Dalang: Sawali Tuhusetya
Duryudana mulai risih dengan sikap rakyat Hastina yang suka mengelu-elukan dan memuji-muji para Pandawa. Yang menjengkelkan, mereka sudah berani bersikap terang-terangan di muka umum. Sudah berkali-kali mereka berorasi dan berdemo di depan istana. Spanduk pujian kepada Yudistira dan umbul-umbul bertaburan di jalan-jalan protokol dan alun-alun kota. Foto dan gambar Pandawa terpajang megah di mana-mana. Yang tak kalah menjengkelkan, sambil menenteng foto dan gambar Destarasta, ayahnya yang buta, para pengujuk rasa berkoar-koar bahwa Yudistiralah yang pantas menggantikan posisi ayahnya sebagai penguasa Hastinapura. Sedangkan namanya? Alih-alih dipuji dan dielu-elukan, para demonstran justru mengolok-oloknya sebagai keturunan bangsa Kuru yang cacat moral, korup, dan tak punya integritas yang bagus untuk memerintah Hastina.
“Sudah saatnya Destarasta lengser keprabon! Berikan kesempatan kepada kaum muda untuk memimpin Hastinapura. Yudistira-lah yang sangat layak untuk menggantikannya! Cerdas, rendah hati, dan berpihak kepada rakyat!” teriak seorang pendemo sambil menenteng tinggi-tinggi foto Yudistira yang tampak demikian wibawa, disambung yel-yel dan kegaduhan ratusan massa yang berjubel di depan istana Hastinapura. Sesekali terdengar teriakan, “Hidup Yudistira, hidup Yudistira!”
Yel-yel, teriakan, dan suara gaduh para demostran itu terasa menyayat ulu hati Duryudana. Perih! Ingin rasanya Duryudana dan para Kurawa menyumpal mulut para demonstran itu. Namun, jika itu dilakukan, rakyat Hastina justru akan semakin antipati dan kian garang melawannya.
“Sudahlah! Paling-paling mereka juga pendemo bayaran! Tenang saja, Mas! Dikira hanya Pendawa tengik itu yang bisa merekrut demostran! Kita juga bisa kok! Demonstran harus dilawan dengan demonstran!” bisik Dursasana dari sudut istana yang diamini oleh kerabat Kurawa yang lain.
“Masuk akal juga usulmu, Dursasana! Tapi aku lebih suka jalan pintas! Terlalu lama kalau harus pakai demo tandingan! Lebih baik kita bujuk Bapak dan minta dukungan kepada para pejabat Hastinapura untuk menyingkirkan Yudistira keparat itu!” sahut Duryudana. Kurawa yang lain hanya bisa saling bertatapan. Maklum, mereka paham benar dengan tabiat kakak sulungnya itu. Semua pendapatnya sudah jadi harga mati dan tak satu pun yang boleh menentangnya kalau tak ingin digebug.
Walhasil, menghadaplah Duryudana dan adik-adiknya kepada Destarasta, ayahnya. Dengan berbagai cara dan bujuk rayu, Duryudana bertutur tentang perilaku para demonstran yang sudah tidak lagi menghargai Destarasta sebagai penguasa Hastina, bahkan cenderung memuji-muji Yudistira.
“Ini tidak boleh dibiarkan, Ayah! Apa yang akan terjadi dengan negeri ini kalau rakyat sudah tidak lagi menghargai Ayah sebagai penguasa Hastinapura yang agung? Maukah Ayah bernasib seperti Ben Ali di Tunisia atau Hosni Mubarak di Mesir yang harus terusir dari negerinya sendiri lantaran tak sanggup lagi menjinakkan rakyatnya sendiri? Atau, Ayah akan tetap bertahan seperti Moamar Khadafi di Libya yang harus mengorbankan ribuan rakyatnya sendiri? Tidak! Saya tak pernah bermimpi kalau ayah harus terusir dari Hastina atau harus berperang melawan rakyat sendiri! Solusi terbaik adalah menyingkirkan para Pandawa dari negeri Hastinapura! Merekalah yang telah mencekoki rakyat dengan berbagai propaganda, hasutan, dan agitasi agar membenci kita! Jika Pandawa masih ada di Hastinapura, bukan mustahil sesuatu yang buruk benar-benar akan terjadi! Kita semua akan terusir!” kata Duryudana geram. Suaranya menggelegar bagaikan gugusan mitralyur di medan perang. Para Kurawa yang lain, seperti biasanya, hanya bisa saling bertatapan.
“Duryudana, anakku! Kamu tidak usah berlebihan dalam merespon sikap para demonstran seperti itu. Rakyat juga punya hak untuk menilai siapa yang pantas untuk menggantikan ayah, kok. Kamu juga tak perlu khawatir kalau Yudistira akan mengusir kita kalau kelak dia benar-benar terpilih untuk menggantikan ayah! Dia pemuda yang baik dan luhur budi!” sahut Destarasta sembari tersenyum dingin.
“Kenapa Ayah jadi membela Yudistira keparat itu? Tidak! Aku tidak setuju dengan sikap Ayah yang tidak tegas! Hastinapura mulai terancam krisis. Butuh ketegasan sikap! Singkirkan mereka yang akan menjadi penghalang kelangsungan kekuasaan di Hastina!”
“Terus, saya mesti bagaimana? Haruskah saya menyingkirkan para Pandawa, keponakanku sendiri? Ingat, Dur, mereka itu saudara-saudaramu sendiri, putra pamanmu, Pandu!”
“Justru karena itu persoalannya, Ayah, sehingga Pandawa harus disingkirkan! Tegakah Ayah menyaksikan nasib kami kelak hidup terlunta-lunta? Haruskah kami mengemis kepada para Pandawa sekadar untuk bisa ikut menikmati kekayaan Hastinapura, tanah leluhur kita?”
“Tapi, Dur, ayah juga tidak tega jika harus menyingkirkan saudara-saudaramu itu!”
“Ayah tidak perlu khawatir! Aku, adik-adik, dan Paman Sangkuni sudah menyiapkan rencana jitu! Ayah tidak usah ikut terlibat! Ayah hanya membujuk para Pandawa dan Dewi Kunti agar mau beristirahat sementara di Pesanggrahan Waranawata yang sudah kami bangun! Itu saja!”

Destarastra

Duryudana

Yudistira
Destarasta tak sanggup mencegah kekerasan hati anak-anaknya. Dia pun terpaksa mengikuti skenario yang telah disusun rapi itu. Suatu ketika, dengan sikap tenang dan lembut, Destarasta menawarkan pesanggrahan di Waranawata kepada Dewi Kunti dan para Pandawa sebagai tempat peristirahatan sekaligus agar menikmati keindahan alam di sana.
“Kabarnya di Waranawata juga sedang ada acara upacara ritual pemujaan Batara Shiwa secara besar-besaran yang hanya bisa disaksikan setahun sekali! Pasti akan sangat menyenangkan. Sebenarnya saya ingin ikut juga ke pesanggrahan Waranawata. Sayang, saya tidak bisa menikmati keindahan apa-apa!” kata Destarasta di depan Dewi Kunti dan para Pendawa yang sedang menghadapnya. Tanpa rasa curiga, tawaran itu diterima dengan baik.
Widura, paman para Pandawa yang sudah lama menetap di Hastinapura, agaknya menangkap gelagat busuk dari para Kurawa. Secara diam-diam, dia membocorkan skenario yang telah disusun para Kurawa itu kepada para Pandawa.
“Berangkatlah ke pesanggrahan! Nikmati saja seolah-olah tidak terjadi apa-apa! Tapi, ingat, khususnya kamu Bratasena, ketika tengah malam, jika ada suara ledakan di pesanggarahan, segera selamatkan ibumu dan saudara-saudaramu melewati terowongan yang sudah saya buat agar kalian selamat. Mengerti Bratasena?” kata Widura dengan suara bergetar.
“Baik, Paman! Terima kasih atas kebaikan Paman!” jawab Bratasena.
Dengan sikap tenang, Dewi Kunti dan para Pandawa berangkat menuju Pesanggrahan Waranawata. Hal ini membuat Duryudana merasa senang dan puas. Dia yakin, siasatnya akan berjalan dengan sempurna. Kematian para Pandawa hanya tinggal menunggu waktu saja. Untuk meyakinkan dirinya, Duryudana terus menjalin kontak dengan Purocana, seorang “developer hitam” yang dia rekrut untuk membuat pesanggrahan di kawasan Waranawata yang sengaja didesain khusus dari bahan yang gampang meledak dan terbakar, tetapi didesain mewah.
“Ingat, kamu harus bergerak cepat ketika mereka tertidur pulas. Jangan sampai melakukan tindakan apa pun yang bisa menimbulkan kecurigaan, paham?” kata Duryudana melalui handphone.
“Siap, Bos! Bos ndak usah khawatir. Saat ini, mereka sedang menikmati jamuan makan malam! Dan perlu Bos tahu, minuman untuk jamuan makan malam sudah saya campur dengan ramuan khusus yang akan membuat mereka terlena, haha …,” sahut Purocana.
“Bagus, bagus, kamu memang layak dipercaya dan diandalkan, Purocana!”
Ketika tengah malam tiba, saat Dewi Kunti dan para Pandawa terlelap di pesanggrahan, Purocana segera bergerak. Melalui orang-orang kepercayaannya, dia bakar seluruh pesanggrahan dari berbagai sudut. Terdengar ledakan dahsyat. Dalam sekejap, si jago merah menjilat langit malam pesanggrahan yang pekat dan sepi. Bratasena yang sedang terjaga, segera ingat pesan pamannya, Widura, untuk menyelamatkan Dewi Kunti dan saudara-saudaranya melalui terowongan darurat. Tanpa sengaja, Bratasena melihat Purocana yang sedang berkelebat mencurigakan. Tanpa ampun lagi, lelaki berjidat licin itu segera dilempar ke tengah jilatan api yang berkobar. Tubuhnya menggelepar terpanggang api. Dalam sekejap, pesanggaran beserta seluruh isinya rata dengan tanah, hanya menyisakan bara dan abu. Kepulan asap pekat yang meluncur di atas kawasan Waranawata yang sunyi seolah mengabarkan kepada dunia bahwa malam itu tengah terjadi kebiadaban dan kejahatan yang tak terlupakan oleh sejarah negeri Hastina.
Berkat gerak cepat Bratasena, Dewi Kunti dan para Pandawa berhasil selamat dari amukan si jago merah melalui terowongan darurat yang dibuat khusus oleh Paman Widura. Seperti dituntun oleh sesuatu yang gaib, seekor musang putih menunjukkan jalan kepada Dewi Kunti dan para Pandawa menuju kawasan Saptapratala, sebuah tempat mahaindah yang biasanya hanya dihuni oleh dewa. Setelah meninggalkan Saptapratala, Dewi Kunti dan para Pandawa hidup di belantara hutan yang angker.
Suatu ketika terdengar suara tangis Pinten (Nakula) dan Tangsen (Sadewa), dua anak kembar yang telah ditinggal mati ayah dan ibunya, Pandu dan Madrim, memenuhi takdir hidupnya. Di tengah hutan belantara yang sunyi dan angker, jelas bukan hal yang mudah bagi mereka untuk bisa mendapatkan sejengkal makanan sebagai pengganjal perut. Naluri keibuan Dewi Kunti tersentuh rasa haru dan iba.
Dengan nada sedih dan berurai air mata, Dewi Kunti mengelus lembut kepala dua bocah kembar itu. “Oh, anakku, Pinten dan Tangsen, kalau saja rambutku ini dapat kujual, akan kupotong dan kutukar dengan makanan untuk membuat kenyang perut kalian!” kata Dewi Kunti dengan dada dan suara bergetar. Menyaksikan kesengsaraan hidup adik-adiknya, Bratasena geram. Giginya gemeletuk. Ingin rasanya dia segera menghajar para Kurawa yang dianggap telah membuat hidup ibu dan saudara-saudaranya sengsara. *** (Tancep kayon)
wah endingnya kok sedih begini, pak dalang?
saya baru tahu bahwa pinten tangsen bukan anak dewi kunti. terima kasih ceritanya 🙂
kalau ndak salah, dua anak kembar yang kelak bernama nakula dan sadewa ini putra pandu dan dewi madrim, mbak latree.
Mas Bim, cepat akhiri si Duyudhono ya … Jangan lama-lama …
hehe … seperti mas bim pun harus tunduk pada pakem, mas, sugi, hehe ….
andai rambut Dewi Kunti bisa dijual pasti ceritanya beda pak hehe 🙂
begitukah? wah, mungkin mas arif bisa mengembangkannya menjadi versi yang berbeda, hehe …