“Gumam Asa”: Wawasan Estetik Disharmoni, Asimetri, dan Dekonstruksi

Kategori Esai/Sastra Oleh

“Gumam Asa”: Wawasan Estetik Disharmoni, Asimetri, dan Dekonstruksi
(Membaca “gumam” Ali Syamsudin Arsi)
Oleh : Dimas Arika Mihardja
( Blog Dimas, dalam Catatan Dimas Arika, 20 Juni 2010 )

Luar Biasa
Ungkapan afirmasi berisi pujian “luar biasa” ini sepadan ditujukan pada tiga buku yang berisi “Gumam” Ali Syamsudin Arsi (ASA), masing-masing berjudul “Negeri Benang pada Sekeping Papan” (Tahura Media, Januari 2009) memuat 33 gumam, “Tubuh di Hutan Hutan” (Tahura Media, Desember 2009) memuat 19 gumam, dan “Istana Daun Retak” (Frame Publishing, April 2010) memuat 14 gumam ASA. Penyair ini menamakan karya kreatifnya sebagai “Gumam”, yang secara formal merupakan perpadun antara prosa dan puisi yang dicampurbaurkan sedemikian rupa seakan-akan memberikan rona baru dalam khasanah sastra Indonesia.

Tulisan singkat ini dimaksudkan sebagai pembacaan dan pemaknaan buah kreativitas yang harus disambut dan diberikan apresiasi secara proporsional dan professional. Pembacaan dan pemaknaan ini boleh dipandang sebagai ucapan terima kasih kepada ASA yang telah berbaik hati mengirim 3 judul buku yang luar biasa: 2 buku terbit di awal dan akhir tahun 2009 dan sebuah buku terbit di tengah tahun 2010 (April). Kedekatan dan (kenekatan) menerbitkan buku ini tergolong luar biasa. Hal yang juga luar biasa adalah intensitas, produktivitas dan kreativitas ASA, yang dalam catatan sederhana ini coba diungkap.

Gumam Asa: Lukisan Tanpa Bingkai
“Gumam Asa” dibangun berdasarkan wawasan estetika yang sama sekali berbeda dibanding genre puisi atau prosa lainnya. Jika pada umumnya sastrawan suka hal-hal yang teratur, seimbang dan menggambarkan kepaduan, “Gumam Asa” terasa memberontak semua itu. Dengan “Gumam” ASA terkesan melawan arus commond sense, akal sehat, pola pikiran umum. ASA dengan sengaja menyajikan karya yang asimetri sebagai lawan simetri, disharmoni, dan menggambarkan adanya dekonstruksi. “Gumam Asa” didesain tidak teratur sebagai dasar estetiknya seperti diungkapkan pada “Lukisan Tanpa Bingkai” berikut :

Kanvas hamparan luas tanpa batas. Warna percik-percik makna. Garis rangkaian kata-kata. Warna itu menggoreskan garisnya. Terlintas jelas bayang gambar dunia dan menghamparkan garis hidup. Lukisan tanpa bingkai, seirama dengan gumam yang sedang bersenandung di irama kegaduhan, kekalutan, kelembutan, ketenangan, kekacauan, bergumul menjadi satu gumpalan bahwa kata-kata tak mampu cukup mewakili karena masih banyak lagi sesuatu itu tak terungkapkan, tidak hanya yang beraturan, tetapi ketidakberaturan pun harus memunculkan dirinya ke permukaan …”

ASA berpendapat bahwa kata-kata tak mampu cukup mewakili karena masih banyak lagi sesuatu itu tak terungkapkan, tidak hanya yang beraturan, tetapi ketidakberaturan pun harus memunculkan dirinya ke permukaan. Wawasan estetik yang diperjuangkan dan diperkenalkan oleh ASA sebagai hasil olah kreativitas ialah bahwa “ketidakberaturan harus dimunculkan”. Analog dengan pendapat ASA ini ialah ketika Israel meluncurkan bom ke Palestina, selain kehancuran orang dapat melihat dan menyaksikan percik pesona maut yang kemilau di angkasa luas. Kehancuran, porak-poranda. Ketidakberaturan juga bisa mendatangkan kesan mendalam. Pemahaman seperti ini tampaknya dengan sengaja diproklamirkan oleh ASA di dalam karya-karya yang disebutnya sebagai “gumam”.

Wawasan Estetik Baru
Olah kreativitas ASA yang tertuang di dalam “gumam” menawarkan angin segar dalam hal memperluas wawasan estetik penciptaan. Lantaran latar belakang ASA sebagai penyair dan pekerja seni, maka bagaimana pun juga “gumam’-nya harus dimaknai secara lebih proporsional. ASA menamai karyanya sebagai “Gumam” mungkin disebabkan oleh bentuk-bentuk karya yang sudah ada dengan nama tertentu seperti “puisi”, “cerpen”, “esai” dan lainnya tidak mampu mewadahi luapan kreativitas ASA. namun, apa pun namanya, karya yang dinamai “gumam” oleh ASA tetaplah dipandang sebagai karya kreatif. Dengan ringkas, ASA dalam konteks ini telah mengumumkan adanya kubu yang berbeda dengan kubu kepenyairan yang telah ada. Ketika penyair lain seperti Micky Hidayat memilih karya yang menjaga keteraturan, keseimbangan, keselarasan, dan kepaduan pada pihak lain ASA berani menerobos belantara penciptaan dengan melawan arus. ASA memperkenalkan wawasan estetik kekacauan, ketidakberturan, asimetri, aharmoni, dan sebagainya ke dalam karya yang berbeda.

Wawasan estetik selama ini menjunjung tinggi harmoni, keteraturan, disiplin yang ketat, dan percaya atas kekuatan bahasa sebagai pengungkap makna yang dapat menyegarkan sukma. Dapat dikemukakan di sini bahwa pada awal mula segala seni sastra adalah religius. Itulah sebabnya mengapa para estetikus abad-abad lampau telah mencoba menerangkan apakah seni itu. Seni, sambil memperhitungkan adanya berbagai trend, dalam keadaannya yang murni, lazim ditanggapi sebagai kekayaan rohaniah manusia yang memberikan satu pesona, satu pengalaman tak sehari-hari, sesuatu yang transendental, yang dalam bahasa Plato merupakan bayangan Keindahan Sejati, yang oleh Bergson maupun Iqbal ditanggapi kurang lebih sebagai ilham Ilahiat yang bahkan layak diperbandingkan dengan ilham kerasulan.

Walhasil, seni itu sesuatu yang luhur, kenapa? Sebab watak seni sastra menuntut kejujuran (hanya melahirkan yang memang hidup dalam jiwa) , menuntut simpati kemanusiaan (berbicara dari hati ke hati secara jujur dan bukan dari ideologi ke ideologi), dan yang mengungkapkan haru (bukan “kepedihan”). Dengan demikian , seni susastra memang bergerak pada “arus bawah” hidup dan memunculkan ke permukaan undangan ke arah kedalaman. Arus bawah ini dikenal dengan religiusitas (bukan beragama). Haru itu sendiri, memang agaknya tak lain dari rasa hening yang aneh (yang sering tak disadari) yang menyebabkan orang tersentak dan menyebut: “Allah”. Dalam religius terdapat nilai ibadah.

Seni puisi di satu pihak harus mampu mengajak seseorang beriman, mengagungkan Allah, dan di pihak lain ia harus mampu mengasimilasi sifat-sifat Allah pada diri manusia seperti cinta kasih, penyayang dan lain sebagainya yang mampu membawa kedamaian bagi umat manusia. Hal ini tidak berarti penyair berkarya untuk menyaingi Allah, tetapi ia berkarya untuk menyesuaikan diri secara lebih baik dengan tata ciptaan-Nya. Secara maknawi, karya puisi tidak dimaksudkan menambah jumlah pemeluk, melainkan memperdalam serta mempermudah hubungan manusia dengan Allah, terlepas dari segala penyakit hipokrisi.

Komunikasi antara manusia-penyair dengan Allah realisasinya bisa meluas, bisa pula menyempit perspektifnya. Secara luas, bentuk komunikasi antara manusia-penyair dengan Allah teraktualisasi dalam bentuk kekaguman manusia-penyair akan berbagai bentuk ciptaan Allah (Allah adalah Maha Kreator yang mampu menciptakan alam semesta beserta isinya). Manusia-penyair, dalam konteks ini hanyalah peniru secara mimesis. Dari tangan manusia-penyair lalu lahir berbagai karya yang secara mimesis tidak dimaksudkan menandingi kreativitas Allah, melainkan sebagai semacam perpanjangan tangan. Hitung-hitung manusia-penyair bertindak sebagai kafilah di bumi yang dengan suntuk mengagungkan berbagi Keindahan Ciptaan Allah

Selain itu, manusia-penyair ternyata juga merupakan makhluk individu dan makhluk sosial dalam pranata sosiologis. Secara individual, manusia-penyair memiliki atensi pada masalah-masalah personal sebagai pangkal tolak konsepsi estetis berkarya. Dalam persfektif individual pula, manusia-penyair selalu dirundung kegelisahan untuk berdekatan dengan Sang Khalik. Lantaran Sang Khalik bersifat serba “Maha”, secara personal manusia terkadang serupa debu di “terompah-Nya”. Manusia lantas merasa kecil, kotor, dan silau oleh Cahaya Maha Cahaya. Manusia secara personal juga terkadang penasaran untuk menyibak rahasia ciptaan-Nya: alam semesta beserta isinya acapkali membuat manusia “terluka” oleh berbagai penyebab. Selain itu, secara watak personal manusia ialah memiliki rasa ingin tahu segalanya, termasuk rahasia-Nya.

Secara sosial, manusia-penyair langsung atau tidak langsung terlibat dalam kancah persoalan sosial kemasyarakatan. Itulah latar belakang kenapa hampir setiap manusia-penyair tertarik memperbincangkan dan mengusung persoalan personal dan persoalan sosial ke dalam puisi yang diciptakannya. Terminologi Islami untuk mengangkat dan dekat dengan persoalan sosial itu, hablumminannas, menjadi proyek penulisan yang tidak pernah habis dijadikan entry penulisan puisi, dalam perspektif ini manusia-penyair lantas berhubungan dengan aneka persoalan manusia di dunia: keadilan-ketidakadilan, kebaikan-keburukan, kekayaan-kemiskinan, material-spiritual, jasmaniah-rohaniah, dan oposisi binner lainnya dalam konfrontasi tiada henti.

Buku ASA, “Negeri Benang Pada Sekeping Papan”, “Tubuh di Hutan Hutan”, dan “Istana Daun Retak” menunjukkan kubu yang berbeda jika dibanding dengan kubu sastrawan sebelumnya yang merambah dunia bahasa lengkap dengan maknanya sebagai wawasan estetik dalam berkarya. Ketika penyair lain memilih karya yang menjaga keteraturan, keseimbangan, keselarasan, dan kepaduan pada sisi lain ASA berani menerobos belantara penciptaan dengan melawan arus. ASA memperkenalkan wawasan estetik kekacauan, ketidakteraturan, asimetri, aharmoni, dan sebagainya ke dalam karya yang berbeda. ASA menamakan karyanya sebagai “gumam” yang menurut penerbit ‘lahir dari seorang pencatat yang murung dan gusar. Mencoba bersikukuh pada kemanusiaan dan menolak untuk dikalahkan oleh kesia-siaan’.

Epilog
Gumam ASA perlu didengar, perlu disimak ketidakteraturannya, kekacauannya, kenakalannya, keliarannya, ketidakjelasannya, sebab ketika semua itu disadari sebagai wawasan estetik, maka ruang pemaknaan menjadi semakin luas. Bahwa yang ‘baik dan benar’ itu tidak saja keteraturan, melainkan juga terletak pada ketidakteraturan. Bahwa harmoni selalu berpasangan dengan disharmoni, simetri berpasangan dengan asimetri. Kepaduan berpasangan dengan berantakan. Semuanya perlu mendapatkan apresiasi. Dua kubu yang berbeda dalam wawasan estetik tertentu perlu diberi ruang ekspresi masing-masing. Masing-masing kubu akan memanen hasilnya dari masyarakat pembaca sastra. Dengan hadirnya buku-buku dari Kalimantan Selatan ini akan menambah khasanah wawasan estetik perpuisian Indonesia. Salam kreatif selalu.

Jambi, 20 Juni 2010.

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

55 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Esai

Go to Top