Saya merasakan gebyar Agustus-an tahun ini tenggelam di balik kesyahduan Ramadhan. Hampir tak ada grengseng Agustus-an yang meruyak di ruang-ruang publik. Spanduk, slogan, atau papan reklame (nyaris) tak bersentuhan dengan HUT ke-65 kemerdekaan RI itu. Semoga ini bukan pertanda kalau nilai-nilai nasionalisme telah luntur di negeri ini. Toh, spirit kepahlawanan dan nilai patriotisme tak semata-mata diukur dari banyaknya umbul-umbul, slogan, atau spanduk yang bertaburan di tepi-tepi jalan atau gapura masuk kampung. Juga tak sebatas disimbolikkan dengan berbagai seruan dan retorika seperti yel-yel politisi yang sedang berada di atas mimbar kampanye.
Nilai nasionalisme atau patriotisme lebih tepat diukur dengan hati. Tidak kasat mata, tetapi bisa dirasakan getarannya. Seorang lelaki keriput yang tinggal di sebuah pelosok dusun, tetapi rela berjuang bertahun-tahun mencari sumber air demi menghidupi orang-orang di sekitarnya yang selalu menjerit dan tersekap dalam derita kekeringan berkepanjangan dari masa ke masa, bisa jadi lebih kuat nilai kecintaannya terhadap negara ketimbang seorang politisi yang gencar berkoar tentang nasionalisme, tetapi selalu mangkir bersidang. (doh) Meski si lelaki keriput tak bisa menafsirkan apa makna nasionalisme yang sesungguhnya, dalam kacamata kaum nasionalis sejati, potret nasionalisme-nya bisa jadi lebih gagah ketimbang mereka yang fasih bersilat lidah dan mengumbar retorika politik di atas podium atau forum-forum seminar, tetapi tak pernah memiliki sikap responsif terhadap nasib kaum dhuafa yang terus didera kepahitan dan derita hidup.
Maka, saya pun tak terusik ketika tradisi “Jalan Sehat”, berbagai jenis lomba, panjat pinang, karnaval, atau berbagai event Agustus-an yang biasanya rutin digelar, tahun ini (nyaris) tenggelam dalam kesyahduan Umat Islam menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Toh seandainya gebyar lahiriah semacam itu terpaksa digelar, tak seorang pun yang bisa menjamin kalau nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme yang acapkali didengung-dengungkan itu dengan sendirinya bakal menyatu secara emosional ke dalam hati dan nurani bangsa.
Bahkan, bukan tidak mungkin malah bisa menjadi penghambat ke-khusyu’-an para pelaku ibadah puasa yang notabene tengah berusaha menemukan nilai kesejatian diri di tengah merajalelanya gaya hidup konsumtif, materialistik, dan hedonis. Kita juga mesti merelakan berlalunya moment tirakatan atau seremonial mengenang romantisme para pejuang kemerdekaan, meski tak harus melupakan jasa-jasa besar mereka yang telah membebaskan negeri ini dari cengkeraman kaum kolonial.
Nah, Dirgahayu Bangsaku, semoga pada HUT ke-65 kemerdekaan ini tetap memiliki spirit untuk melanjutkan perjuangan reformasi gelombang kedua guna mewujudkan kehidupan berbangsa yang makin sejahtera, demokratis, dan berkeadilan. Merdeka! ***
Keterangan:
Banner dikutip dari www.indonesia.go.id
waduh komen saya gak muncul… Kesimpulannya : setuju…
Jangan memaknai nasionalisme hanya dengan lomba dan karnaval, harusnya lebih dari itu
Buat Sdr. purwanto: iya, sempat ditelan akismet sbg spam, mas pur, tapi dah saya bebaskan, kok, hehe …
tulisan yang sangat menarik sekaligus menghentak hati kita. SEBERAPA Nasionialisme Kita ?
terkadang kita terjebak pada nasionalisme lahiriah dari pada nasionalisme yang hakiki, terkadang pula orang lebih menyanjung orang yang terlihat patriotik daripada orang yang menyimpan dan menjadikan patriotisme sebagai penggerak motivasi setiap karyanya.
jadi mari kita bekerja untuk Indonesia, karena bekerja untuk indonesia adalah juga bagian dari ibadah.. Dirgahayu Republik Ku..
Buat Sdr. purwanto: amiin, semoga kita tidak lagi hanya berteriak 1/2 merdeka, mas pur. btw, komentar blog mas pur memang sengaja ditutup, yak? saya selalu kesulitan ketika mau komen, hiks. (thinking)
(banana_rock) yang penting semanagt dulu g pernah hilang..
samapai 17 agustus 2010
setuju, mas, hehe …. (applause) tetap semangat.
Kalau begini, memang jadi bingung pak mengaturnya, semoga para panitia panitia diberi kesabaran ya
Buat Sdr. riFFrizz: hehe …. mas rifky ikutan jadi panitia agustus-an jugakah? (worship)
Merdeka pak ….. ! Merdeka dari setan setan yang terkutuk pada bulan Puasa ini.
Buat Sdr. rochman: amiiin, merdeka juga, pak jai, hehe …. (applause)