Durna vs Drupada: Pertaruhan Gengsi dan Kehormatan

Kategori Wayang Oleh

Dalang: Sawali Tuhusetya

Baru kali ini, Durna dipermalukan dan dinistakan di depan umum. Nalurinya sebagai sosok berdarah Brahmana-Kesatria pun terusik. Sungguh, Durna benar-benar tak menduga kalau sahabat masa silamnya, Drupada, bakal demikian gampang menzalimi dirinya. Dia ingat betul, Drupada pernah mengumbar janji manis.

“Untuk membuktikan ketulusan persahabatan kita, aku janji, Dur, separuh tanahku kelak akan kuberikan padamu. Swear!” kata Drupada suatu ketika, saat mereka sama-sama masih memburu ilmu di bangku perguruan tinggi ternama. Bola mata Durna membelalak. Seakan-akan tak percaya pada janji sahabat dekatnya itu, Durna pun berkali-kali bertanya untuk memastikannya.

“Benarkah apa yang kau ucapkan itu, Drup? Apa sih motif kau hendak menghadiahi aku separuh tanah Pancala?”

“Loh! Saya kan dah angkat dua jari! Bukti bahwa aku serius, Dur! Pokoknya, aku dah anggap kau sebagai sahabat terbaikku selama ini! Tak salahlah kalau aku memberi kau sebuah hadiah setelah aku naik tahta dan dinobatkan sebagai penguasa Pancala yang sah!”

Waktu pun berlalu. Durna dan Drupada asyik dengan dunianya masing-masing. Usai diwisuda, Durna segera menikah dengan adik Prof. Krepa dan dikarunai anak yang perkasa, Aswatama. Durna sangat menyayangi istri dan anak semata wayangnya itu. Berbagai cara dilakukan agar mereka bisa menikmati hidup dengan penuh sentuhan kebahagiaan. Durna rela membanting tulang siang dan malam mengajar di berbagai sekolah demi menghidupi anak-istrinya. Sebagai guru, Durna benar-benar sanggup memenuhi darma-baktinya sebagai sosok yang layak diteladani. Ia tidak hanya mumpuni dari sisi kompetensi profesional, tetapi juga memiliki integritas kepribadian dan sosial yang mengagumkan. Bahkan, meski sudah benar-benar menjadi guru, ia tak segan-segan terus belajar dan mengembangkan keahliannya, sehingga mampu menyajikan ilmu kepada murid-muridnya dengan cara yang gampang, menarik, dan menyenangkan. Namun, kapasitas keilmuannya yang mengagumkan tidak cukup membuat dan menjamin hidup keluarganya berkecukupan. Mereka hidup sederhana dan apa adanya. Busana yang dikenakan Durna ketika mengajar pun hanya baju sederhana yang biasa dia beli di pasar-pasar kebanyakan.

Sementara itu, dari kabar yang beredar, Drupada ternyata telah dinobatkan sebagai penguasa tunggal di tanah Pancala. Kabar ini, jelas membuat Durna berjingkrak. Bayangan kemakmuran melintas di kepala. Durna tidak pernah lupa terhadap janji manis Drupada yang hendak menghadiahkan separuh tanah Pancala kepada dirinya setelah naik tahta. Tak lama lagi, Durna bisa menikmati “kamukten”; tidak lagi direpotkan untuk mengajar sana-sini dengan penghasilan pas-pasan; tak terlintas lagi menempuh jarak puluhan kilo dengan sepeda kumbang untuk mengajar di sebuah sekolah terpencil.

Teringat akan janji yang pernah diucapkan Drupada, dengan tampilan dekil dan apa adanya, Durna berangkat menuju tanah Pancala untuk menagih janji.

“Drupada, sahabatku yang baik, aku mengucapkan selamat atas tahta yang telah kamu dapatkan!” kata Durna sambil bersimpuh takzim di depan Drupada yang tengah dihadap puluhan pengawal dan staf dalam sebuah ruang pertemuan yang megah dan mewah.

“Hah? Kamu mengaku-aku sebagai sahabat? Kosakata dalam kamus mana itu, hem? Saya tidak pernah mengenal dirimu!” sahut Drupada dengan tatapan wajah yang kurang bersahabat.

“Cobalah ingat-ingat, sahabatku, ketika kita sama-sama mempelajari buku Weda dan Dewangga, ketika kita sama-sama belajar olah senjata dan seni berperang, bukankah kita selalu makan dan tidur bersama-sama?” sahut Durna dengan wajah memerah.

“Hei, dasar bahlul! Berkacalah siapa dirimu, wahai Brahmana tengik! Masuk akalkah kalau aku, penguasa Pancala yang Agung, berteman dengan pengemis jalanan dekil macam Sampeyan? Mikir dong, mikir!” sergah Drupada sembari berkali-kali memberikan isyarat telunjuk di jidatnya yang berkilat-kilat. “Pengawal! Singkirkan dan usir jauh-jauh dia dari Pancala!” lanjutnya geram.

Bagai pesakitan, Durna pun diseret dengan paksa keluar ruang pertemuan. Sesekali, tubuhnya yang kurus ditendang dengan ujung sepatu lars. Para prajurit Pancala berwajah bengis benar-benar memperlakukan Durna sebagai “klilip” yang mesti disingkirkan. Durna merasakan sekujur tubuhnya remuk dan ngilu; terjerembab di sudut semak-semak pinggiran tanah Pancala yang jauh. Namun, rasa sakit di sekujur tubuhnya tak sesakit dengan rasa ngilu yang berkubang di sudut hatinya. Durna benar-benar merasa terlecehkan, terhina, dan ternistakan. Bukannya “kamukten” yang dia dapatkan, melainkan justru penghinaan dan penzaliman lahir-batin. Kebencian dan rasa dendam terhadap Drupada mengilu-sumsum ke dalam gendang batinnya. Walhasil, dengan berbagai cara, Durna berupaya untuk membalaskan dendam dan sakit hatinya.

“Tidak akan tenang hidup saya sebelum bisa membalaskan dendam dan sakit hati kepada Drupada keparat!” teriak Durna berkali-kali kepada dirinya sendiri.

Dengan tekad yang bulat, bersama istri dan anaknya tercinta, Durna pergi ke tanah Hastinapura. Untuk sementara, mereka tinggal di rumah kakak iparnya, Prof. Krepa. Untuk mewujudkan mimpinya, Durna mengajukan permohonan untuk diterima sebagai guru di tanah Hastinapura. Namun, ternyata bukan persoalan yang mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Dia harus bersaing dengan ratusan ribu pelamar yang memiliki minat yang sama untuk menjadi guru. Bahkan, terbetik kabar, agar diterima menjadi guru, pelamar diharuskan membayar “upeti” puluhan juta. Kalau cara ini ditempuh, mana mungkin Durna mampu mewujudkan mimpi-mimpinya. Sepeser pun dia tak memiliki uang untuk menyogok.

Namun, bukan Durna kalau hanya sekadar pasrah pada nasib. Dengan berbagai cara, dia berusaha menembus benteng istana Hastinapura yang kokoh. Mungkin sudah berjodoh, ternyata untuk bisa masuk ke lingkungan istana Hastinapura tak serumit yang dia duga. Dia bisa dengan mudah keluar-masuk istana tanpa rintangan berarti. Maka, bertemulah Durna dengan keturunan bangsa Kuru; Pandawa dan Kurawa, yang tengah asyik memasuki dunia bermain dan belajar. Di tengah-tengah keturunan bangsa Kuru itu, Durna ternyata berhasil menunjukkan kepiawaiannya dalam berolah senjata. Hal itu membuat Pandawa dan Kurawa merasa kagum dan terpesona.

Atas rekomendasi Bhisma, sesepuh bangsa Kuru yang pernah mendengar kebesaran nama Durna dalam olah senjata dan seni berperang, akhirnya Durna diterima sebagai guru istana Hastinapura. Dengan keahlian yang dimilikinya, Durna berhasil menggembleng murid-muridnya dengan berbagai olah senjata, seni berperang, dan berbagai ilmu pengetahuan yang lain. Secara bertahap, kehidupan keluarganya pun berangsur membaik. Dia dan keluarganya bisa hidup berkecukupan. Pengaruhnya juga cukup kuat di kalangan istana. Durna selalu dilibatkan dalam pengambilan berbagai keputusan penting.

Merasa sudah lebih dari cukup untuk menjalankan strateginya, Durna segara merancang target, menyusun rencana, dan melaksanakan skenario dalam ajang pertaruhan gengsi dan kehormatan. Kezaliman Drupada benar-benar tidak bisa dia lupakan. Dalam berbagai kesempatan, dia selalu menanamkan doktrin kepatuhan di hadapan murid-murid tercintanya.

“Adalah wajib hukumnya bagi seorang murid untuk menjalankan semua titah dan fatwa sang guru!” kata Durna suatu ketika di depan Pandawa dan Kurawa. “Sungguh durhaka apabila ada murid yang berani menentang kehendak sang guru sebelum dinyatakan lulus dari bangku pendidikan,” lanjutnya. Seperti tersihir, Pandawa dan Kurawa selalu mengamini kata-kata sang Guru Durna.

“Sekarang, aku perintahkan kepada Duryudana dan Karna untuk menangkap hidup-hidup penguasa Pancala. Drupada layak disingkirkan karena telah membiarkan rakyat Pancala hidup dalam kemiskinan, dan membiarkan korupsi serta pengangguran merajalela!”

Lantaran tak punya alasan untuk menolak, Duryudana dan Karna bergegas menjalankan titah sang guru. Namun, ternyata mereka harus gigit jari. Kemampuan mereka ternyata belum sanggup untuk menandingi kekuatan pasukan Pancala. Durna tak patah arang. Dia segera memerintahkan Arjuna untuk menangkap Drupada hidup-hidup. Bakat dan talenta Arjuna dalam berolah senjata dan memainkan stategi perang yang cukup mumpuni, ternyata membuahkan hasil yang manis. Drupada berhasil ditangkap dan diserahkan kepada Durna.

“Sebuah kerja yang bagus, Arjuna. Terima kasih!” kata Durna memuji kemampuan salah satu keturunan Pandawa itu. Arjuna tersipu. Bola mata Duryudana dan Karna membelalak.

“Halo, Tuanku Drupada, Penguasa Pancala yang Agung, bagaimana kabarnya? Baik-baik, bukan? Terima kasih atas kerja samanya! Sungguh sebuah kehormatan bagi saya, Tuanku berkenan menghadapku!” kata Durna sambil melintir kumisnya yang tumbuh jarang-jarang. Mulutnya menyeringai. Drupada tak berkutik. Dia seperti monyet yang terkerangkeng.

“Dulu, Tuanku telah mengingkari persahabatan kita. Niat baikku untuk terus menjalin persahabatan ternyata Tuanku tolak. Bahkan, aku harus rela Tuanku perlakukan bagaikan pesakitan yang mesti disingkirkan. Namun, aku tidak separah Tuanku. Aku masih punya niat baik untuk melanjutkan persahabatan kita. Kini, muridku telah berhasil memboyong Tuanku dan menguasai tanah Pancala. Sebagai bukti ketulusan niat baikku, Tuanku boleh memiliki separuh tanah Pancala. Dan sekarang, Tuanku boleh kembali ke Pancala dengan pengamanan ketat dari murid-muridku. Jadi, Tuanku tidak usah khawatir. Begitu bunyinya! Mengertikah, Tuanku?”

Sungguh, kata-kata Durna terasa bagaikan gelontoran mortir yang menyerbu ulu hati Drupada. Benar-benar menyakitkan. Baginya, lebih baik dibunuh sekalian ketimbang dipermalukan seperti itu. Namun, dalam keadaan terborgol, Drupada tak bisa berkutik. Dia hanya bisa mengumpat dan bersumpah-serapah, tanpa bisa melakukan perlawanan. Benar-benar sebuah peristiwa yang mempertaruhkan gengsi dan kehormatan.

Durna seperti berada di atas angin. Dendamnya telah terlampiaskan dengan sempurna. Namun, tidak demikian halnya dengan Drupada. Rasa sakit dan dendam bersimaharajalela ke dalam gendang nuraninya. Dia bermimpi, suatu ketika anak keturunannya mampu menghancurkan Durna, entah bagaimanapun caranya! (tancep kayon). ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

116 Comments

  1. Ini cerita kebangeten ngawurnya, mbok yao mbaca wayang purwa terlebih dulu jadi akan tahu dhodhok selehe Resi Durno datang ke tanah Jawa, kawin dengan siapa kemudian ia mempunyai anak Aswatama, kemudian menjadi ipar resi Krepa dengan memperisteri adiknya, kemudian dengan kurang ajar di Sitinggil Pancalaradya ketika mencari saudara perguruannya R. Sucitra yang telah menjadi raja di Pancalaradya, yang menghajar si Kumbayana itu bukan karena perintah Drupada tetapi karena Raden Gandamana yang tersinggung dengan kekurangajaran Kumbayana, dasar si Raden Gandamana masih dalam situasi frustasi barusaja diusir dari Astina karena fitnah Tri Gantalpati atau nama mudanya Patih Sengkuni.
    Apalagi Kumbayana memanggil DRUPADA, umpatan Prabu Drupada tidak kenal dengan bramana tengik …. jan ngaawuur buanget. pada saat itu Kumbayana masih bagus belum jadi Brahmana ataupun Pendhita, karena merasa dirinya putra raja Atas angin, dan dikira R Sucitra duduk disinggasa na asli miliknya. padahal Drupada adalah raja menantu dari Prabu Gandabayu. ayah isterinya. seharusnya raja Pancalaradya adalah Raden Gandamana adik iparnya. Karena dihajar R Gandamana maka R Kumba yana rusak phisiknya kemudian bertapa menjadi Brahmana……… dst

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Wayang

TEROR DI NEGERI WIRATHA

Dalang: Sawali Tuhusetya Akibat kebencian Kurawa yang telah mengilusumsum melalui aksi tipu
Go to Top