Temu Sastrawan Jawa Tengah 2010 dan Balsem Gosok

Kategori Esai/Sastra Oleh

Sabtu, 19 Juni 2010, Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) menggelar sebuah perhelatan bertajuk “Temu Sastrawan Jawa Tengah 2010” di Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT), Puri Maerakaca, Tawangsari, Semarang. Sesuai dengan namanya, pertemuan ini menghadirkan para sastrawan dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Dalam tulisannya di Suara Merdeka, Mas Mukti Sutarman SP (penyair dari Kudus yang sekaligus sebagai penggagas acara) mengungkapkan, agenda ini berawal dari kegelisahan terhadap “mandul”-nya provinsi ini dalam melahirkan sosok sastrawan yang hebat dan bertalenta. Sastrawan yang muncul dari media “mainstraim” tak lepas dari nama-nama semacam Triyanto Triwikromo dan Prasetyo Utomo (cerpen) atau Dorothea Rosa Herliani, Timur Suprabana, Gunoto Saparie, Beno Siang Pamungkas, Sosiawan Leak, dan Heru Emka (puisi).

Padahal, masih menurut Mas Mukti –demikian saya biasa menyapanya– beberapa belas tahun lalu Jawa Tengah pernah memiliki banyak cerpenis dan penyair. Misalnya cerpenis Atas Danu Subroto (Purworejo), Yudiono KS, Pamuji MS, dan Handry TM (Semarang), Yeye Haryo Guritno (Tegal), Sawali Tuhusetyo (Kendal), MM Bhoernomo, dan Jimat Kalimosodo (Kudus). Lalu penyair Soekoso DM (Puworejo), Dharmadi (Purwokerto), Roso Titie Sarkoro (Temanggung), Lanang Setiawan (Tegal), Fauzi Robani (Pemalang), Ghufron Hasyim (Pekalongan), Maghfur Saan (Batang), Eko Tunas, Untung Surendro, Agus Dhewa (Semarang), Yudhi MS (Kudus), Sunardi KS (Jepara), atau Anis Saleh Baasyin (Pati).

“Kegelisahan” semacam itulah yang menjadi spirit Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) untuk menggelar Temu Sastrawan Jawa Tengah 2010. Acara diisi dengan semiloka kepenulisan. Tercatat empat bidang penulisan yang disemilokakan, yakni penulisan cerita pendek (Triyanto Triwikromo dan S. Prasetyo Utomo), puisi (Gunoto Sapari dan Mukti Sutarman SP), skenario sinetron dan film (Najib Kertapati Zuhri dan Handry TM), serta penulisan kritik sastra (Prof. Rustono dan Prof. Setyo Yuwono Sudikan). Melalui agenda semacam itu, panitia berharap, di kemudian hari akan lahir sejumlah cerpenis, penyair, penulis skenario, dan kritikus sastra yang berkemauan keras. Dengan demikian, dari waktu ke waktu, Jawa Tengah tidak semata punya cerpenis bernama Triyanto Triwikromo dan Prasetyo Utomo. Dari provinsi ini diharapkan muncul Dorothea-Dorothea atau Timur-Timur baru.

Ya, ya, harapan Mas Mukti mungkin tidak berlebihan. Dalam acara yang juga dihadiri Ketua Umum DKJT, Prof. Ir. Eko Budihardjo, M.Sc. (mantan rektor UNDIP) dan Bambang Sadono SY (mantan Ketua Keluarga Penulis Semarang dan mantan calon gubernur Jateng) itu setidaknya bisa menciptakan atmosfer penciptaan yang bisa merangsang para pengarang untuk kembali menekuni dunianya. Yang mengharukan, Pak Darmanto Jatman, sang penyair multibahasa pun menyempatkan diri hadir meski harus dipapah lantaran dalam kondisi sakit (kita doakan semoga Pak Darmanto Jatman bisa segera sembuh dan sehat kembali). Kehadiran Pak Darmanto Jatman, jelas memiliki makna tersendiri sebagai upaya merekatkan “balung pisah” kesastrawanan Jawa Tengah yang selama ini dinilai sedang “tiarap”.

Meski demikian, kesastraan Jawa Tengah tidak bisa berharap secara berlebihan terhadap agenda semacam ini. Ibarat balsem gosok, Temu Sastrawan Jawa Tengah hanyalah sekadar perangsang untuk memacu sinyal “syaraf kesadaran” dalam dunia kepengarangan bahwa sudah saatnya para pengarang Jawa Tengah kembali menemukan dunianya. Selain itu, juga menjadi ajang kangen-kangenan untuk mengenang “romantisme” masa silam, saling gesek dan saling gosok, hingga akhirnya muncul kesadaran secara personal untuk menggeliatkan kreativitas berkesenian.

Selebihnya, eksistensi berkesenian dan berkesusastraan akan sangat ditentukan bagaimana sang pengarang mengerahkan daya kreasi, membangun kultur literasi, atau kesanggupan memasuki dunia penciptaan secara serius dan intens di tengah tantangan zaman yang kian rumit dan kompleks. ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

114 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Esai

Go to Top