Simpang-siur penafsiran Peraturan BSNP Nomor: 0148/SK-POS/BSNP/I/2011 tentang Prosedur Operasi Standar (POS) Ujian Nasional (UN) Tahun Pelajaran 2010/2011 dan Peraturan BSNP Nomor: 0149/SK/BSNP/I/2011 tentang POS Pencetakan Bahan UN Tahun Pelajaran 2010/2011 agaknya akan segera berakhir setelah Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) mengeluarkan Buku Tanya-Jawab Pelaksanaan UN 2011. Melalui buku yang dikemas dalam bentuk tanya-jawab tersebut, segenap pemangku kepentingan pendidikan diharapkan bisa memahami lebih detil tentang berbagai hal yang berkaitan dengan pelaksanaan UN 2011.
Salah satu persoalan yang selama ini menimbulkan kesimpangsiuran penafsiran adalah klausul dalam POS Pencetakan Bahan UN yang menyatakan bahwa naskah soal UN terdiri atas 5 Paket yang dimasukkan ke dalam amplop naskah soal per mata pelajaran per ruang ujian. Namun, klausul ini tidak dijelaskan secara rinci pada POS UN 2011. Dalam POS tersebut hanya disebutkan bahwa salah satu tugas pengawas UN adalah membagikan naskah soal secara acak kepada peserta UN untuk setiap mata pelajaran. Apakah benar bahwa soal UN yang dibagikan oleh pengawas kepada peserta UN ada 5 paket soal atau tidak, belum ada kejelasan.
Persoalan baru terjawab setelah Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) mengeluarkan Buku Tanya Jawab Pelaksanaan UN 2011. Berikut adalah salah satu tanya-jawab penting yang termuat dalam buku tersebut.
25.Apakah setiap peserta ujian dalam satu ruang mendapatkan paket soal yang sama?
Tidak. Dalam UN 2011, dalam satu ruang ujian akan menerima 5 paket soal yang berbeda untuk menghindari kecurangan dan mewujudkan hasil UN yang jujur.
Selain itu, dalam buku tersebut juga dipaparkan tentang perbedaan pelaksanaan UN antara tahun 2010 dan 2011 sebagai berikut.
No. | UN Tahun 2010 | UN Tahun 2011 |
1. | Ada UN Ulangan | Tidak ada UN ulangan |
2. | Ada Tim Pemantau Independen (TPI) | Tidak ada Tim Pemantau Independen (TPI) |
3. | Pengawas ruang ujian ditetapkan oleh Dinas Pendidikan | Perguruan Tinggi menetapkan pengawas ruang ujian untuk SMA/MA, dan SMK bersama dengan Dinas Pendidikan. |
4. | Hanya ada dua paket soal dalam satu ruang ujian | Ada lima paket soal dalam satu ruang ujian. |
5. | Tidak ada uji petik | Penyelenggara pusat melakukan uji petik pada setiap provinsi, untuk mengkaji kredibilitas penyelenggaraan ujian. |
6. | Nilai hasil ujian sekolah dan nilai hasil ujian nasional masing-masing berdiri sendiri dan sama-sama menentukan kelulusan dari satuan pendidikan. Nilai rapor tidak diperhitungkan. | Nilai Sekolah, yang terdiri dari gabungan nilai ujian sekolah dan nilai rata-rata rapor diberi bobot 40% untuk menentukan kelulusan UN. |
7. | Nilai UN berdiri sendiri, dan diperhitungkan 100% sebagai salah satu faktor penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. | Nilai UN diberi bobot 60% dan nilai sekolah diberi bobot 40% dalam penentuan kelulusan. |
Dengan menggunakan buku tanya jawab tersebut sebagai rujukan pelengkap, Kemdiknas berharap, para pemangku kepentingan pendidikan tidak perlu lagi berpolemik secara berkepanjangan yang bisa mengganggu pelaksanaan UN 2011. (Buku tanya-jawab tentang Pelaksanaan UN 2011 bisa diunduh di sini.)
Persoalannya sekarang, apakah dengan menggunakan lima paket soal dalam satu ruang ujian kecurangan dapat dikurangi dan hasil UN yang jujur dapat terwujud?
Ya, ya, pertanyaan itu penting untuk dijawab, sebab dari tahun ke tahun, pelaksanaan UN selalu sarat dengan berbagai ulah kecurangan, tetapi tak satu pun kasus yang ditindaklanjuti secara tegas. Sang peniup peluit alias “Whistle Blower” yang berupaya untuk melaksanakan UN dengan jujur justru tak jarang diperlakukan secara tidak simpatik, bahkan tak sedikit yang disisihkan dan dikucilkan dari pergaulan sosialnya.
Dalam konteks demikian, kita memang layak memberikan apresiasi kepada Kemdiknas atas terobosan baru yang diluncurkan dengan menyusun formula kelulusan dan pelaksanaan UN 2011 yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Terobosan baru ini diharapkan mampu memberikan nilai-nilai dasar dan filosofis yang lebih kokoh tentang Ujian Nasional yang selama ini diragukan tingkat kejujuran, objektivitas, dan kredibilitasnya.
Masih jelas terlihat jejak UN tahun-tahun sebelumnya yang melukai nurani para pendamba dunia pendidikan yang jujur dan fair. UN selalu dikaitkan secara politis untuk mengangkat citra dan marwah para pejabat di tingkat lokal (daerah). Demi pencitraan, para pejabat daerah, mulai gubernur, bupati/walikota, hingga Kepala Dinas Pendidikan, rela menggadaikan nilai kejujuran dengan menghalalkan segala cara untuk mendongkrak angka kelulusan. Secara sistematis dan struktural, mereka menekan pejabat dan birokrat pendidikan yang berada di bawah kewenangannya. Yang sering menjadi korban, jelas para guru pengampu mata pelajaran UN di sekolah. Mereka sering dituding tidak becus mengajar kalau sampai gagal mendongkrak angka kelulusan.
Kini, situasi seperti itu sudah amat jauh berkurang intensitasnya. Tekan-mekenan secara sistematis dan struktural seperti yang terjadi pada pelaksanaan UN tahun-tahun sebelumnya sudah (nyaris) tak terasakan lagi. Memang, formula kelulusan dan pelaksanaan UN tahun ini bukanlah yang “sempurna”. Namun, terobosan semacam itu diharapkan bisa menjadi “starting point” untuk mewujudkan proses pelaksanaan dan hasil UN yang jauh lebih jujur, objektif, dan adil.
Pertanyaan yang muncul kemudian, kalau ruang untuk berbuat curang kian dipersempit, tetapi masih ada pihak-pihak tertentu untuk berbuat konyol dan tidak bermartabat, haruskah mereka dibiarkan bergentayangan, tanpa tindakan tegas untuk menimbulkan efek jera? Haruskah para “whistle blower” yang berupaya menegakkan wibawa dunia pendidikan justru dikucilkan dan disingkirkan dari pergaulan sosialnya atau dihambat karirnya dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal? ***
mudah mudahan UN ditahun yang akan datang akanlebih sukses dari tahun tahun sebelumnya,,,