Beberapa waktu yang lalu, Pak Wardjito Soeharso, mengirimi saya sebuah buku: Bunga Rampai Artikel: Ide, Kritik, Kontemplasi. Ingin rasanya saya cepat-cepat membaca dan melahap semua asupan “rohaniah” yang tersaji di dalamnya. Namun, lantaran alasan “sok sibuk”, saya masih menunda-nunda juga untuk menjamah buku edisi I yang diterbitkan oleh PM-Publisher Semarang, November 2010 itu. Walhasil, setelah “penjara waktu” itu membebaskan saya, hehe …., saya berkesempatan untuk mendulang pemikiran kreatif dari sosok Wardjito Soeharso sekaligus berupaya untuk mengapresiasinya sebatas kemampuan saya yang awam ini.
Buku setebal 174 halaman ini memuat 21 artikel dan catatan ringan yang secara tematik –menurut sang penulis– digolongkan menjadi tiga bagian. Pertama, ide, yang digunakan sebagai media untuk melontarkan gagasan dan pemikiran tentang kehumasan berkaitan dengan informasi dan komunikasi (sebanyak empat artikel). Kedua, kritik, yang terbagi menjadi dua bagian, yakni kritik terhadap penguasa (birokrat) yang menurut Pak Wardjito masih memiliki banyak “dosa” (sebanyak empat artikel) dan kritik yang berupaya untuk membedah eksistensi Pancasila sebagai sumber nilai bangsa (sebanyak empat artikel). Ketiga, kontemplasi, yang juga terbagi menjadi dua bagian, yakni mengenali diri sendiri (sebanyak enam artikel) dan mencoba berbagi (sebanyak tiga artikel dengan topik yang berbeda).
Dengan bahasa yang cair, sang penulis secara kritis-reflektif berupaya mengajak pembaca untuk membangun sikap peduli terhadap nilai-nilai keindonesiaan yang makin kabur akibat berbagai persoalan dan beban bangsa yang makin memberat di tengah abad gelombang informasi seperti sekarang ini. Dengan nada getir, penulis kelahiran Salatiga, 19 Januari 1958 ini, sesekali menyentil gaya hidup kaum elite pejabat kita yang dimanjakan oleh fasilitas serba “wah” sehingga memicu “adrenalin” mentalitas korup untuk menilap uang rakyat melalui kekuasaan yang ada dalam genggaman tangannya. Pada ketika yang lain, alumnus Fakultas Sastra Undip dan Program Study International Communication Boston University, Massachussets (1992-1994) ini juga membidik gaya komunikasi sebagian besar pejabat, politisi, dan kaum elite kita yang mulai kehilangan etika dan estetika. Ia juga tak segan-segan mengkritisi sikap pemerintah yang lamban dalam membuka kran komunikasi secara terbuka dan transparan seiring dengan diluncurkannya UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Sebagai sosok yang lama berkecimpung dalam ranah komunikasi, Pak Wardjito agaknya “gundah” menyaksikan berbagai fenomena di atas panggung sosial negeri ini yang mulai abai terhadap ranah komunikasi yang seharusnya perlu dibangun dan didesain secara apik dalam upaya mewujudkan tatanan perikehidupan bangsa yang lebih terhormat, bermartabat, dan berbudaya. Bahkan, di tengah serbuan informasi seperti saat ini, media belum dimanfaatkan secara optimal untuk membangun komunikasi yang selaras dan harmonis.
Dalam pandangan Pak Wardjito, di tengah menjamurnya beragam “sekte” media, kehumasan, misalnya, idealnya tak cukup hanya mengandalkan media internal sebagai media komunikasi dan publikasi, tetapi juga perlu menggandeng media-media lain. Memang harus diakui, selain media mainstream –media yang menyajikan menu berita dengan menggunakan kaidah-kaidah penyampaian berita yang dapat diterima publik, baik media cetak maupun elektronik, koran, majalah, tabloid, radio, atau TV—tak sedikit “media kuning” yang mengumbar dan mengeksploitasi berita-berita bernuansa kekerasan (sadisme), kriminalitas, dan pornografi. Bahkan, ada juga media profit yang melulu menghamba dan berorientasi pada pencarian keuntungan semata tanpa memedulikan kepentingan pembaca. Meski demikian, kehumasan yang menjadi “ikon komunikasi” dalam sebuah institusi, perlu membangun “jejaring” yang kuat dengan media. Lebih-lebih dengan kehadiran media baru (multimedia), yang kian canggih daya jangkaunya dan tidak dibatasi ruang dan waktu. Persoalan yang muncul adalah ingin seperti apakah hubungan antara humas dan media? Mau seperti anjing dan kucing atau Romeo dan Juliet?
Dalam tulisan “Pers yang Bebas dan Membebaskan”, Pak Wardjito berharap agar pers makin jeli melihat mereka yang bukan siapa-siapa. Pers akan jauh lebih bermakna jika mampu menjadi pers yang membebaskan, bukannya justru menjadi pers bebas yang genit, yang lebih suka menggelitik memancing emosi petinggi dan selebriti, selorohnya. Sementara itu, dalam “Komunikasi: antara Etika dan Estetika”, lelaki yang tidak betah duduk di kursi birokrasi dan lebih memilih “jalan hidup”-nya sebagai widyaiswara ini membidik betapa pentingnya komunikasi sebagai aktivitas manusia ketika saling bertukar ide/gagasan dan perasaan. Berdasarkan pengamatannya, dia menyimpulkan bahwa bangsa kita agaknya sudah mulai tidak teguh lagi dalam memegang nilai-nilai, terutama etika dan estetika dalam berkomunikasi, sehingga kita terlalu sering mendengar berbagai bentuk pernyataan verbal yang berupa hujatan, makian, atau perilaku yang mencerminkan konflik dan kebencian.
Yang tidak kalah menarik adalah bidikan Pak Wardjito tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sebagaimana tertuang dalam UU No. 14/2008. Dia menyayangkan lambannya pemerintah dalam membuka kran keterbukaan kepada publik. Padahal, dalam upaya menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, rakyat harus segera tahu dan paham isi UU KIP ini. Gaya komunikasi para pejabat pun tak luput kena sentilannya. Dalam artikel “Ketika Birokrat Berbahasa Indonesia”, misalnya, dia menyoroti kentalnya bahasa dan budaya Jawa dalam bahasa para birokrat ketika berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Ungkapan-ungkapan bahasa Jawa “Krama Inggil”, masih sering dipakai untuk berkomunikasi dengan atasan, baik dalam ragam lisan maupun tulis. Yang ironis, gaya komunikasi semacam itu tak melulu dipraktikkan oleh para pejabat yang berasal dari etnik Jawa. Fenomena “penghormatan” kepada atasan secara berlebihan melalui penggunaan “eufemisme” berbahasa, agaknya sudah menjadi kelatahan sikap dalam berkomunikasi. Dalam kondisi demikian, menurutnya, agaknya sangat sulit mengharapkan kontribusi birokrat dalam pengembangan bahasa Indonesia. Bahkan, sekadar untuk tidak ikut-ikutan merusak bahasa Indonesia dengan model bahasa SMS pun dinilainya sudah cukup bagus.
Dalam artikel “Korupsi, Pejabat, dan Megalomania”, Pak Wardjito menyoroti tentang maraknya praktik korupsi yang menggurita di negeri ini. Gaya hidup para pejabat yang kemaruk akan gelimang kemewahan agaknya telah membuat mentalitas korup makin merajalela. Sindroma megalomania agaknya benar-benar telah menelikung gaya hidup kaum elite kita. Situasi seperti itu diperparah dengan sikap dan kebijakan penguasa yang terlalu memanjakan para pejabat dengan memberikan berbagai fasilitas serba “wah”. Di tengah jutaan rakyat yang masih hidup dalam kubangan kemiskinan, pemerintah idealnya perlu berhemat sehingga anggaran untuk keperluan bermewah-mewah seperti itu bisa dimanfaatkan untuk memberdayakan ekonomi rakyat. Yang tidak kalah penting, tegasnya, pejabat pemerintah perlu tampil lebih sederhana, dekat dengan suasana batin rakyat, jauh dari sindroma megalomania yang membuat mereka selalu haus dengan yang serba besar, hebat, dan wah.
Tentu, masih banyak artikel lain yang menarik untuk disimak dalam bunga rampai ini. Di mata saya, buku ini ibarat mozaik; menampilkan potongan-potongan pemikiran kreatif Wardjito Suharso dalam mengkritisi berbagai fenomena yang terjadi di atas panggung sosial-politik-budaya negeri ini, hingga akhirnya tampak orientasi dan kiblat seorang Wardjito Soeharso dalam bersikap dan bertindak. Totalitasnya dalam membangun semangat berbagi dalam dunia kepenulisan telah mengilhami ribuan anak muda dari berbagai kota yang memiliki minat dan talenta dalam dunia kepenulisan bergabung dalam Komunitas Penulis Muda, sebuah wadah kreatif untuk menampung karya-karya anak muda secara online, untuk selanjutnya diupayakan penerbitannya menjadi sebuah buku. Di situlah sebagian pengabdian Pak Wardjito dicurahkan di sela-sela kesibukannya dalam dunia akademik sebagai seorang Widyaiswara Badiklat Prov. Jateng. Itulah sebabnya, buku karya Pak Wardjito ini sangat layak dibaca dan dimiliki oleh siapa saja yang kebetulan memiliki perhatian, minat, dan concern terhadap upaya pengembangan nilai-nilai kesejatian diri di tengah meruyaknya nilai hedonisme, konsumtivisme, dan materialisme seperti saat ini. Sayangnya, secara teknis ada beberapa halaman yang tercetak ganda, misalnya halaman 27-44, sehingga agak mengganggu kenyamanan pembaca dalam menemukan “benang merah” pemikiran-pemikiran kreatif Pak Wardijto dalam menguliti persoalan “Komunikasi: antara Etika dan Estetika”. Meski demikian, secara umum “gangguan teknis” semacam itu tidak mengurangi kualitas buku sebagai buah pemikiran dan kontemplasi seorang Wardjito Soeharso.
Sungguh beruntung, Agupena Jawa Tengah mendapatkan salah satu pembina sekelas Pak Wadjito. Menyatunya sikap, kata, dan perbuatan, telah ditunjukkan secara nyata dengan menyisihkan sebagian besar waktunya untuk memberikan motivasi dan inspirasi kepada anak-anak muda untuk mengembangkan potensi diri. Tak banyak beretorika, tetapi aksi nyata yang menjadi mind-set dalam sikap hidupnya.
Oh, ya, tidak lupa, saya mengucapkan selamat ulang tahun ke-53 buat Pak Wardjito, semoga dengan makin bertambahnya usia, Pak Wardjito tetap semangat menunjukkan kiprahnya dalam membangun semangat berbagi dalam dunia kepenulisan, senantiasa memiliki elan dan etos pengabdian secara total buat sesama, selalu dianugerahi kesehatan dan kebahagiaan, serta tetap kritis dan responsif di tengah-tengah situasi peradaban yang kian “sakit” ini. Salam takzim! ***
seharusnya sosok pak wardjito ini yg dijadikan contoh sama anak muda jaman sekarang ya pak
Ulasan menarik tentang buku karangan Pak Wardjito.
Kalau mampir ke toko buku saya akan mencarinya.
Perihal bedah-membedah isi buku, Pak Sawali memang jagonya. Ungkapan perasaan dan pikiran Pak Sawali atas bunga rampai ini sangat menarik. Saya tergelitik untuk turut membaca buku tersebut, Pak.
Salam kekerabatan.
walah, biasa saja, pak. mangga dicari dan diburu, semoga pak sungkowo bisa segera menemukan buku karya pak wardjito ini.