Dalang: Sawali Tuhusetya
Dewi Kunti tercenung di kamarnya. Perempuan cantik bertubuh sintal itu tiba-tiba merasakan jantungnya berdebar tak karuan. Semula, dia hanya iseng saja, memanfaatkan fasilitas handphone pemberian Prof. Durwasa, guru besar yang tak pernah mau “berselingkuh” dengan politik dan kekuasaan. Konon, handphone pemberian sang guru besar itu memiliki jaringan khusus dengan kehidupan para dewa. Hanya dengan menekan nomor tertentu, Dewi Kunti bisa menjalin kontak secara langsung dengan para dewa, sosok yang selama ini hanya sekadar bisa dipahami lewat dunia mimpi dan imajiner. Lantaran penasaran, dia pun menekan sembarang tombol.
Sungguh di luar dugaan, begitu nomor handphone itu ditekan, mendadak langit berubah gelap. Mendung tebal bergulung-gulung ditingkah gelegar guntur yang membadai. Bersambung-sambungan. Dari balik gumpalan mendung tebal itu mendadak muncul sosok perkasa dan wibawa dengan wajah diselubungi cahaya berpendaran. Dewi Kunti tersentak. Dadanya yang sintal turun-naik. Napasnya tersengal. Tiba-tiba saja dia seperti berada di dunia lain yang belum pernah dijamahnya. Anehnya, dia seperti merasakan kenikmatan yang luar biasa. Seumur-umur belum pernah dia merasakan kenikmatan eksotis semacam itu. Sekujur tubuhnya gemetar. Keringat dingin meleleh di antara pori-pori dan bulu-bulu lembutnya.
“Kunti, kamu tidak usah khawatir, Sayang. Ini aku, Bathara Surya, datang dari alam kadewatan untuk memenuhi panggilan lewat handphone saktimu!” kata sosok misterius yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Kunti dengan segenap pesona kegagahan dan keperkasaannya. Wajahnya yang tampan tak henti-hentinya memancarkan cahaya lembut. Cahaya lembut itu, lantas tak henti-hentinya menggerayangi pusat kepekaan syaraf Kunti dengan getaran yang membuai dan melenakan. Kunti tergeragap.
“Mmm …maaf, apa yang telah Tuan lakukan terhadap saya hingga membuat tubuh saya bergetar tak karuan?” kata Kunti dengan wajah malu-malu. Menunduk. “Mohon maaf, saya telah berlaku lancang hingga membuat Tuan datang kemari. Saya hanya iseng saja menekan tombol handphone pemberian Prof. Durwasa,” lanjutnya terbata-bata.
“Tidak apa-apa Kunti, Sayang. Aku suka melakukannya, kok?”
“Memang apa yang telah Tuan lakukan?”
“Sudahlah, Kunti, Sayang! Peristiwa ini berlangsung amat singkat, di luar kendali saya, dan semua telah terjadi. Saya telah menaburkan benih kejantanan ke dalam rahimmu dan kelak kamu akan melahirkan anak saya!”
“Hah? Jadi, saya sudah tidak suci lagi dan akan melahirkan anak dari hubungan gelap ini?”
“Ya. Anggap saja ini takdir hidup yang mesti kamu jalani. Dan kamu tidak usah khawatir. Meski hamil, kamu tetap gadis yang suci. Kamu masih tetap virgin!” Usai berkata demikian, tiba-tiba saja langit kembali gelap ditingkah dengan guntur yang membadai. Lantas, tubuh Bathara Surya tenggelam dan lenyap di balik gugusan awan tebal yang bergulung-gulung.
Dewi Kunti hanya bisa melongo. Kedua bibir mungilnya seperti terkunci. Tubuhnya lemas seketika. Dia tak tahu lagi harus berbuat apa setelah mengetahui kalau dia baru saja melakukan hubungan gelap dengan lelaki yang sama sekali tak pernah dikenalnya. Haruskah dia membunuh janin yang ada dalam kandungannya? Atau tetap merawat dan membesarkannya dengan risiko harus menanggung aib seumur hidup? Tanpa terasa, dari sudut matanya mengalir air bening yang meleleh di sela-sela pipi ranumnya. Dia menyesal telah iseng menekan tombol handphone pemberian Prof. Durwasa itu. Ingin sekali dia membuang benda yang menjadi sumber malapetaka itu jauh-jauh. Namun, dia juga sangat paham atas kebaikan sang guru besar itu. Mustahil Prof. Durwasa menghadiahi benda yang sangat berharga itu kalau hanya ingin menjerumuskannya ke dalam kubangan aib. Sungguh, dia sama sekali tak punya keberanian untuk menolak pemberian itu, apalagi membuangnya.
Tiba-tiba saja, Dewi Kunti merasakan rasa sakit yang luar biasa dari balik janin yang dikandungnya. Rasa sakit itu terus menjalar hingga ke pusat syarat telinganya. Mendadak, dari telinganya keluar sesosok janin mungil yang menenteng seperangkat senjata seperti matahari. Karena lahir dari telinga, bayi mungil itu diberi nama Karna yang konon kelak akan menjadi senapati perang yang mahasakti. Lantaran bingung dan tak mau menanggung aib seumur hidup, diam-diam Dewi Kunthi memasukkan Karna ke dalam sebuah kotak yang tertutup rapat, lantas menghanyutkannya ke sebuah sungai.
***
Tak ada yang tahu kalau Dewi Kunti telah mengalami sebuah peristiwa tragis dan tak mungkin bisa dilupakan seumur hidup, termasuk orang tua angkatnya, Kunthibhoja. Dewi Kunti juga tak ingin larut ke dalam peristiwa tragis dan penuh aib itu. Biarlah kehidupan terus mengalir mengikuti kehendak sang takdir. Kalau toh suatu ketika aibnya terbuka seiring dengan pertumbuhan Karna yang makin besar dan dewasa, biarlah kelak sang waktu yang akan “menghukum”-nya. Dewi Kunti tak ingin terjebak ke dalam perangkap masa lalu yang justru akan terus menelikung kehidupannya sendiri.
Walhasil, Dewi Kunti pun bisa melalui masa-masa yang pahit itu dengan “sempurna”. Hubungan dengan teman-temannya masih cukup terjaga dengan harmonis. Aktivitasnya juga terus padat mengalir. Undangan talk-show di berbagai stasiun televisi juga bisa diatur dengan baik. Dewi Kunti juga tahu kalau diam-diam banyak cowok tampan dan kaya yang jatuh hati kepadanya. Sudah banyak cowok yang jujur dan terus terang menyatakan perasaan cinta kepadanya. Namun, belum satu pun yang berkenan di hatinya. Dengan cara yang halus dan santun, perempuan semampai yang selalu berbau wangi itu bisa menolaknya.
Sikap Dewi Kunti yang dingin dan selalu menolak berpacaran justru membuat resah orang tua angkatnya, Kuntibhoja. Meski bukan darah dagingnya sendiri, Kuntibhoja merasa memiliki tanggung jawab untuk membesarkan dan menikahkannya, hingga kelak anak saudara sepupunya itu bisa membangun bahtera rumah tangga yang bahagia, lahir dan batin. Sudah berbagai cara Kuntibhoja membujuk Dewi Kunti agar memilih salah satu cowok idamannya, siapa pun dia. Namun, dengan berbagai cara pula, Dewi Kunti selalu sanggup menolaknya.
“Kunti, jujur saja, ayah sangat mendambakan kamu segera menikah dan punya keturunan. Sudah bertahun-tahun lamanya rumah ini kosong, tidak ada suara celoteh dan tangis bocah. Aku sangat merindukan suasana semacam itu, Kunti!” kata Kuntibhoja pada suatu senja yang gerimis.
“Maafkan saya, Ayah! Bukannya saya menolak keinginan Ayah, tetapi sampai saat ini belum ada cowok yang sreg di hati. Saya takut nanti salah pilih. Yang lebih saya takutkan lagi, cowok pilihan saya tidak sesuai dengan keinginan Ayah!” sahut Dewi Kunti sambil menunduk.
“Hmm …,” Kuntibhoja mengambil napas. “Sesungguhnya lelaki seperti apa yang kamu inginkan, anakku?”
“Aduh, Ayah! Saya sulit menjawab pertanyaan semacam itu. Yang jelas, suami Kunti tidak hanya cerdas, tetapi juga harus peduli pada nasib rakyat kecil. Satu lagi yang Kunti inginkan, kalau jadi pejabat, dia harus punya track-record yang bagus, belum pernah dan tidak akan pernah korupsi atau tersandung persoalan hukum.”
“Aha! Ini dia yang Ayah suka! Ayah setuju dengan tipe lelaki idolamu itu. Tapi, jujur saja, memilih tipe lelaki semacam itu pada zaman sekarang bukan hal yang mudah. Hmm … bagaimana kalau kita gelar audiensi? Semacam fit and proper test begitu, hehe …. agar cowok yang terpilih benar-benar sesuai dengan keinginanmu?”
“Aduh, Ayah! Apa itu tidak terlalu berlebihan? Fit and proper test hanya sekadar untuk memperebutkan Kunti?”
“Eit, jangan lupa, Kunti! Kamu memang layak diperebutkan dengan superketat! Selain cantik, kamu juga cerdas dan keturunan keluarga baik-baik. Kamu tidak usah khawatir, semua serahkan kepada Ayah untuk mengaturnya. Bagaimana?”
“Aduh, Ayah! Kunti jadi malu, nih! Semua terserah Ayah, deh!” sergah Kunti malu-malu.
***
Walhasil, audiensi dan fit and proper test pun digelar. Cowok dengan berbagai tipe mengajukan lamaran. Berkas menumpuk di meja Panitia Pelaksana (Panpel). Penguji yang dilibatkan dalam kepanitiaan juga bukan sosok sembarangan. Mereka direkrut dari berbagai kalangan yang benar-benar kredibel dan berintegritas tinggi.
Seleksi yang superketat pun dimulai. Seleksi yang berlangsung lebih dari sepekan itu pun makin mengerucut. Banyak lelaki kaya dan tampan berguguran hingga akhirnya hanya tinggal satu lelaki yang dinilai Panpel memenuhi syarat untuk menjadi pendamping Dewi Kunti, yakni Pandu. Berdasarkan penilaian Panpel, lelaki yang satu ini, selain berasal dari keluarga baik-baik, juga cerdas dan memiliki track-record yang bagus. Dia berasal dari trah alias keturunan Bangsa Bharata yang termasyhur. Perjalanan kariernya tak pernah dinodai perilaku busuk dan sarat intrik. Dia tak pernah terindikasi melakukan korupsi. Dia juga sangat peduli terhadap nasib rakyatnya. Selama menjadi pejabat teras di Hastinapura, rakyat hidup dalam suasana yang penuh kedamaian, toleran, dan sangat menghargai perbedaan. Seluruh rakyat merasa terlindungi. Tak ada ledakan “bom elpiji”, teror, konflik berbau SARA, atau konfik di daerah perbatasan. Juga tak ada Ormas yang suka mengumbar arogansi dengan menenteng pedang dan pentungan di ruang-ruang publik. Semua persoalan bisa diselesaikan dengan penuh kearifan tanpa meninggalkan sikap tegas dan wibawa.
Dewi Kunti mengembangkan senyumnya. Diam-diam, dia mengagumi lelaki yang dinyatakan lolos fit and proper test itu. Tak ada pilihan lain baginya, kecuali menerimanya dengan penuh ketulusan dan kebesaran hati. Demikian juga ayah angkatnya, Kuntibhoja. Berkali-kali, lelaki tua itu melemparkan senyum kebahagiaan ke wajah anak angkatnya, Dewi Kunti.
Maka, tibalah hari pernikahan itu. Dewi Kunti dan Pandu duduk di atas pelaminan dengan penuh kemegahan dan pesta. Berbagai stasiun TV menayangkan moment itu secara langsung. Rakyat dari berbagai penjuru menahbiskannya sebagai pesta pernikahan terbesar abad ini. Meski demikian, Dewi Kunti tak sanggup menepis kegundahan hatinya. Tiba-tiba, dia ingat Bathara Surya, sosok lelaki misterius yang pernah menjalin hubungan gelap dengannya. Dia juga ingat nasib anaknya, Karna, yang kini entah berada di mana.
Kuntibhoja juga tak sanggup menekan kegelisahan yang terus mengusik ketenangan batinnya. Di tengah ratusan tamu yang mengucapkan selamat kepadanya, pikirannya menerawang. Usai pernikahan itu, rumahnya yang besar dan megah akan kembali sepi. Kerinduannya akan celoteh bocah mustahil bisa terwujud, sebab Pandu akan memboyong putri angkat semata wayangnya itu ke Hastinapura. (Tancep kayon). ***
My brother recommended I might like this web site.
He was totally right. This post actually made my day. You cann’t imagine
simply how much time I had spent for this info! Thanks!
meski saya orang jawa, saya dengan wayang itu biasa-biasa aja, bahkan cenderung nggak tertarik. tapi membaca cerita ini kok kayaknya menarik ya..
Benar juga
kata pak ali
.,
Aku setuju dengan pendapatnya..
sepakat dengan pendapatnya mz ali..
di film-kan tambah bagus itu,,,