OSI: Upaya Mengokohkan Basis Pendidikan Karakter

Kategori Sastra Oleh

OSI
Leaflet OSI.
OSI
Dr. Mudjito AK, M.Si
(Direktur Pembinaan TK SD)
dan Drs. Husaini Wardi, M.Pd.
Kasubdit Program.
OSI
Maman S. Mahayana, Suminto A. Sayuti,
dan Dendy Sugono.
OSI
Zaim Uchrowi.
OSI
Helvy Tiana Rosa dan Intan Savitri.
Rabu, 18 Agustus 2010, Direktorat Pembinaan TK/SD Dirjen Mandikdasmen Kemendiknas kembali menggelar Rapat Koordinasi (Rakor) Olimpiade Sastra Indonesia (OSI) untuk Siswa SD/MI tingkat nasional tahun 2010. Rakor kali ini khusus membahas persiapan seleksi naskah olimpiade yang masuk yang rencananya akan berlangsung 23-25 Agustus 2010 di Jakarta. Selain dihadiri oleh para pejabat Direktorat Pembinaan TK/SD, Rakor juga dihadiri sejumlah “begawan” Bahasa dan Sastra Indonesia, antara lain Dendy Sugono (mantan Kepala Pusat Bahasa yang kini menjadi peneliti ahli Pusat Bahasa), Suminto A. Sayuti (guru besar Sastra Universitas Negeri Yogyakarta), dan Maman S. Mahayana (Dekan Fakultas Ilmu Budaya UI yang kini bermukim di Korea Selatan). Selain itu, juga hadir Zaim Uchrowi dan Intan Savitri dari Penerbit Balai Pustaka. Sementara, Taufik Ismail dan Helvy Tiana Rosa yang juga diundang batal hadir lantaran kesibukan yang tak bisa mereka tinggalkan.

Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) agaknya benar-benar serius dalam upaya mengokohkan basis pendidikan karakter. Olimpiade Sastra Indonesia (OSI) bisa dibilang sebagai salah satu terobosan visioner untuk mengokohkan dan menguatkan basis pendidikan yang ditengarai kini tengah berada di titik nazir peradaban itu. Tanpa bermaksud latah untuk mengikuti jejak Olimpiade Matematika dan Sains yang lebih dahulu lahir, OSI memang perlu digelar sebelum pendidikan karakter di negeri ini benar-benar hancur. Melalui olimpiade semacam ini diharapkan sejak dini para siswa terpacu untuk melakukan olahrasa, penalaran, dan kreativitas, sehingga kelak mampu menjadi generasi pemikir yang berbudi pekerti baik dan kreatif dalam membangun peradaban Indonesia.

Secara khusus, OSI bertujuan untuk: (1) menumbuhkan kepedulian siswa pada lingkungan di sekitarnya, sehingga segala tingkah laku dan perbuatannya selalu mempertimbangkan keharmonisan dalam menjaga lingkungan masyarakat, alam, dan tata kehidupan secara keseluruhan; (2) menciptakan generasi yang kreatif, toleran terhadap perbedaan dan keberagaman, dan membangun tradisi membaca sebagai bagian dari aktivitas sehari-hari; (3) memberi motivasi kepada siswa untuk meningkatkan budaya baca dan budaya tulis sejak dini. Melalui event semacam ini, kelak para siswa diharapkan mampu mengembangkan kemampuan otak kiri (logika) dan otak kanan (emosi) secara seimbang, sehingga mampu melihat setiap fenomena hidup dan kehidupan secara utuh dan multidimensi.

Mungkin lantaran baru pertama kali digelar dan kurangya sosialisasi/publikasi agenda, OSI 2010 belum diikuti oleh semua daerah di Indonesia. Dari 33 provinsi yang ada, tak ada 50%-nya yang mengirimkan naskah OSI kepada panitia. Meski demikian, para peserta Rakor yang hadir memberikan apresiasi tinggi terhadap digelarnya agenda ini. Hal yang wajar terjadi apabila OSI I masih sepi peminat. Menurut penuturan Prof. Suminto, lomba menulis cerpen dan mengulas karya sastra yang kini dibanjiri ribuan guru SLTA dari berbagai daerah, juga mengalami nasib serupa. Namun, toh akhirnya memberikan hasil yang “manis” juga. Mudah-mudahan OSI 2010 akan memberikan efek “bola salju” yang akan terus menggelinding dari tahun ke tahun hingga akhirnya menjadi aktivitas rutin tahunan yang mendapatkan perhatian banyak kalangan.

Upaya Kemendiknas untuk mengokohkan basis pendidikan karakter agaknya tak hanya sebatas OSI. Jika tak ada aral melintang, usai seleksi naskah juga akan dilanjutkan dengan workshop dan merancang agenda Cerdas Cermat Bahasa dan Sastra Indonesia (CCBSI). Melalui CCBSI, siswa diharapkan akan memiliki kemampuan mengapresiasi, berkreasi, dan berekspresi, sehingga mereka makin peka terhadap nilai-nilai keluhuran akal-budi yang penting peranannya dalam upaya membangun karakter dan kepribadian yang kuat.

Semoga upaya mulia itu benar-benar mampu mengokohkan basis pendidikan karakter yang selama ini nyaris tak pernah diberi sentuhan perhatian yang cukup akibat kebijakan penguasa yang cenderung abai terhadap upaya pengembangan nilai-nilai seni, budaya, dan kemanusiaan. ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

43 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Sastra

Membalas Cerita Ombak

MEMBALAS CERITA OMBAK Ali Syamsudin Arsi Kata-kata ombak: ( 1 ) “Ya
Go to Top