
Oleh: Sawali Tuhusetya
Bertahun-tahun lamanya, dunia pendidikan kita terpasung di atas tungku kekuasaan rezim Orde Baru yang serba represif dan otoriter. Pendidikan tidak diarahkan untuk “memanusiakan manusia” secara utuh dan paripurna, tetapi lebih diorientasikan untuk mempertahankan kepentingan kekuasaan semata. Dengan dalih mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa, nilai-nilai akhlak, budi perkerti, dan kemanusiaan terabaikan. Pendidikan karakter yang notabene bisa dioptimalkan sebagai media yang strategis untuk mengembangkan, menyuburkan, dan mengakarkan nilai-nilai keluhuran budi dan kemanusiaan justru dikebiri dan disingkirkan melalui proses pendidikan yang serba indoktrinatif dan instruksional. Selama mengikuti proses pendidikan, anak-anak bangsa di negeri ini hanya sekadar menjadi objek dan “tong sampah” ilmu pengetahuan yang serba pendiam dan penurut. Mereka kehilangan daya kreatif dan sikap kritis, sehingga gagal memahami dan memiliki sikap empati terhadap persoalan-persoalan kebangsaan.
Akibat pasungan atmosfer dunia pendidikan yang serba indoktrinatif dan instruksional, para keluaran pendidikan memang menjadi sosok yang cerdas, tetapi bebal nuraninya; hipokrit dan mau menang sendiri. Nilai-nilai moral, budaya, dan keluhuran budi yang seharusnya mengakar dan membumi dalam ranah pendidikan kita, disadari atau tidak, telah terbonsai dan tenggelam dalam hiruk-pikuk peradaban yang cenderung “menghamba” pada kekuatan konsumtivisme, materialisme, dan hedonisme. “Proses” penghambaan pada nilai-nilai pragmatis yang secara diametral kurang sinergis dengan nilai-nilai luhur baku telah melahirkan generasi masa depan yang mengalami “split personality”; sebuah kepribadian terbelah yang menggambarkan situasi ambivalen dan gamang dalam menentukan perilaku dan pranata hidup yang sesuai dengan kesejatian dirinya. Anak-anak yang tengah gencar memburu ilmu di bangku pendidikan masih memiliki keyakinan terhadap keagungan dan kemuliaan nilai-nilai budaya, moral, dan budi pekerti, tetapi keyakinan mereka tidak diperkukuh oleh situasi sosial yang sehat dan kondusif.
Anak-anak memiliki keyakinan bahwa kekerasan bukanlah cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah seperti apa yang mereka dapatkan di bangku persekolahan. Namun, kenyataan sosial menunjukkan secara riil bahwa kekerasan telah menjadi budaya “massal” dan masif sebagaimana yang mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari, baik yang mereka alami sendiri maupun yang mereka saksikan melalui tayangan TV. Jika kondisi “split personality” semacam itu tidak segera teratasi, maka anak-anak masa depan negeri ini cenderung akan memilih jalan praktis yang bisa dijadikan sebagai modus untuk menyalurkan naluri agresivitas mereka. Tak ayal lagi, kekerasan pun benar-benar akan menjadi budaya baru di kalangan remaja-pelajar kita setiap kali dihadapkan pada situasi krusial dan masalah yang rumit sekaligus kompleks. Budaya “kekerasan” baru yang mereka bangun akan terus terekam dalam memori dan kepribadian mereka dan akan terbawa hingga kelak mereka dewasa.
Sungguh, situasi yang kurang kondusif seperti itu jelas akan berdampak pada desain peradaban bangsa jangka panjang. Budaya kekerasan, korupsi, manipulasi, vandalisme, dan berbagai bentuk perilaku anomali sosial lainnya cenderung akan menjadi “wabah” yang membadai dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, harus ada upaya serius untuk memutus mata rantai budaya kekerasan dan perilaku anomali sosial lainnya agar tidak terus-menerus mewaris dari generasi ke generasi. Dalam konteks demikian, sungguh tepat apabila dunia pendidikan yang diyakini sebagai “kawah candradimuka” peradaban didesain ulang agar pendidikan karakter benar-benar menjadi “entry point” yang akan membawa peradaban bangsa menjadi lebih terhormat, bermartabat, dan berbudaya.
***
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengembangkan, menyuburkan, dan mengakarkan pendidikan karakter adalah mengoptimalkan pembelajaran apresiasi sastra di sekolah. Melalui pembelajaran apresiasi sastra yang optimal, siswa didik akan dibawa pada situasi pembelajaran yang memungkinkan mereka untuk menafsirkan, menilai, menemukan, dan mengkonstruksi materi ajar yang mereka terima sesuai dengan pengalaman belajar yang mereka temukan. Siswa didik tidak diperlakukan sebagai objek dan “tong sampah” ilmu pengetahuan yang hanya menerima suapan mentah dan kering dari sang guru, tetapi benar-benar otonom dan mandiri sebagai subjek didik yang memiliki kebebasan dalam bercurah pikir, berpendapat, berprakarsa, dan berinisiatif, sehingga talenta dan potensi mereka tidak terkebiri dan termarginalkan.
Salah satu materi pembelajaran apresiasi sastra yang penting dan strategis untuk menumbuhkembangkan pendidikan karakter adalah puisi. Melalui pembelajaran apresiasi puisi yang optimal, siswa didik secara tidak langsung akan mendapatkan nutrisi dan gizi batin yang akan mampu memberikan imbas positif terhadap perkembangan kepribadian dan karakter mereka. Dengan puisi, hati dan perasaan anak-anak akan terlibat secara intens dan emosional ke dalam teks puisi yang mereka pelajari, sehingga kepekaan nurani mereka menjadi lebih tersentuh dan terasah. Dengan cara demikian, tanpa melalui pola instruksional dan indoktrinasi yang monoton dan membosankan, anak-anak secara tidak langsung akan belajar mengenal, memahami, dan menghayati berbagai macam nilai kehidupan, untuk selanjutnya mereka aplikasikan dalam ranah kehidupan nyata sehari-hari.
Persoalannya sekarang, langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan oleh seorang guru agar benar-benar mampu menjadikan pembelajaran apresiasi puisi sebagai media untuk membangun karakter siswa didik? Nah, pertanyaan menarik ini akan terjawab oleh buku karya Maria Utami ini. Meski belum bisa dibilang sebagai buku lengkap untuk dijadikan sebagai acuan pembelajaran apresiasi puisi, tetapi Maria Utami dengan langkah nyata telah mendedahkan dan sekaligus “membuka jalan” pengembangan pendidikan karakter yang bisa dilakukan oleh seorang guru.
***
Dalam pandangan Maria Utami, setidaknya ada 10 karakter yang bisa dikembangkan melalui pembelajaran apresiasi puisi, di antaranya : (1) cinta Tuhan, (2) bertanggung jawab, mempunyai amanah, berdisiplinan, dan mandiri, (3) bersikap jujur, (4) bersikap hormat dan santun, (5) mempunyai rasa kasih sayang dan peduli; (6) percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah, (7) mempunyai rasa keadilan dan sikap kepemimpinan, dan mampu kerja sama (8) baik, rendah hati, dan mengampuni, (9) mempunyai toleransi dan cinta damai; dan (10) integritas dan konsistensi. Pandangan ini cukup menarik dan kontekstual jika dikaitkan dengan situasi kekinian yang dinilai menunjukkan adanya kecenderungan perilaku anomali sosial yang menghinggapi kaum remaja-pelajar kita yang makin abai terhadap nilai-nilai luhur baku. Dengan kata lain, Maria Utami ingin menunjukkan bahwa sudah saatnya proses “pembusukan” budaya dan pembonsaian karakter siswa segera diakhiri dengan cara mengintensifkan pengembangan 10 karakter siswa melalui pembelajaran apresiasi puisi yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Untuk mewujudkan proses pembelajaran apresiasi puisi yang kondusif, Maria Utami berpendapat bahwa pemilihan bahan ajar menjadi faktor yang penting dan mutlak untuk diperhatikan oleh guru. Tidak semua puisi cocok digunakan sebagai bahan ajar di sekolah. Guru perlu memperhatikan aspek kejiwaan, latar belakang budaya, dan tingkat kebahasaan siswa, sehingga siswa bisa terlibat secara intens dan emosional ke dalam teks puisi. Berkaitan dengan hal ini, Maria Utami memberikan beberapa contoh puisi yang cocok bagi siswa untuk dijadikan sebagai bahan ajar.
Tentu saja, Maria Utami tak hanya berhenti sampai di situ. Dengan merujuk berbagai teori pembelajaran dan sastra, dia berupaya meyakinkan pembaca bahwa puisi memang tepat dijadikan sebagai bahan ajar untuk menumbuhkembangkan pendidikan karakter dalam dunia persekolahan kita. Yang menarik, Maria Utami juga memberikan beberapa contoh puisi yang tepat dipilih sebagai bahan ajar untuk membangun pendidikan berbasis karakter, khususnya di tingkat SMP. Setidaknya ada 15 puisi yang telah dianalisis berdasarkan unsur intrinsik dan ekstrinsik-nya, sehingga bisa dijadikan sebagai acuan bagi rekan-rekan sejawat guru dalam memilih puisi yang tepat sebagai bahan ajar bagi siswa didiknya.
Yang pasti, kehadiran buku ini bisa memberikan nilai tambah bagi dunia pendidikan, khususnya berkaitan dengan upaya penyemaian pendidikan karakter yang belakangan ini tengah menjadi wacana yang terus dan akan terus bergulir ketika budaya kekerasan di negeri ini dinilai makin merebak dan merajalela di kalangan remaja-pelajar kita. Rekan-rekan sejawat guru Bahasa Indonesia SMP yang masih digelisahkan oleh masalah pemilihan bahan ajar puisi dalam upaya menyemaikan pendidikan karakter di sekolah bisa memanfaatkan buku ini sebagai “pembuka jalan” sekaligus rujukan untuk membangun proses pembelajaran apresiasi sastra yang jauh lebih aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. ***
Keterangan:
Tulisan ini merupakan pengantar buku berjudul “Memilih Puisi, Membangun Karakter” karya Maria Utami, guru SMP Negeri 5 Ambarawa, Kab. Semarang, Jawa Tengah.
Saya tertarik dengan buku tersebut. Bagaimana cara mendapatkannya? terima kasih