Kota Mati, Air Mata Darah, dan Kulacak Jejak Masa Silamku

Kategori Fiksi/Sastra Oleh

Sajak-sajak Sawali Tuhusetya

Kota Mati

Kutulis sajak ini
ketika angin laut menyurut di tebing kelam
ketika suara jangkrik malam larut dalam dekapan kota mati
ketika lahar dingin membadai di kali lereng Merapi
meratakan perkampungan di tengah peradaban yang sunyi
memabukkan penguasa di atas tahta tanpa nama
meninabobokan para tirani demokrasi di atas panggung tanpa nurani

Wahai para ksatria negeri
Tataplah tebing-tebing zaman yang kerontang
Yang dihuni para pelacur tanpa kutang
Yang dikencingi para bromocorah dan petualang licik
Yang ditiduri para pencopet kelas teri
Yang terus dilintasi para musyafir tanpa jatidiri

Ini kota mati
Yang terus dikendalikan para pengikut machiavelli
Dan tak lagi percaya pada sabda-sabda nabi

* Kendal, Desember 2010

Kulacak Jejak Masa Silamku

Kulacak jejak masa silamku
Menyusuri lembah, ngarai, dan labirin kesunyian
Di tengah senja yang lindap
Berkepakan sayap-sayap kelelawar
Menyusuri silhuet pekat dan kesiur angin laut tanpa warna
Menjelajah bukit demi bukit tanpa nama
Memburu makna kearifan hidup di tengah rimba peradaban yang tandus

Aku bukan Kunti, kekasih Sang Surya
Yang mampu bersetubuh dengan matahari
Yang mampu melahirkan anak-anak peradaban
Di tengah padang Indraprasta

Aku juga bukan Bima Suci
Penemu tafsir tirta prawidhi
Di tengah ceruk samudra suci
Bersemayam dalam nirwana Sang Dewa Ruci
Dalam tambur hakikat kesejatian diri

Aku hanyalah kerikil peradaban
Yang tak sanggup mendengar terompet para pendusta
Yang terus mengiris gendang telinga para pemburu kebenaran

Oh, Sang Penjaga Semesta Malam
Jangan biarkan aku tenggelam dalam kealpaan
Jangan biarkan aku melupakan nama-nama nabi
Jangan biarkan aku memusnahkan fosil-fosil peradaban
Jangan biarkan aku larut melacak jejak masa silamku

* Kendal, Desember 2010

Air Mata Darah

Kusebut asma-Mu dengan air mata darah
Meratapi tubuh negeri yang berdarah-darah
Menatap gebalau zaman yang gelisah
Menyaksikan jutaan tangan setengah tengadah
Yang tak pernah berhenti menyetubuhi hamparan sajadah
Namun, tak juga menemukan singgasana rahmah

Kendal, Desember 2010
***

Tags:

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

38 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Fiksi

Go to Top