Pengembaraan Sang Bhima Menemukan Air Suci Kehidupan

Kategori Wayang Oleh

Dalang: Sawali Tuhusetya

Entah, sejak kapan Bhima pingsan. Senja di tepi Gangga makin temaram. Kepekaan telinganya hanya bisa menangkap alunan air sungai yang tak pernah berhenti mendesir. Tulang-belulang dan persendiannya terasa ngilu. Kekuatan tubuhnya seperti dilolosi satu persatu. Pandangan bola matanya hanya bisa menangkap suasana gelap yang makin lindap di balik semak-semak. Samar-samar, memorinya menangkap adegan di sebuah layar kecil ketika dia disuguhi makanan oleh Duryudana dan Kurawa yang lain di tepi Gangga. Entah, racun apa yang telah dicampurkan ke dalam adonan makanan itu, hingga akhirnya Bhima merasakan tubuhnya limbung seketika.

duryudanaYa, ya, nafsu serakah agaknya telah mengilusumsum ke dalam darah Duryudana. Kekhawatiran akan hilangnya tahta Hastina telah membuat dia dan adik-adiknya melakukan persekongkolan busuk. Berkali-kali, para Kurawa berupaya menyingkirkan para Pendawa, putra Pandu yang dikenal jujur itu. Salah satu pilar kekuatan Pendawa berada di tangan Bhima yang perkasa. Jika Bhima yang bertubuh kekar dengan kekuatan fisik yang tak terkalahkan itu lenyap, jalannya untuk menguasai tahta Hastinapura makin terbuka lebar. Sementara, ayahnya, Destrarastra yang buta, jelas tak bisa diharapkan sepenuhnya untuk mewujudkan ambisi dan keserakahan Duryudana. Jika para Pendawa tidak disingkirkan, sudah pasti kelak Hastina akan jatuh ke tangan para putra Pandu. Duryudana tak ingin hal itu terjadi. Bagaimanapun caranya, tahta Hastina harus jatuh ke tangannya.

Syahdan, Duryudana pun mencari siasat jitu untuk menyingkirkan Bhima. Dengan sikap penuh kepura-puraan, diajaknya para Pendawa berenang ke Sungai Gangga. Dengan licik, usai berenang-renang, Bhima disuguhi makanan kesukaannya. Namun, makanan itu telah ditaburi racun mematikan. Tanpa curiga, Bhima menyantap semua makanan suguhan itu dengan lahap. Namun, seperkasa apa pun tubuhnya, dia tak akan sanggup melawan racun ganas yang telah merasuk ke dalam perutnya. Seketika, tubuh perkasa itu pun terkapar mencium bibir Kali Gangga.

Melihat Bhima tak berdaya, Duryudana segera mengikat tubuh sepupunya itu dengan ranting-ranting pohon berduri dan menutupi tubuhnya dengan daun-daun gatal. Kemudian, mereka melemparkan Bhima ke papan lebar yang dipasangi paku-paku tajam beracun. Jika Bhima jatuh di papan itu, sudah pasti Malaikat Maut akan segera mencabut nyawanya. Namun, ternyata nasib berkehendak lain. Tubuh Bhima tidak jatuh menimpa papan berpaku tajam itu, tetapi jatuh ke sungai dan segera dipatuki ratusan ular berbisa. Keanehan pun terjadi. Bisa ratusan ular ganas yang merasuk ke dalam tubuhnya justru mampu melawan racun makanan yang bersarang di tubuhnya. Racun makanan dan bisa ular yang saling berlawanan itu malah membuat tubuh Bhima kebal dari berbagai racun jenis apa pun. Oleh gelombang arus Kali Gangga, tubuh Bhima dihempaskan di tepian seberang sungai ketika senja jatuh. Ketika bola matanya berkeriyap, Bhima melihat langit sudah tampak gelap.

Dengan kekuatan tubuh barunya, Bhima bergegas pulang menyusuri Kali Gangga sambil berenang. Dewi Kunti, ibunya, dan Yudhistira, kakaknya, yang sudah dicekam rasa cemas, menyambut kedatangan Bhima dengan sukacita. Setelah berada di istana Hastina, Dewi Kunti sangat hafal dengan tabiat para penghuninya. Ia bukannya tidak tahu gelagat busuk yang bersemayam di otak para Kurawa. Namun, dia sengaja tidak pernah mengusiknya, lantaran tak ingin kebencian Kurawa terhadap Pendawa makin menjadi-jadi sebagaimana yang pernah dinasihatkan Om Widura.

“Duryudana memang superjahat. Namun, ada baiknya kejahatan-kejahatannya tak perlu dibongkar. Biarkan sang waktu yang akan membuktikannya. Percayalah, anak-anakmu yang baik dan jujur pasti akan mendapatkan lindungan Sang Pencipta. Sampeyan tak perlu terlalu cemas,” kata Om Widura suatu ketika.

Sebaliknya, Duryudana terkejut bukan main ketika melihat Bhima terhindar dari maut. Dadanya tiba-tiba terasa sesak dan terus diserbu tanda tanya yang tak pernah sanggup dijawabnya. Kebenciannya terhadap Bhima pun kian menguasai benaknya. Oleh karena itu, dia tak akan pernah berhenti untuk menyingkirkan penenggak Pendawa itu. Apa pun yang terjadi, Bhima harus disingkirkan, tegasnya dalam hati dengan amarah yang menggelegak.

DurnaUntuk memuluskan jalannya dalam menyingkirkan Bhima, Duryudana membujuk gurunya, Prof. Durna, guru besar yang dikenal ahli ilmu perang tanding dan perang brubuh atau perang habis-habisan, agar mau membinasakannya. Sang profesor yang memang lebih menyayangi Kurawa ketimbang Pendawa itu pun menyanggupinya.

Dengan otoritas yang dimilikinya, Prof. Durna meminta Bhima untuk menghadapnya. Dengan mimik serius, sang guru besar memerintahkan Bhima untuk melakukan pengembaraan mencari air suci kehidupan alias tirta prawidhi.

“Wahai, Bhima, muridku yang perkasa, aku perintahkan engkau untuk mengembara, mencari air suci kehidupan alias tirta prawidhi. Carilah sampai ketemu dan jangan kembali sebelum berhasil menemukannya. Ketahuilah, barang siapa memiliki tirta prawidhi, dia akan dapat memahami hidup ini dan akan mampu mengenal asal, arah, dan tujuan hidup manusia, yaitu sangkan paraning dumadi. Berangkatlah, muridku! Jangan pernah ragu, karena orang yang ragu tak akan pernah berhasil,” kata sang guru besar dengan bola mata berkeriyap.

Dengan suara beratnya yang khas, Bhima langsung menyanggupi perintah sang guru, tanpa berpikir panjang. Dia siap menjalankan perintah gurunya, karena yakin tak mungkin guru yang dihormatinya itu akan mencelakakan dirinya. Bhima tak peduli, meski Dewi Kunti menghalanginya. Berdasarkan naluri keibuannya, Dewi Kunti menangkap sinyal adanya rencana busuk di balik perintah itu. Namun, dia gagal meyakinkan Bhima. Dewi Kunti hanya bisa melepas kepergian Bhima dengan doa restu, sebelum putra perkasanya itu mengembara di tengah rimba belantara dengan berbagai jenis satwa dan tantangan alam yang mengancam.
***

Pengembaraan Bhima dimulai. Dengan rasa percaya diri, dia bergegas menjelajahi rimba belantara yang singup dan mencekam. Goa dan lembah di kaki Gunung Candramuka yang wingit dengan segenap satwa liar yang menghadangnya dia susupi. Namun, sejauh ini tirta prawidhi yang diburunya tak juga ditemukan.

Bhima tak patah arang. Putra Pendawa yang memiliki kuku Pancanaka yang dikenal amat tajam itu terus menggeledah dan mengobrak-abrik seisi rimba, hingga akhirnya bertemu dengan dua monster ganas, yakni Rukmuka dan Rukmakala. Keinginannya yang kuat untuk menemukan air suci kehidupan telah mengalahkan rasa takut dan rasa sakitnya. Dengan garang, Bhima menantang kedua monster ganas itu untuk berkelahi. Terjadilah duel seru. Bagaikan letusan gunung berapi yang dahsyat, Bhima memuntahkan material vulkanik yang bersemayam dari dalam tubuhnya. Tak ayal lagi, tubuh kedua moster itu pun berdebam mencium lembah Gunung Candramuka. Namun, aneh, seketika kedua monster ganas itu berubah wujud menjadi Batara Indra dan Batara Bayu, yang konon juga ayah Bhima sendiri.

Pertemuan yang mengharukan setelah duel maut itu membawa berkah buat Bhima. Batara Indra memberinya hadiah berupa mantra Jalasengara, sedangkan Batara Bayu memberinya sebuah ikat pinggang sakti. Konon, kedua hadiah itu bisa menjadi bekal bagi Bhima dalam mengarungi samudra paling dalam sekalipun. Batara Bayu juga memberikan informasi bahwa air suci kehidupan yang diburunya terletak di dalam Telaga Gumuling, di tengah rimba Palasara, yang dihuni seekor monster naga raksasa bernama Anantaboga.

Usai menyembah takzim dan mengucapkan terima kasih, Bhima segera berjingkat menuju rimba Palasara. Seperti telah diduga, begitu tiba di bibir Telaga Gumuling, Bhima segera dihadang Anantaboga yang superliar dan ganas. Merasa terusik naga itu mengibas-ibaskan ekornya dan membelit tubuh Bhima sekuat tenaga. Namun, Bhima tak kehilangan kewaspadaan. Dengan cekatan, dia manfaatkan kuku Pancanaka di ibu jarinya yang sakti untuk menusuk leher Anantaboga hingga putus. Anantaboga pun limbung tak berdaya.

BhimaSekali lagi, Bhima menyaksikan sebuah keanehan. Begitu jasad Anantaboga lenyap, muncullah Dewi Maheswari, bidadari yang dikutuk oleh Sang Hyang Guru Pramesti menjadi monster naga raksasa. Berdasarkan keterangan dari Dewi Maheswari, Bhima mendapat informasi baru bahwa dia bisa menemukan tirta prawidhi di dasar samudera raya.

Sambil merapal mantra Jalasengara pemberian Batara Indra, Bhima bergegas mengarungi Samudera Selatan yang mahaluas dengan badai-gelombang yang (nyaris) tak pernah berhenti. Di kedalaman samudra yang mahaluas dan dalam itu, dia lagi-lagi harus menghadapi monster naga Nawatnawa yang tak pernah kehabisan menyemburkan bisa mematikan. Namun, berkat kekebalan tubuhnya, Bhima mampu menghadapi semburan bisa berbahaya itu. Dengan mengenakan ikat pinggang pemberian Batara Bayu, dia bisa bergerak dengan leluasa di samudera raya, hingga akhirnya mampu menaklukkan Nawatnawa dengan kuku Pancanaka-nya.

Pergulatan dan pertempuran dahsyat yang dilaluinya membuat kekuatan tubuh Bhima melemah. Dia membiarkan tubuhnya yang loyo terombang-ambing di tengah gelombang samudra raya, hingga akhirnya terhempas di sebuah karang emas. Saat itulah muncul Dewa Ruci yang memancarkan aura cahaya cemerlang. Ketika Bhima siuman, dia tercengang saat bola matanya menyaksikan sosok yang sangat kecil, tetapi sangat mirip dengan dirinya.

Dewa RuciDengan suaranya yang berwibawa, sosok mini itu memperkenalkan dirinya. “Aku Dewa Ruci. Ada juga yang menyebutku Nawaruci. Aku datang untuk menolongmu Bhimasena. Sekarang, masuklah ke dalam telingaku. Di dalam diriku, engkau akan menemukan apa yang kaucari selama ini!” Dada Bhima yang bidang seketika dihujani tanda tanya. “Bagaimana mungkin tubuhku yang sebesar ini bisa masuk ke dalam tubuh mininya?” tanya Bhima pada dirinya sendiri.

Seperti mampu membaca pikiran Bhima yang tengah diselimuti kebimbangan, seketika Dewa Ruci berkata, “Sesungguhnya, tempat ini adalah tempat yang kosong dan sunyi; tidak ada apa-apa, tidak ada pakaian atau makanan. Semua serba sempurna. Ketahuilah, selama ini engkau hanya setia pada ucapan, mengabdi pada gema, yaitu bentuk segala kepalsuan.” Kata-kata Dewa Ruci tentang hakikat hidup yang gaib itu membuat Bhima tercengang dan melongo. Dia tak sanggup memahaminya.

“Siapakah yang lebih besar, wahai Panduputra? Engkau atau alam semesta yang ada di dalam tubuhku? Aku adalah jagat besar atau makrokosmos dan engkau adalah jagad kecil atau mikrokosmos yang ada di dalam aku.”

Kebimbangan Bhima perlahan-lahan sirna. Dengan perasaan mantab, dia bergegas masuk ke dalam lubang telinga Dewa Ruci. Aneh, di dalam lubang telinga yang mungil itu, Bhima seperti berada di alam kosong dan berhadapan dengan benda berbentuk gading yang memancarkan sinar putih, merah, kuning, dan hitam. Konon, sinar warna-warni itu menjadi simbol jiwa manusia dengan sifat-sifat murninya. Sinar putih melambangkan kemurnian budi, sinar merah melambangkan watak berangasan dan lekas marah, sinar kuning melambangkan keinginan-keinginan manusiawi, dan sinar hitam melambangkan angkara murka dan keserakahan. Pada saat yang lain, Bhima menyaksikan tiga wujud seperti boneka dari emas, gading, dan permata. Konon, ketiganya benda itu melambangkan tiga dunia, yakni Inyanaloka (lambang badan jasmani), Guruloka (lambang alam kesadaran), dan Indraloka (lambang dunia rohani).

Begitulah! Beberapa saat lamanya bersemayam di dalam tubuh Dewa Ruci, Bhima mendengarkan penjelasan panjang lebar tentang hakikat manusia dengan segala nafsunya dan hakikat alam semesta, hingga akhirnya Dewa Ruci yang gaib dan agung itu lenyap dari mata batinnya. Bhima tersentak. Dia baru sadar bahwa tirta prawidhi, air suci kehidupan, simbol hakikat jatidiri dan alam semesta, yang selama ini diburunya telah berhasil dia temukan.

Tiba-tiba saja, Bhima menyaksikan wajah Prof. Durna berkelebat dalam layar batinnya. Rasanya, dia ingin segera bertemu dan bersimpuh di kaki gurunya itu. Berkat petunjuknya, akhirnya dia berhasil menemukan hakikat dan kesejatian dirinya, meski harus menghadapi rintangan dan marabahaya yang terus mengancam jiwanya.

Sementara itu, di istana Hastinapura, Prof. Durna dengan dikerumuni murid-murid Kurawa, kesayangannya, tengah dilanda mabuk kemenangan sambil menenggak minuman keras. Mereka yakin, siasat sang guru besar itu bakal mampu menyingkirkan Bhima selama-lamanya. (Tancep Kayon) ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

65 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Wayang

TEROR DI NEGERI WIRATHA

Dalang: Sawali Tuhusetya Akibat kebencian Kurawa yang telah mengilusumsum melalui aksi tipu
Go to Top