Dalam sepekan terakhir ini, publik tanah air disuguhi drama kepengurusan sepakbola yang cukup menyita perhatian banyak kalangan. Kesan yang muncul, tengah terjadi “perseturuan” antara kubu PSSI yang terus berupaya mempertahankan tahtanya yang tengah diduduki Nurdin Halid cs selama dua periode dan kubu Kementerian Pemuda dan Olahraga yang berupaya untuk menghembuskan angin “reformasi” dan restrukturisasi di tubuh PSSI. Kalau boleh dipersonalkan, kesan bahwa perseteruan antara Nurdin Halid vs Andi Alfian Mallarangeng tak bisa dihindarkan. Sedemikian seru konflik yang terjadi di atas panggung itu sampai-sampai para wakil rakyat pun berinisiatif untuk mempertemukan kedua kubu yang dinilai tengah berkonflik itu.
Dalam kaca mata dunia panggung, seharusnya tidak akan ada pihak ketiga yang harus repot-repot turun tangan seandainya pentas berlangsung normal dan wajar. Para penonton pun akan bisa menyaksikan pentas itu dengan aplaus meriah, bukan dengan teriakan cemoohan dan cercaan kepada para pelaku. Pentas makin kacau ketika teriakan dan cemoohan, bahkan juga lemparan batu ke atas panggung “tidak pernah dianggap” dan tidak digubris. Alih-alih menghentikan aktingnya, para pelaku justru makin asyik dengan dunianya sendiri, bahkan mengklaim diri sebagai aktor hebat. Byuh! Byuh!
Ya, ya, mungkin kurang relevan jika menganalogikan kisruh dan kemelut PSSI belakangan ini dengan sebuah pentas teater. Namun, jika mau jujur, konflik yang berlarut-larut semacam itu harus dinilai sebagai sebuah anomali dunia keolahragaan (sepakbola) tanah air yang telah memberikan dampak serius terhadap ranah sosial dan budaya. Egoisme dan aroganisme dengan selalu berlindung di balik kosakata “statuta FIFA” untuk mempertahankan harga diri, marwah, dan martabat PSSI hanyalah sebuah apologi berlebihan untuk gengsi personal; bukan untuk mewujudkan masa depan sepakbola tanah air yang lebih mencerahkan dan berprestasi.
Dalam perspektif yang lebih luas, sejatinya sepakbola bisa dijadikan sebagai “proyek nyata” untuk menanamkan basis pendidikan karakter bangsa. Harus diakui, sepakbola di negeri ini sudah menjadi bagian dari kultur bangsa. Ada nilai sportivitas, fairplay, kejujuran, keadilan, keindahan, kedisiplinan, atau kerja keras yang terpancar di sana. Anak-anak bangsa di negeri ini, secara langsung atau tidak, bisa menemukan perpaduan berbagai nilai dan karakter itu dari sebuah permainan sepakbola. Tak hanya itu. Dari sepakbola pula, seluruh warga bangsa bisa menemukan kembali nilai-nilai nasionalisme dan cinta tanah air yang hilang akibat meruyaknya berbagai perilaku anomali yang –diakui atau tidak—berimbas besar terhadap lunturnya semangat nasionalisme dan cinta tanah air. Betapa bangganya sebagai sebuah bangsa, di tengah ancaman krisis multiranah yang belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, apabila memiliki sebuah tim kesebelasan yang solid dan hebat, sehingga mampu menjadi duta bangsa dalam perhelatan dunia internasional. Kita merasa bangga sekaligus terharu ketika menyaksikan kibaran Merah-Putih dan lagu Indonesia Raya membahana. Sepakbola, diakui atau tidak, bisa menjadi ikon pemersatu yang mampu memperkokoh kebhinekaan di tengah ancaman penafsiran nilai priomordialisme sempit dan fanatisme kelompok secara berlebihan.
Sungguh beralasan ketika Timnas Sepakbola masuk dalam Final Piala AFF 2010 yang lalu, bangsa kita seperti menemukan kembali martabatnya sebagai bangsa terhormat. Publik sepakbola menunjukkan apresiasi mengharukan dengan membanjiri lapangan bola setiap kali Timnas beraksi. Di tengah paceklik prestasi bertahun-tahun lamanya, Timnas bisa menumbuhkan kebanggaan dan keharuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meski gagal menjadi juara, kebanggaan terhadap Timnas belum juga luntur. Publik sepakbola sangat mengharapkan momen-momen membanggakan dan mengharukan seperti itu bisa terus berulang.
Pertanyaan yang muncul kemudian, haruskah kebanggaan dan keharuan itu digadaikan hanya sekadar untuk membela dengan membabi buta terhadap elite Pengurus PSSI yang dianggap gagal dalam menyuguhkan prestasi terbaik buat bangsa? Salahkah kalau para pencinta sepakbola menuntut dan berharap agar pengurus PSSI benar-benar mampu menunjukkan kinerja optimal yang diwujudkan dalam bentuk prestasi membanggakan dari Timnas? Salahkah pula kalau para pencinta bola terus berteriak ketika pengurus PSSI yang dinilai telah gagal mengurus bola itu “alergi” terhadap suksesi dan terus berapologi dengan menggunakan berbagai alasan pembenar, hanya sekadar untuk mempertahankan gengsi dan harga diri?
Apa pun alasannya, harus ada upaya serius untuk menyelamatkan masa depan sepakbola tanah air. Para elite pengurus PSSI perlu memperhatikan suara publik! Bertahun-tahun mereka memendam harapan akan prestasi Timnas. Ibarat menonton teater, mereka sudah muak dengan akting para pelaku di atas panggung yang tak pernah mampu menyuguhkan pentas yang mengagumkan. Pengurus PSSI tak perlu takut kehilangan muka jika beriktikad baik untuk tidak ikut meramaikan bursa kepengurusan PSSI periode mendatang. Berikan kesempatan kepada para stake-holder sepakbola dan mereka yang benar-benar mengerti bola untuk mengurus PSSI. Bisa jadi publik akan berbalik menaruh empati jika elite PSSI dengan jujur dan terbuka mengakui kegagalannya dalam mengurus bola selama ini. Kepentingan bangsa yang lebih besar perlu diselamatkan, tak perlu lagi berlindung di balik ayat-ayat “statuta FIFA” dan berbagai thethek-bengek ancaman yang amat tidak menguntungkan bagi masa depan PSSI! Nah, bagaimana? ***
Kalau pengurusnya jujur dan terbuka … pasti akan membuahkan hasil yang baik … para pemain juga merasa senang kalau main dengan hati senang pasti kemungkinan menang juga akan besar …
Selamat malam pak …
sudah lama saya tidak berkunjung … mumpung di masa-masa liburan dan baru pulang kekota baru bisa menjamah dunia maya … jadi saya merasa senang bisa berkunjung kembali ke blog bapak …
kalau saya hanya bisa berdoa supaya kelas untuk kedepan dunia persepak bolaan Indonesia semakin maju … paik dari segi pengurus ataupun atlitnya …
Para petinggi PSSI sudah saatnya sadar bahwa pemain sepakbola Indonesia juga ingin merasa bangga pekerjaannya sebagai “pemain sepakbola” saat mengisi kolom pekerjaan di KTP atau formulir pendaftaran lainnya. Semoga ISL atau LPI dapat mewujudkan hal itu.
kalau rusak bisa diperbaiki, kalau bobrok harus dibuang dan belu yang baru lagi……yang terjadi sekarang adalah kebobrokan….jadi haruslah beli lagi yang baru….revolusi persepakbolaan INDONESIA
mudah2an revolusi yang mungkin bisa saja terjadi benar2 memberikan keuntungan buat kemajuan dunia sepak bola tanah air, ya, mas.