Gumam Asa Berkata Terang

Kategori Esai/Sastra Oleh

Gumam Asa Berkata Terang
Oleh : HE. Benyamine

(Ruang Cakrawala, Sastra dan Budaya, Koran Radar Banjarmasin, Minggu 25 Juli 2010 halaman 5. Resensi Buku)

Membaca buku Istana Daun Retak, Kumpulan Gumam Asa karya Ali Syamsudin Arsi (ASA), terbitan Frame Publishing, Bantul Yogyakarta, April 2010 yang berisi 14 Gumam Asa, ternyata tidak terlihat bahwa pengarangnya sedang bergumam. Apalagi, kata-kata yang seharusnya tertahan di dalam mulut itu sudah tercetak dalam lembaran kertas, sebagaimana tertulis dalam berbagai bentuk yang memang masih perlu diperdebatkan sebagai apa; puisi, cerpen, atau esai juga bentuk lainnya. Namun demikian, buku ini menarik saat mulai membacanya, karena ada keharuan, kejujuran, pembelaan, kepedulian, terungkap apa adanya, dan berhubungan dengan sebagian sisi kemanusiaan yang dihadirkan dengan puitik. Sehingga buku ini sangat layak untuk mendapatkan apresiasi atas kreativitas dan kesungguhan ASA dalam berkarya.

Sekilas, buku ini terlihat seperti tidak simetri dan tidak memperdulikan keharmonisan sebagai suatu karya estetik, seakan kata-kata dibiarkan berserakan dalam satu tulisan, yang menghadirkan keliaran kata dan membebaskan kata dalam struktur, baik itu dalam bentuk puisi atau cerpen dan bentuk lainnya. Gumam yang tidak begitu jelas terdengar, yang jelas dan dipahami oleh si penggumam sendiri, yang mengesankan bahwa semua kata berhak untuk dituliskan berdasarkan kata yang mana dapat lebih dahulu keluar dari mulut dan mampu menjadi bunyi. Dengan menamakan Gumam pada buah kreativitasnya.

ASA terkesan menyembunyikan atau menyamarkan karyanya, yang pada saat pembaca tertuju pada label Gumam sudah terbesit gambaran ketidakjelasan dan ketidakberaturan. Hal ini tergambar pada catatan kreatif ASA, Sebuah Pengantar dalam buku ini sebagai “… olahan rangkaian gumam secara keseluruhan tetap saja menjadi bercampur-baur, saling tumpang, saling tindih dan mencoba untuk menawarkan sesuatu yang bersifat kreatif dengan keliaran-keliaran inovatif.”

Gumam Asa dalam buku ini masih begitu kentara kecenderungan pada bentuk tulisan puisi yang tersamarkan oleh bentuk tulisan prosa, yang membawa pembaca untuk menentukan posisi sendiri dalam pembacaannya. Apakah pembaca memandang teks di depannya sebagai puisi atau prosa, diserahkan kepada pembaca sendiri untuk menentukannya. Bila memilih sebagai puisi, maka pembaca harus melihatnya dengan frame bentuk puisi. Bila memilih sebagai prosa, maka pembaca harus menjadi tokoh dalam tulisan tersebut dengan menentukan kata-kata tambahan yang terbayang sendiri untuk membayangkan pembacaannya.

Dalam buku ini yang dapat dikatakan secara jelas sebagai puisi pada Gumam Asa10 (h.52) dan Gumam Asa 13 (h.74), meskipun pengantar untuk masuk puisi dalam bentuk tulisan rata kiri-kanan seperti tulisan prosa tetapi dalam hal isi masih cenderung bentuk puisi. Sedangkan yang tersamarkan adalah Gumam Asa 9: Menari Puisi Puisi (h. 44), yang jika diperhatikan terlihat sebuah puisi panjang dalam struktur prosa. Pilihan struktur pada Gumam Asa 9 ini, secara tidak langsung mengingatkan bahwa ASA pernah menulis satu puisi yang panjang (168 halaman) berjudul Seribu Ranting Satu Daun, diterbitkan setiap hari selama satu tahun (1987) di ruang Dahaga Koran Banjarmasin Post sebagaimana Tentang Penulis Gumam (h. 120). Gumam Asa 9 ini jelas bukan puisi gelap atau menunjukkan suatu ketidakberaturan, di sini malah terlihat keyakinan ASA tentang puisi dengan “Puisi, dengan segala ketajamannya, akan mampu menerobos ke sumsum relung hati dan kebijakan yang menggila yang hanya mampu bergerak sebagai mesin perontok serta-merta puisi pula yang mengasah ketajaman dengan lemah gemulai namun dapat menikam, ayo menarilah puisi-puisi di setiap relung dan ceruk-ceruk terdalam agar langkah kaki agar tatap mata agar gendang-gendang telinga agar syaraf-syaraf agar urat-urat agar setiap rencana agar setiap ucap tak sampai ke wilayah-wilayah lena.”

Dalam Gumam Asa 7: Istana Daun Retak (h. 36), Gumam Asa 8: Hujan Tipis Tipis (h. 40), dan Gumam Asa 11: Cempaka (h.65), yang juga masih berkecenderungan puisi panjang dengan struktur prosa memperlihatkan suatu kegundahan hati terhadap kondisi para pendulang intan (galuh). Kepedulian dengan kehidupan pendulang ini, dari ketiga gumam asa itu, terlihat sebagai sesuatu yang mengharukan dan langsung menyentuh hati sebagai suatu “ Sejauh ini langkah yang ditempuhnya dalam hitungan tak banyak dalam rekaman.” (h. 43). Bila membaca sekilas dan terpaku pada kata ‘gumam’, terkesan seperti tidak simetris, kacau, ketidakberaturan, yang menyatakan berbeda dengan bentuk karya yang selama ini jelas sebagai apa bentuknya, namun ternyata malah sebaliknya suatu karya yang tidak jauh berbeda dengan karya yang biasa ada hanya suatu struktur yang tersamarkan, yang mungkin disengaja oleh ASA. seandainya, bentuk tulisan dalam buku ini diubah ke bentuk puisi yang biasa ada, yang tentu sangat panjang, maka buku ini menjadi bertambah tebal karena pertambahan halaman yang bisa 2 (dua) kali lipat.

Dalam buku ini, beberapa kata seakan seperti berdiri sendiri, seolah keluar begitu saja, yang nampak menunjukkan suatu keliaran, seperti melompat saja mengambil tempat sendiri, yang pada luapan emosi mendalam sepertinya kata itu memang harus dikeluarkan menjadi terang. Untuk mengatakan bahwa Gumam Asa sebagai suatu “keliaran” dalam berkreasi dapat diterima karena tidak terikat dengan berbagai bentuk yang biasa ada, tetapi hal ini tidak menjadikan bahwa gumam asa sebagai suatu ketidakberaturan. Keliaran tidak berarti ketidakberaturan. Gumam Asa lebih bisa dikatakan melakukan keliaran dalam kreativitas yang menembus batas untuk menuju keteraturannya sendiri. Dalam beberapa gumam asa terlihat jelas suatu olah konstruksi atas persoalan sosial dengan ungkapan puitik. Hal ini dapat dilihat dalam Gumam Asa 2: Raja-Raja Menikmati Istana (h. 5), Gumam Asa 3: Anak-Anak Turun Gunung (h. 10), Gumam Asa 4: Seorang Perempuan Danau (h. 14), Gumam Asa 5: “T” (h. 20), dan Gumam Asa 6: Gumam Selain Gumam (h. 28), yang merupakan konstruksi persoalan sosial seperti kemiskinan, perempuan, anak-anak, dan masa depan juga hal lainnya.

Buku ini sudah tinggal sebutannya saja Gumam, karena sudah tertulis maka kata-kata itu terang menyusun suatu konstruksi sosial yang dilihat ASA. Gumam ASA (buku ini) telah meninggalkan gumam yang selama ini mungkin begitu tidak beraturan dan liar dalam diri seorang ASA, yang menjadi buku ini berkata terang dalam bertutur yang teratur, maka pembacaan dan pemaknaan terhadap “gumam” ini menjadi semakin terbuka; sebagai suatu karya kreatif yang layak mendapatkan apresiasi. Hingga saat ini, begitulah pembacaan terhadap buku ini dalam sekali baca. Anda perlu membacanya juga, karena ASA tidak sedang bergumam. ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

53 Comments

  1. buku adalah jendela pengetahuan dan kekayaan, rajin2lah membaca buku untuk menambah khasanah ilmu kita karna bulu adalah nutisi otak.
    website murah hanya 750rb seluruh bag web dpt diedit sendiri kapanpun, desain dinamis, fitur lkp interaktif cck utk toko online, web sekolah, komunitas, perusahaan, organisasi. hub:081330689721
    Kunjungi Web Site : http://berandaweb.com

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Esai

Go to Top