Prahara Tak Pernah Berhenti Mengguncang Negeri Kelelawar

Kategori Negeri Kelelawar Oleh

(Kisah ini merupakan bagian ke-15 dari serial “Negeri Kelelawar”. Yang belum sempat membaca, silakan nikmati dulu kisah Menagih Janji Politisi di Negeri Kelelawar (1), Ontran-ontran di Negeri Kelelawar (2), Situasi Chaos di Negeri Kelelawar Makin Parah (3), Angin Reformasi Berhembus Juga di Negeri Kelelawar (4), Menyiasati Kecamuk Separatisme di Negeri Kelelawar (5), Kekuasaan Negeri Kelelawar dalam Kepungan Ambisi Petualang Politik (6), Isu Dekrit Presiden di Negeri Kelelawar (7), Premanisme Merajalela di Negeri Kelelawar (8)Geger Ujian Nasional di Negeri Kelelawar (9), Terang Bulan Tak Ada Lagi di Negeri Kelelawar (10), Gerakan Apolitis Kaum Muda Negeri Kelelawar (11), Negeri Kelelawar Menjadi Sarang Koruptor (12)), Senjakala di Negeri Kelelawar (13), dan Peradaban Negeri Kelelawar Tak Akan Pernah Mati (14). ***

Budaya

Oleh: Sawali Tuhusetya

Belum kering air mata penduduk negeri Kelelawar meratapi nasib para korban yang terenggut maut akibat banjir bandang dan tsunami, mereka kembali dipaksa menguras air mata. Sebuah gunung berapi murka; memuntahkan material vulkanik berkekuatan dahsyat yang suhunya mencapai lebih dari 500 derajat celcius, lantas memanggang lembah, goa, dan pemukiman yang dilaluinya. Penduduk yang tidak sempat terbang mengungsi, terpaksa harus menjadi korban keganasan material panas yang terus menyembur dari kawah gunung berapi itu.

Dalam sekejap, kabar duka itu segera menyebar melalui berbagai jaringan media. Para pengelola stasiun TV segera menurunkan para reporter bernyali untuk melakukan liputan berita eksklusif. Pengelola media cetak juga tak kalah gesit. Mereka segera menerjunkan para jurnalis andal yang sanggup menyajikan berita terbaik buat para pelanggannya. Keesokan harinya, slogan “Pray for Negeri Kelelawar” menjadi headline berita. Koran, majalah, tabloit, atau layar TV, berwarna merah menyala; menggambarkan situasi mencekam di balik murka gunung berapi yang tak henti-hentinya menyemburkan lava pijar panas. Kepulan debu vulkanik yang bergulung-gulung longsor menuju lembah dan pemukiman digambarkan dengan gaya jurnalistik untuk mengatrol tiras dan nilai jual berita.

Tak hanya para pemburu berita yang didera kesibukan luar biasa. Para petualang politik juga tak kalah gesit memanfaatkan moment prahara itu untuk menarik simpati publik. Dengan kecanggihan naluri politik yang sudah terlatih, mereka segera menurunkan para relawan untuk membantu para korban di pengungsian. Dengan berbagai atribut, umbul-umbul, dan bendera politik, mereka bagaikan sinterklas yang menjanjikan keselamatan dan kedamaian hidup. Tempat pengungsian mendadak dipenuhi berbagai atribut dan ikon politik; tanpa memedulikan perasaan para korban yang terluka. Mereka terus berkoar untuk tampil sebagai penyelamat di tengah rintihan dan teriak histeris para korban yang dicekam kepanikan dan ketakutan.

Agaknya, prahara tak pernah berhenti mengguncang Negeri Kelelawar. Hampir setiap saat, bencana mengintai di mana-mana. Alam benar-benar seperti tengah murka. Dalam kondisi seperti itu, tidak sedikit penggiat dunia spiritual yang mengaitkan kemurkaan alam itu dengan gaya kepemimpinan penguasa Negeri Kelelawar yang dinilai sudah kehilangan kepekaan terhadap nasib rakyatnya.

“Menurut analisis spiritual saya, berbagai prahara yang terjadi di Negeri Kelelawar merupakan simbol ketidakberpihakan para penghuni alam udara, laut, dan darat terhadap penguasa. Kaum elite sudah kehilangan kepekaan terhadap nasib rakyatnya yang hidup terlunta-lunta. Dengan dalih studi banding, mereka sengaja melancong ke negeri seberang untuk memuaskan naluri hedonisnya,” kata salah satu pengamat berikat kepala hitam dengan mantab dan percaya diri ketika diwawancarai wartawan TV. Sesekali, pandangan matanya menerawang jauh entah ke mana.

“Dari mana Anda bisa punya keyakinan seperti itu?” berondong sang wartawan.

“Gampang saja! Negeri Kelelawar ini kan amat kaya dengan nilai keluhuran budi dan kearifan lokal. Kenapa untuk belajar etika saja mesti ke Yunani? Bener-bener keblinger! Kalau ingin serius belajar etika, gali dong kembali nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh berbagai daerah di negeri ini! Tapi, mana mereka mau? Kesempatan melancong ke negeri seberang sudah pasti urung kalau proyek penggalian etika dan nilai kearifan lokal itu dilakukan! Anak TK saja bisa njawab, kok!” sergahnya dengan bola mata menyala-nyala.

Terjadi perdebatan seru. Pengamat yang pro dengan penguasa serta-merta mendebatnya dengan berbagai dalih. Belum sempat perdebatan seru itu berlanjut, tayangan TV dipenggal untuk menyajikan berita tentang letusan gunung berapi yang kembali beraksi. Bahkan, lebih dahsyat daripada sebelumnya. Dari layar kaca jelas terlihat betapa mencekamnya situasi yang terjadi di tempat pengungsian. Terdengar jerit histeris di sana-sini.

Usai jeda iklan, acara debat kembali dilanjutkan.

“Bung, menurut Anda sendiri, bagaimana? Benarkah berbagai bencana yang terjadi di Negeri Kelelawar akibat hilangnya kepekaan para elite terhadap nasib rakyatnya?”

“Jelas, nonsense! Bencana ini terjadi karena takdir semata. Tak satu pun yang menghendaki bencana itu terjadi. Siapa pun penguasanya, mustahil mampu mencegah bencana itu. Titik. Saya malah jadi heran, kenapa bencana mesti dikait-kaitkan dengan kekuasaan? Atau jangan-jangan, yang suka omong sembarangan semacam itu lantaran kebelet pingin jadi penguasa. Kalau memang benar, tunggu dong empat tahun lagi! Kini, bersabarlah dahulu!”

“Eit, jangan main tuduh dan fitnah, dong! Saya melihat kenyataan yang terjadi berdasarkan sudut pandang spiritual saya karena saya ditanya. Kok malah saya dituduh seperti? Pakai etika dong, apalagi tayangan ini disaksikan oleh para penduduk Negeri Kelelawar!” sergah sang pengamat spritual!

“Saya tidak main tuduh! Analisis Anda sudah jelas bisa ditebak kok arahnya mau ke mana?”

Debat semakin seru dan memanas ditingkah suara teriakan dari bangku supporter masing-masing kubu yang sengaja didatangkan ke studio untuk keperluan entertaintment. Debat yang sudah menyimpang dari topik itu berubah ricuh. Masing-masing kubu saling lempar-lemparan botol aqua. Presenter TV sudah tak sanggup lagi mengendalikannya. Tanpa ditutup, pihak pengelola stasiun mendadak menggantinya dengan acara sinetron horor dan hantu.

Sungguh menyedihkan! Di tengah suasana duka akibat prahara beruntun yang terus terjadi, kepedulian yang muncul baru setengah hati. Para politisi yang mengibarkan bendera di tempat pengungsian jelas-jelas menampakkan sikap berpamrih. Mereka baru sebatas bersimpati, belum berempati. Meski para pengungsi tak pernah melihat warna baju politik yang dipakai, tetapi sungguh tidak elok kalau para politisi masih tega menari-nari di atas genderang politik yang mereka tabuh di tengah suasana yang mencekam dan penuh kepanikan. ***

Tags:

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

71 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Negeri Kelelawar

Go to Top