Oleh: Ki Sawali Tuhusetya
Seperti layaknya sebuah pertandingan sepak bola akbar yang riuh-gemuruh, suasana kontes memanah yang berlangsung di stadion kebanggaan kota Indraprasta juga tak kalah heboh. Sepanjang kontes berlangsung, tepuk tangan terus membahana ditingkah suara yel-yel yang gegap-gempita. Demikian serunya kontes memanah itu berlangsung sampai-sampai getarannya begitu terasa di seantero negeri. Alun-alun ibukota Hastinapura bagaikan magnet yang mampu menyedot animo puluhan ribu penonton. Mereka tak segan-segan merogoh koceknya lebih dalam sekadar untuk bisa menyaksikan sang tokoh idola beraksi. Bahkan, mereka rela antre berjam-jam dipanggang terik matahari atau diguyur hujan untuk bisa membeli tiket masuk ke stadion. Itu pun belum bisa jadi jaminan, mereka dengan gampang mendapatkannya. Konon, pihak panitia “berselingkuh” dengan para calo dengan sistem bagi hasil. Karuan saja, hal itu membakar emosi ribuan pemburu tiket yang padat-merayap. Mereka yang dicurigai sebagai calo langsung digebugi massa hingga babak-belur. Aparat keamanan yang terlambat bertindak, kewalahan menghadapi massa yang tengah kalap. Tubuh calo yang sedang naas itu pun terkapar mencium tanah bersimbah darah segar; terinjak-injak ribuan massa yang terus merangsek menuju loket.
Sungguh menyedihkan! Banyak pihak menyayangkan, kenapa kejadian tragis seperti itu harus terjadi.
“Kok kalah sama panitia pentas musik. Ndak pernah ada ceritanya antrean sampai berjubel dan memanjang seperti ini! Kenapa tiket tidak dijual lewat biro yang bertaburan di berbagai kota? Aman dan yang pasti animo penonton yang demikian luar biasa akan terakomodasi dengan baik! Selamatkan mereka dan layani dengan baik! Toh ini sebuah pertanda yang positif, betapa warga masyarakat negeri Hastina benar-benar rindu pada sosok sang idola setelah bertahun-tahun lamanya mereka kehilangan figur publik yang bisa diteladani,” komentar salah seorang pengamat sosial ketika diwawancarai reporter TV.
Meski demikian, acara kontes memanah tetap berlangsung pada keesokan harinya. Hampir tak ada ruang tersisa di dalam stadion yang berkapasitas 90-an ribu penonton itu. Di tribun kehormatan, para petinggi Hastina, termasuk Prof. Krepa dan Prof. Durna, yang mendapatkan undangan khusus dari panitia, juga menyaksikan kontes mendebarkan itu dengan wajah kebanggaan yang (nyaris) sempurna. Sesekali, mulut mereka menyeringai ketika menyaksikan peserta kontes gagal mengarahkan anak panah tepat ke sasaran. Sebaliknya, mereka spontan berjingkrak sembari membentangkan zal kebanggaannya begitu melihat peserta kontes dengan jitu berhasil membidik sasaran. Mereka lupa dengan nasib ribuan warganya yang gagal masuk stadion dan terpaksa harus rela nonton dari luar lewat layar lebar yang disediakan panitia.
Satu persatu peserta kontes yang dijaring lewat proses audisi yang melelahkan tampil. Dengan gerakan yang sudah amat terlatih, mereka mencoba membidik sasaran dengan konsentrasi penuh. Selain dinyatakan lolos audisi, mereka yang tampil juga bukan orang sembarangan. Hanya mereka yang berdarah aristokrat yang berhak mengikuti ajang bergengsi ini. Sehebat apa pun keterampilannya dalam memainkan anak panah, kalau tidak terlahir dari kalangan bangsawan, dengan sendirinya haknya sebagai peserta dinyatakan gugur. Itulah sebabnya, banyak kalangan menyebut ajang ini hanya melanggengkan sikap feodalis belaka; diskriminatif dan tidak merakyat. Meski menuai kritik dari para pejuang demokrasi, kontes itu tetap berlangsung.
Sudah ratusan peserta mencoba membuktikan kehebatannya. Namun, sejauh ini belum satu pun peserta yang dianggap brilian dan sanggup membidik sasaran dengan tepat. Peserta dari pihak Kurawa, seperti Duryudana, Dursasana, Durmagati, Citraksa, atau Citraksi pun gagal total. Mereka tampil memalukan. Ejekan dan cercaan penonton bertubi-tubi ditujukan kepada para putra Dewi Gendari itu. Mereka tampak pongah dan membusungkan dada, tetapi buktinya nol besar. Jangankan tepat sasaran, cara memegang busur pun tampak kaku dan bergetar seperti orang yang tengah mengidap stroke. Para petinggi Hastinapura yang duduk di tribun kehormatan menelan ludah. Mereka tampak kecewa berat dengan aksi para Kurawa itu.
Tiba-tiba saja, pekik histeris bagaikan menggetarkan tembok stadion ketika Arjuna tampil. Penengah Pendawa itu selama mengikuti audisi telah berhasil merebut hati ribuan penonton dari berbagai lapisan usia. Selain tampan, terlalu tampan bahkan, sehingga seringkali mampu merampas iman di dada setiap perempuan, putra ketiga Prabu Pandu itu juga dikenal sangat piawai dan brilian memainkan anak panah. Aksinya ketika memegang busur benar-benar mengagumkan. Indah dan menakjubkan. Setiap gerakannya seperti menaburkan pesona dan aura yang entah datang dari mana. Tak heran jika pekik histeris terus membahana hingga ke pintu langit ketika dia diberi kesempatan unjuk ketangkasan. Sretttt …. siuuur!!! Anak panah yang meluncur dari gendewa laksana kilat dan menyambar-nyambar menemukan sasaran. Dan jrepp! Anak panah itu pun dengan tepat menancap ke sasaran, tanpa meleset se-inci pun. Maka, stadion itu pun seperti hendak runtuh. Puluhan ribu penonton serentak berdiri, memberikan aplaus, dan meneriakkan yel-yel pujian. Walhasil, segenap dewan juri pun memberikan kemenangan mutlak buat Arjuna.
Kejadian itu membuat pihak Kurawa panik. Ancaman akan melayangnya tahta Hastinapura seperti tengah menari-menari di pelupuk mata. Kebenciannya terhadap Arjuna pun kian menjadi-jadi. Di tengah aplaus yang membahana, ketika matahari mulai jauh lengser di ufuk Barat, tiba-tiba saja dari arah kerumunan penonton muncul seseorang yang tak terdaftar sebagai peserta kontes. Lantas, dengan suara lantang berteriak, “Arjuna, Masih Ada Aku! Karna!” Karuan saja, teriakan itu membuat puluhan ribu penonton terhenyak. Demikian juga Arjuna dan kerabat Pendawa yang lain. Mereka tidak tahu kalau lelaki perkasa dengan wajah yang selalu bersinar itu sesungguhnya adalah saudara seibu. Di tribun kehormatan, tiba-tiba saja Dewi Kunti, ibu para Pendawa dan juga ibu Karna, pingsan. Ia sungguh tak sanggup menyaksikan anak-anaknya terlibat dalam kontes yang panas dan menegangkan itu.
“Wahai Arjuna, aku menantangmu adu kemahiran olah senjata. Akan kuperlihatkan padamu, siapa sesungguhnya yang lebih hebat di antara kita berdua,” teriak Karna sambil membelalakkan bola matanya ke arah Arjuna. Tanpa menunggu komando dari para dewan juri, Karna tiba-tiba dengan sigap menenteng busur, lantas dengan cekatan melesatkan anak panah secepat kilat. Dan hasilnya benar-benar membuat mata ribuan penonton membelalak. Ia berhasil menyamai rekor Arjuna yang sanggup meluncurkan anak panah dengan gerakan mengagumkan dan tepat sasaran.
Melihat kejadian itu, Duryudana tampak girang. Ia seperti tengah mendapatkan durian jatuh. Para Kurawa benar-benar mengagumi permainan panah putra Dewi Kunthi dan Bathara Surya itu.
“Hebat! Permainan panah Tuan benar-benar mengagumkan. Kedatangan Tuan benar-benar sebuah kehormatan buat kami. Kami, keturunan bangsa Kuru, siap menyambut kehadiran Tuan di sini!” puji Duryudana dengan bola mata berbinar, penuh kekaguman, diikuti para Kurawa yang lain.
“Terima kasih! Hanya dua hal yang saya butuhkan di sini. Pertama, cinta kasihmu. Kedua, kesempatan untuk bertarung melawan Arjuna,” sahut Karna penuh kebanggaan.
Menyaksikan “kemesraan” itu, Arjuna dan saudara-saudaranya yang lain merasa tersinggung dan terlukai. Arjuna protes lantaran selama ini Karna tidak pernah mengikuti audisi dan juga tak jelas benar asal-usulnya.
“Hai Karna, benar-benar sundal! Lancang benar kamu masuk ke arena ini tanpa ikut audisi, tanpa diundang, dan bicara sombong di depan kami semua,” teriak Arjuna. Karna terbahak-bahak.
“Duh, Arjuna, kasihan benar Kau! Saya pikir, arena ini akan lebih terhormat jika terbuka untuk umum, bukan hanya untuk mereka yang merasa dirinya sebagai keturunan darah biru, lebih-lebih Kau. Sungguh keblinger kalau pada era seperti sekarang masih ada orang yang mengagungkan darah dan asal-usul. Tapi, baiklah, buat apa banyak omong. Konon, orang yang banyak cakap sebenarnya hanya orang lemah, termasuk Kau. Ayo, Arjuna, bidikkan panahmu, jangan omdo alias omong doang, hahaha …!” sahut Karna. Prof. Durna tiba-tiba memberikan isyarat kepada Arjuna untuk menerima tantangan mendebarkan itu.
Senja jatuh. Lampu stadion segera dinyalakan. Rupanya, para penonton belum juga beranjak dari tempat duduk. Mereka justru makin penasaran untuk bisa menyaksikan duel maut yang langka itu. Kini, mereka terbelah menjadi dua kubu. Sebagian masih setia mengidolakan Arjuna, sebagian yang lain mulai mengidolakan Karna yang dianggap sebagai simbol wong cilik. Lantaran tak mau dianggap sebagai pengecut, Arjuna pun menerima tantangan itu. Namun, tiba-tiba Prof. Krepa menyela.
“Yang akan bertempur melawan Tuan adalah putra Kunthi dan Pandu dan berasal dari keturunan bangsa Kuru. Sadarlah, Tuan, menurut peraturan dan tata tertib kontes, putra raja tidak boleh bertanding melawan seorang petualang yang tak dikenal,” kata guru besar itu menegur Karna. Mendengar penuturan itu, Karna tertunduk. Tubuhnya nglumpruk seperti bunga layu. Namun, Duryudana buru-buru menyergahnya.
“Kalau kontes ini tak bisa dilangsungkan hanya karena Karna bukan putra raja, mudah saja. Aku nobatkan Karna sebagai Raja Angga, beres, kan?” sergahnya sembari menatap tajam wajah Prof. Krepa. Maka, Duryudana pun meminta Bhisma dan Destrarastra untuk mempersiapkan upacara penobatan. Dalam waktu singkat, Karna pun telah mengenakan mahkota dan lambang-lambang kebesaran raja. Peristiwa itu membuat Adhirata, ayah angkat Karna, terharu. Dengan tubuh bongkok, lelaki tua itu buru-buru menghampiri Karna di tengah arena. Dia benar-benar tersanjung dan tak menyangka, anak yang ditemukan di Kali Gangga itu akan dinobatkan sebagai raja terhormat. Namun, hal itu justru dimanfaatkan Bima, kakak Arjuna, untuk melakukan provokasi.
“Wow, ternyata hanya anak sais kereta kuda. Ayo, tariklah kereta dan paculah kudamu seperti yang dikerjakan ayahmu itu! Kau tak pantas mati di tangan Arjuna. Kau juga tidak layak menjadi raja Angga,” kata Bima dengan nada suara yang besar dan berat. Sindiran tajam Bima membuat telinga Karna memerah. Namun, buru-buru Duryudana memotongnya.
“Hai, Bim, tidak pantas Engkau berkata begitu. Lihatlah siapa Karna! Saya yakin, dia bukan orang sembarangan. Perawakan dan sikapnya bagai dewa. Senjata dan anting-antingnya gemerlapan! Saya menganggap, Karna tidak hanya layak menjadi Raja Angga, tetapi sangat pantas memerintah seluruh dunia,” sergah Duryudana. Usai berkata demikian, Duryudana beserta para Kurawa menyambar Karna, menaikkan ke sebuah mobil mewah, lantas memacunya secepat kilat, meninggalkan arena. Penonton tiba-tiba onar. Suasana kacau-balau, apalagi lampu stadion tiba-tiba dimatikan. Mereka gagal menyaksikan duel maut itu. Lantaran geram, para penonton mengamuk. Seisi stadion dirusak hingga porak-poranda sambil melontarkan kata-kata cacian terhadap Panitia Pelaksana yang dianggap tak becus mengurus kontes dengan baik.
Ya, ya, banyak kalangan memprediksi bahwa pertarungan maut antara Arjuna dan Karna itu tak bisa dihindarkan. Kalau tidak saat ini, pasti kelak juga akan terjadi. Hanya tinggal menunggu waktu. Oleh karena itu, pihak-pihak yang selama ini berada di pihak Pendawa berupaya mencari kelemahan Karna. Berbagai cara dilakukan, termasuk melibatkan paranormal dan ahli spiritual.
Kini, Karna benar-benar telah menyatu ke dalam kubu Kurawa. Bahkan, ia menjadi orang kepercayaan dan amat disegani Duryudana dan adik-adiknya. Konon, Arjuna dan Karna, kelak akan bertemu di Padang Kurusetra dalam perang besar, Bharatayuda, setelah Bhisma dan Durna gugur. Putra angkat seorang sais kereta itu diangkat menjadi panglima perang yang agung. (Tancep kayon)***
makasih pak
ceritanya menarik juga !!!
[…] Arjuna, Masih Ada Aku! Karna! […]
saya membaca cerita yang sama degnan versi lain di sini pak Sawali
http://padeblogan.com/2010/12/25/surtikanthi-awal-perjumpaan-3/
Yang saya suka adalah cerita pewayangannya itu dengan dikondisikan kejadian di masa kini
terima kasih banget infonya, mas mandor. kok bisa menggarap tema yang sama, yak?