Ontran-ontran di Tubuh PSSI, Kapankah Berakhir?

Kategori Opini Oleh

Hobi berpolitik ternyata bukan semata-mata pekerjaan politisi. Mereka yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas dan kejujuran pun “kebelet” bermain politik. Lihat saja ontran-ontran yang berlangsung di tubuh PSSI. Sudah jelas-jelas memiliki resistensi yang tinggi dari publik sepak bola, para pengurus lama yang dinilai banyak kalangan telah gagal mengangkat prestasi sepak bola nasional, masih juga keras kepala dan “mbeguguk makutha waton” dalam mempertahankan kursi kekuasaan yang selama ini dinikmatinya. Mereka lupa bahwa PSSI bukan milik segelintir orang yang bisa demikian gampang dipelintir dan ditekuk-tekuk seperti binatang sirkus, melainkan milik seluruh warga bangsa yang memiliki totalitas kecintaan terhadap PSSI. Itu artinya, PSSI mesti diurus oleh figur yang benar-benar bersih, jujur, dan mengerti bola.

Saya hanya orang awam yang tidak mengerti bola. Namun, menyaksikan ontran-ontran yang tak kunjung berakhir lantaran kengototan pengurus lama yang nyata-nyata tak bisa berbuat banyak untuk membesarkan PSSI masih kebelet juga untuk menjadi penguasa dengan berbagai cara, saya jadi sedih juga. Bagaimana bisa mengurus sepak bola dengan baik kalau mind-set-nya dalam mengelola sepakbola seperti mengelola aset bisnis yang sarat dengan aroma busuk dan serba korup? Kenapa tidak mau dengan sikap rendah hati berkaca pada kepemimpinan PSSI sebelumnya yang rela mengundurkan diri lantaran dinilai gagal membesarkan PSSI? Rasa malu agaknya sudah hilang dari nurani si Nurdin Halid dan kroni-kroninya. Bahkan, mereka tak segan-segan mengklaim diri telah sukses membawa Timnas pada Final Piala AFF 2010.

Sungguh menyedihkan! Kita semua tahu, sepakbola di negeri ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kultur bangsa. Ia menjadi sebuah kebanggaan sekaligus kehormatan. Sepak bola juga sangat erat kaitannya dengan fanatisme dan nasionalisme. Di tengah pacekliknya prestasi timnas selama bertahun-tahun di bawah kepengurusan Nurdin Halid, publik sepakbola jelas memiliki harapan besar; ada perubahan mendasar dalam tubuh PSSI. Setidaknya, Nurdin Halid dan kroni-kroninya “wajib” hengkang. Tidak hanya lantaran “cacat moral” sebagai mantan narapidana sehingga tak layak mengurus bola yang menjadi kebanggaan ratusan juta penduduk di negeri ini, tetapi juga nyata-nyata telah gagal menaikkan gengsi serta mengangkat marwah dan martabat sepakbola tanah air. Yang tampak terjadi di lapangan justru Liga Indonesia yang makin semrawut, amburadulnya proses rekruitmen pemain-pemain berbakat, bahkan ketragisan yang terakhir, PSSI gagal mengakomodasi para fans berat Tim Garuda untuk bisa menyaksikan penampilan tim kesayangannya dalam babak semifinal dan final Piala AFF 2010. Kalau pengurus PSSI bekerja dengan benar, agaknya tidak masuk akal juga kalau gagal memilih 18 pemain hebat di antara sekian ratus juta penduduk.

Namun, ekspektasi publik sepakbola yang demikian besar, tiba-tiba pupus ketika Tim Verifikasi calon Ketua Umum PSSI justru meloloskan Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie, yang nyata-nyata dinilai telah gagal membesarkan timnas. Yang tak kalah menyedihkan, tanpa alasan yang jelas, tim verifikasi mendepak George Toisutta dan Arifin Panigoro dari kursi calon ketua umum. Tak kurang, wartawan senior Kompas dan pengamat sepakbola, Budiarto Shambazy, dengan nada prihatin menyebutnya sebagai sesuatu yang absurd.

“Ini absurd. Penghinaan akal sehat, menginjak nurani pencinta sepakbola. Publik menduga Nurdin Halid yang akan tersingkir karena statusnya sebagai mantan narapidana, tapi ini justru dia dan Nirwan (Bakrie) yang lolos,” ungkapnya sebagaimana dikutip kaskus.us. “Banyak terjadi Statuta FIFA dilanggar, ditelikung, ditambahi, dan dikurangi. Yang paling jelas ya soal mantan napi itu,” lanjut Budiarto Shambazy merujuk pada Statuta FIFA Pasal 32 Ayat 4.

Sedemikian hebatkah pengaruh si Nurdin Halid dalam tubuh PSSI hingga mampu membutakan mata hati tim verifikasi? Ini bukan pekerjaan main-main. Kalau sampai dua kandidat itu yang melaju mulus ke Kongres PSSI yang rencananya akan berlangsung 26 Maret 2011 mendatang di Bali, agaknya masa depan PSSI benar-benar akan suram dan mati suri. Oleh karena itu, pihak-pihak berkompeten (pemerintah, wakil rakyat, dan KONI) yang masih memiliki nurani untuk menyelamatkan masa depan sepakbola tanah air perlu turun tangan. Silakan saja Nurdin Halid atau Nirwan Bakrie maju, tetapi jangan hambat kandidat lain untuk bersaing secara fair dan bersih di arena kongres.

Ontran-ontran di tubuh PSSI dengan sendirinya akan berakhir kalau Nurdin Halid mau bersikap rendah hati mengakui kegagalan sekaligus menyatakan mundur dari bursa calon ketua umum. Namun, agaknya sikap semacam itu sulit diharapkan muncul dari sosok seorang Nurdin, kecuali dengan cara pressing ketat dan masif dari publik sepakbola. ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

52 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Opini

Go to Top