Pendidikan Kebencanaan dan Kesigapan Mengurangi Risiko

Kategori Opini Oleh

Banjir bandang Wasior, tsunami Mentawai, dan erupsi Merapi yang terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan, makin menyadarkan kita bahwa negeri kita tergolong sebagai negeri rawan bencana. Bencana sudah pasti tak dikehendaki oleh siapa pun, tetapi juga tak ada seorang pun yang sanggup menolaknya. Ia bisa hadir tanpa permisi. Dalam kondisi demikian, tidak berlebihan kalau kalangan pengamat dan pemerhati bencana mengusulkan tentang pentingnya pendidikan kebencanaan dalam kurikulum pendidikan kita. Tujuannya adalah untuk menanamkan sikap tanggap dan responsif terhadap bencana sehingga risiko yang fatal bisa dihindari. Para peserta didik tidak hanya sekadar mengetahui dan memahami bencana, tetapi yang lebih penting dan utama adalah bagaimana mereka bisa menghadapi risiko bencana dengan sikap siaga dan responsif sehingga mampu meminimalkan dampak yang lebih parah.

Banyaknya korban yang selalu terjadi setiap kali bencana datang ditengarai akibat rendahnya sikap tanggap dan responsif terhadap bencana. Kondisi seperti itu diperparah dengan masih kuatnya sebagian besar masyarakat terhadap mitos yang berkembang di tengah-tengah masyarakat akibat kuatnya pengaruh hubungan patront-client; antara tokoh “spiritual” yang dijadikan anutan dan warga masyarakat sekelilingnya.

bencanaSaat ini, lingkungan alam dinilai sudah mengalami kerusakan yang teramat parah. Hutan yang dulu menjadi “syurga” bagi para satwa kini sudah banyak yang gundul. Secara bertahap, kerumunan satwa pun berupaya mempertahankan hidup dengan mencari kawasan hutan yang dianggap nyaman buat hidup mereka. Padahal, konon dulu satwa bisa memberikan pertanda bencana dengan berbondong-bondong turun gunung ke kampung-kampung. Banyaknya satwa yang turun gunung diyakini sebagai “pertanda buruk” bahwa bencana besar akan terjadi, sehingga dengan amat sadar mereka bersiaga untuk mengungsi. Kini, ketika satwa sudah musnah, gejala-gejala alam menjadi sulit terdeteksi. Mereka lebih mengandalkan tokoh “spiritual” yang dianggap lebih mampu dalam menangkap fenomena alam yang terjadi. Namun, ternyata tradisi dan kepercayaan semacam itu tidak selalu menguntungkan.

bencanaKetika alam sudah tidak lagi ramah akibat ulah manusia yang sewenang-wenang, sehingga potensi kawasan rawan bencana jadi makin terancam, sungguh beralasan jika pendidikan kebencanaan dipandang penting dan urgen untuk diperhatikan hingga aras implementasinya; tidak lagi hanya sekadar wacana dan retorika. Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) jelas sangat berkepentingan untuk mewujudkannya. Sebagaimana diberitakan banyak media, Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Jalal, menyatakan bahwa untuk mengurangi risiko bencana di daerah-daerah rawan bencana, pengetahuan pengurangan risiko bencana telah diintegrasikan ke dalam kurikulum. Segala macam informasi mengenai pendidikan kesiapsiagaan bencana, tegasnya, telah dituangkan dalam modul-modul yang disusun Kementerian Pendidikan Nasional, guru, dan lembaga-lembaga nonpemerintah internasional. Di dalam modul-modul pendidikan kesiapsiagaan bencana tersebut, menurut Fasli, juga diatur mengenai cara-cara melakukan sosialisasi tanggap bencana, antara lain melalui poster dan brosur yang dipasang dan dibagikan di sekolah-sekolah.

Ya, ya, semoga dengan upaya serius untuk mengintegrasikan pendidikan kebencanaan ke dalam kurikulum, saudara-saudara kita yang bermukim di kawasan rawan bencana, mampu berkelit dan bertindak cekatan ketika dihadang bencana. Jangan sampai terjadi, nyawa demi nyawa melayang hanya lantaran ketidaksiapan kita menghadapi risiko bencana yang (nyaris) mustahil dapat dihindarkan. ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

67 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Opini

Go to Top