Pernyataan Dipo Alam dan Ancaman Kebebasan Pers

Kategori Opini Oleh

Pemerintahan SBY agaknya mulai gerah. Setelah kran kebebasan pers dibuka pasca-reformasi, kalangan pers, baik maupun elektronik, mulai memfungsikan dirinya sebagai pilar ke-4 demokrasi untuk melakukan kontrol dan kritik sosial. Mereka tidak segan-segan bersuara kritis dalam mengamati sepak-terjang pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Mereka tak mau mengulang pengalaman buruk semasa Orde-Baru ketika pers dipasung di atas tungku rezim yang otoriter. Pembredelan tak jarang dilakukan terhadap pers tertentu yang dianggap bersuara kritis dan tidak pro-pemerintah.

Namun, agaknya “kemauan baik” pers untuk berbenah diri melakukan kontrol dan kritik sosial tidak disikapi secara arif oleh pihak penguasa. Sebagaimana dilansir banyak media, Sekretaris Kabinet, Dipo Alam, baru-baru ini mengancam akan memboikot media yang dianggap sering menjelek-jelekkan pemerintah melalui aksi boikot iklan. “Saya akan hubungi semua sekjen dan humas kementerian, jangan pasang iklan di situ,” kata Dipo.

Banyak kalangan dan pemerhati pers menyayangkan pernyataan Dipo Alam yang dinilai tidak sesuai dengan semangat kebebasan pers yang tengah berupaya mereposisikan dirinya sebagai salah satu pilar demokrasi. Pernyataan itu tidak hanya akan mengancam kebebasan pers, tetapi justru juga akan sangat tidak menguntungkan pemerintah dalam upaya mendapatkan masukan berharga dalam mengevaluasi program yang telah dijalankan. Toh seandainya ada pemberitaan media yang dianggap tidak benar, pemerintah memiliki hak jawab untuk meluruskannya atau menggugatnya melalui dewan pers; tidak menebarkan ancaman boikot yang berlebihan seperti itu. Jangan-jangan memang benar kalau pemerintah saat ini tengah mengidap paranoid kekuasaan, sehingga setiap suara dan pendapat yang kritis dianggap sebagai ancaman terhadap kekuasaan yang mesti disingkirkan.

Spekulasi pun bermunculan. Tidak sedikit kalangan yang menilai, pernyataan Dipo Alam belakangan ini yang cenderung melakukan pembelaan “buta” terhadap pemerintahan SBY lantaran posisinya yang terancam kena reshuffle. “Kami menengarai pernyataan-pernyataan Dipo Alam ada kaitan erat dengan posisinya yang terancam diganti. Sebab, Dipo Alam muncul belakangan di saat-saat isu reshuffle makin kencang. Dia menyebut kami mata kalong supaya SBY senang dan mempertahankan posisi dia,” kata Fajar Riza Ul Haq, juru bicara tokoh lintas agama, suatu ketika kepada inilah.com, Minggu (20/2/2011). Dugaan Fajar agaknya tidak berlebihan, sebab tugas Dipo Alam sebagai sekretaris kabinet seharusnya lebih banyak berurusan dengan tertib administrasi di lingkungan kabinet; bukan mengurusi hal-hal yang bersifat politis.

Ya, ya, agaknya seperti itulah perilaku kekuasaan yang tengah dihinggapi sikap paranoid. Sikap dan suara kritis selalu dicurigai sebagai bentuk ancaman, sehingga perlu dilawan dengan ancaman pula. Sejarah membuktikan bahwa pers tidak akan pernah bisa “dimatikan” dengan ancaman, apalagi pembredelan. “Mati satu tumbuh seribu!” begitulah idiom yang tepat untuk menggambarkannya. Ini juga perlu menjadi bahan refleksi bagi para pejabat dan pembantu SBY agar lebih berhati-hati dan tidak suka mengumbar pernyataan sensasional yang amat tidak menguntungkan buat rakyat, apalagi kalau hanya sekadar dilandasi sikap sentimen atau kecemasan terkena reshuffle. Hmm … ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

70 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Opini

Go to Top