sebuah perkampungan global, agaknya hanya bangsa yang memiliki kepekaan dan kecanggihan budaya yang akan tampil sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat. Dalam situasi demikian, pemerintah perlu memberikan ruang berkesenian dan berkebudayaan yang lebih bebas dan leluasa bagi kreativitas kaum seniman dan budayawan, tidak lagi dipasung oleh kecurigaan-kecurigaan yang kurang menguntungkan. Berikan hak bagi kaum seniman untuk bergerak mencari ruang berkreasi, mencari publik, dan melakukan kolaborasi lewat paduan estetika yang memikat dan memesona. Tak perlu lagi ada kebijakan pelarangan dan pemberangusan karya-karya seni kaum seniman dan budayawan.

Yang tidak kalah penting adalah semangat dan energi para awak komunitas budaya. Membangun sebuah komunitas budaya memang bukan hal yang sulit. Yang sering jadi persoalan justru ketika memberdayakan sebuah komunitas agar tidak terjebak sekadar simbol dan papan nama semata. Dibutuhkan energi ganda untuk memberdayakannya. Secara internal, mereka perlu terus berkarya dan menggembleng diri dalam melahirkan produk-produk budaya yang indah dan eksotis. Secara eksternal, mereka perlu menjadi bagian dari “masyarakat kebudayaan” melalui jejaring kebudayaan yang kuat sehingga memiliki daya dan posisi tawar yang diperhitungkan.

Sanggupkah para awak komunitas budaya melakukannya? Sebuah peluang dan tantangan kreatif yang butuh dijawab dengan aksi. Nah, salam budaya! ***

*)    Disajikan dalam “Temu Budaya Kendal”, Sabtu, 28 April 2012, di Pondok Maos Guyup, Boja, Kendal

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

26 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Budaya

Pilpres, Mudik, dan Lebaran

Oleh: Sawali Tuhusetya Suasana Ramadhan tahun ini sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Go to Top