Percobaan Pemakzulan Rezim ala Negeri Kelelawar

Kategori Negeri Kelelawar Oleh
Budaya

Oleh: Sawali Tuhusetya

Ternyata bukan hal yang mudah untuk bisa hidup nyaman di negeri Kelelawar. Tak hanya persoalan ekonomi yang membuat rakyat kecil hidup dalam situasi tertekan. Politik dan hukum pun telah membuat kehidupan rakyat negeri Kelelawar kian terpenjara dalam kekangan rezim penguasa yang korup dan kehilangan kepekaan. Politik bukan dioptimalkan sebagai strategi untuk membuat kehidupan rakyat makin sejahtera, melainkan justru diperalat untuk menaikkan posisi tawar sekelompok elite demi melanggengkan kekuasaan semata. Hukum pun setali tiga uang. Rasa keadilan sudah mati di negeri Kelelawar. Aparat penegak hukum tidak lagi menenteng pedang keadilan, tetapi justru malah ikut-ikutan terlibat dalam praktik mafia peradilan yang sengaja didesain oleh para pengemplang harta negara agar bisa lolos dari jerat hukum. Dari kacamata apa pun, negeri Kelelawar agaknya makin susah dilihat aura kehormatan dan martabatnya. Semakin kabur dan gelap. Proses anomali tengah menyergap di segenap lapis dan lini kehidupan.

inilah.comYang menyedihkan, ketimpangan sosial sebagaimana yang dikhawatirkan banyak pengamat kini benar-benar nyata terjadi. Di sudut-sudut kampung dan kota, bahkan juga di pelosok-pelosok dusun yang tak pernah tersentuh kemajuan masih banyak bermunculan rakyat negeri Kelelawar yang hidup serba susah. Alih-alih cukup sandang, sekadar untuk mempertahankan hidup saja, mereka terpaksa harus makan buah-buah busuk yang sudah tersedot nilai gizinya. Situasi seperti ini berdampak buruk terhadap pertumbuhan anak-anak negeri Kelewar. Hampir sebagian besar anak-anak terjangkiti penyakit gizi buruk. Perut membuncit. Tatapan mata kosong. Banyak pengamat sosial bilang, negeri Kelelawar bakal mengalami situasi “the lost generation”. Sementara itu, mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan berpesta dalam gelimang kemewahan dan harta haram. Rakyat terus ditindas untuk membayar pajak, tetapi separuh lebih uang pajak dikemplang dan ditilap untuk kepentingan segelintir elite.

Situasi yang sarat anomali semacam itu membuat rakyat negeri Kelelawar geram. Seperti dikomando, rakyat dari berbagai penjuru lembah dan ngarai menyatukan tekad untuk menggulingkan rezim penguasa yang dianggap sudah tak lagi peduli terhadap nasib rakyat yang tertindas dan terzalimi. Berbagai atribut dan umbul-umbul marak terpajang di berbagai sudut kampung dan kota. Demo terus terjadi secara bergelombang dari satu titik ke titik yang lain. Eksesnya, lalu lintas sering lumpuh. Jilatan api yang berkobar dari ban-ban bekas yang terbakar membuat situasi makin memanas. Jumlah aparat kepolisian yang tak seimbang dengan jumlah pendemo kewalahan. Mereka tak sanggup berbuat apa-apa. Kejadian masa silam, ketika aparat keamanan dianggap melanggar hak asasi akibat melakukan tindakan represif terhadap para pendemo, telah membuat mereka kehilangan nyali untuk membuat para pendemo jera.

Ontran-ontran sosial di negeri Kelelawar makin sulit dikendalikan. Massa yang geram seperti mendapatkan pengakuan sosial dari berbagai komponen untuk terus melakukan aksi pemakzulan terhadap rezim penguasa.

“Rakyat yang memilih, rakyat pula yang menurunkan! Saatnya kita menyatukan tekad untuk melakukan perubahan! Ini bukan revolusi! Ini tindakan bersejarah untuk menyelamatkan bangsa Kelelawar dari cengkeraman rezim yang korup dan lembek! Negeri ini butuh pemimpin yang kuat, tegas, dan punya nyali besar untuk menghabisi koruptor. Bukan penguasa yang lembek dan cengeng!” teriak pendemo di tengah kerumunan massa yang menyemut di istana penguasa negeri Kelelawar disambung yel-yel yang gegap-gempita. Suara para pendemo dari berbagai elemen dan kelompok massa bersahut-sahutan. Istana penguasa negeri Kelelawar seperti bergetar.

Situasi chaos seperti itu membuat beberapa gelintir petualang politik yang selama ini tersingkir dari panggung kekuasaan merasa mendapatkan angin segar. Mereka, dengan berbagai tipu daya, ingin tampil sebagai pahlawan. Dengan mengatasnamakan rakyat, mereka terus menggelontorkan sejumlah dana untuk membiayai para pendemo. Di tengah situasi kemiskinan dan pengangguran yang merajalela, kelelawar mana yang tahan godaan? Maka, jadilah aksi demo yang beruntun dan bergelombang tidak murni lagi sebagai aspirasi rakyat yang selama ini terzalimi dan ternistakan, tetapi sudah diambil alih dan dikendalikan oleh beberapa gelintir elite yang merasa tersingkir dari panggung kekuasaan.

“Bagus! Sampeyan harus mampu melakukan aksi demo secara cerdas. Pastikan bahwa rakyat benar-benar berada di pihak kita! Berapa pun biayanya, Sampeyan ndak usah khawatir! Ajak semua rakyat miskin dan pemuda pengangguran untuk beraksi bersama! Tapi ingat, jangan sampai ada kelelawar lain yang tahu, kalau akulah yang berada di balik ontran-ontran ini! Paham?” seloroh kelelawar bertubuh tambun dan berjidat licin. Kedua bola matanya membeliak, memancarkan optimisme.

“Paham, Bos! Dan Bos tak usah khawatir. Serahkan semua urusan kepada saya!” sahut kelelawar berambut gondrong sambil menunduk takzim.

Syahdan, hampir sebulan lamanya, demo terus berlangsung. Namun, perubahan yang diharapkan segera terjadi itu ternyata tak kunjung tiba. Pihak istana benar-benar tak pernah menganggap demo itu ada.

“Bagaimana hasil investigasinya? Beres? Siapa sesungguhnya yang berada di balik ontran-ontran itu?” tanya sang penguasa di sebuah lorong yang sejuk ber-AC. Di lorong yang tampak sepi dari luar itu, sesungguhnya sedang terjadi sebuah rapat pleno para petinggi negeri Kelelawar yang terancam dimakzulkan. Namun, berkat kekuatan intel yang terlatih dengan dukungan fasilitas dan akomodasi serba “wah”, mereka bisa dengan mudah menyiasati gelombang demo itu.

“Ibarat main layang-layang, kita musti pintar melakukan tarik-ulur sesuai arah angin. Biarkan mereka beraksi. Tunggu sampai mereka betul-betul capek! Kekuatan mereka tidak ada apa-apanya. Apalagi, kita juga masih memiliki barisan wakil rakyat yang siap mem-back-up kita! Dus, tak perlu khawatirlah! Semua taktik dan strategi musti jalan terus!” *** (Bersambung)

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

76 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Negeri Kelelawar

Go to Top