Mengawali debutnya di Piala Dunia 2010 yang berlangsung di Afrika Selatan, Korea Selatan (Korsel) menorehkan hasil yang manis. Tim kesebelasan negeri Ginseng itu sukses menaklukkan Tim Yunani 2-0. Tim Korsel benar-benar tampil kesetanan dan ngedapi-edapi. Secara tim, mereka tampil seperti angin puyuh yang bisa memorak-porandakan dan menghancurkan nyali lawan-lawannya. Sepanjang pertandingan, semua pemain bergerak disiplin dengan rotasi permainan yang dinamis. Jika Korsel tampil konsisten seperti ketika menghadapi Yunani, kehadiran mereka akan makin diperhitungkan. Bukan tidak mungkin, kesebelasan yang sering dijuluki The Taeguk Warrior atau Taegeuk Jeons itu bakal mengulang sukses prestasi 2002 ketika sukses masuk ke semifinal saat dipoles pelatih asal Belanda, Guus Hiddink.
Jepang pun tak mau ketinggalan. Meski dilihat dari sisi prestasi masih kalah “pamor” dibandingkan Korsel, negeri Matahari Terbit itu juga mampu membuahkan prestasi cemerlang. Mereka sukses menggulung Kamerun meski hanya dengan skor tipis 1-0. Dalam pandangan awam saya, Korsel atau juga Jepang, bisa dibilang sebagai kesebelasan yang mewakili semangat Asia. Secara fisik, etnis Asia yang rata-rata bertubuh sedang justru bisa tampil seperti Wisanggeni dalam pakeliran wayang yang mampu memorak-porandakan Kahyangan. Penampilan tim-tim Asia di Piala Dunia 2010 ini juga dipastikan akan membawa keberuntungan buat para pemain bintangnya. Kaum kapitalis Eropa yang memiliki klub-klub besar bisa jadi tak segan-segan merogoh koceknya untuk mengontrak pemain-pemain Asia yang “berkelas”. Mereka bisa menampilkan “roh” sepak bola sekelas tim-tim dari Eropa atau Amerika Latin yang selama ini “ditahbiskan” sebagai kiblat sepak bola dunia. Penampilan selama 2 x 45 menit tampak benar-benar konsisten; tidak menampakkan kelelahan; tetap disiplin sepanjang pertandingan; semangat pun tak pernah kendur.
Lantas, bagaimana dengan tim kesayangan kita, PSSI?
Secara jujur mesti diakui, PSSI kita tengah mengalami “lesu darah”. Lihat saja prestasinya sepanjang 2009! Dalam dua laga SEA Games terakhir, Indonesia terhenti di babak penyisihan. Pada SEA Games XXV/2009 di Laos, Tim Merah Putih ditaklukkan Laos, 0-2. Untuk kali pertama dalam 14 tahun terakhir, timnas Indonesia harus gigit jari untuk tampil di Piala Asia. Dalam peringkat FIFA terbaru per 3 Februari 2009, posisi Indonesia terjungkal dari peringkat ke-120 (Desember 2009) menjadi peringkat ke-136, jauh di bawah negara-negara Asia Tenggara lain, seperti Singapura (peringkat ke-120), Vietnam (ke-116), dan Thailand (ke-98). Sebuah peringkat paling buruk yang mesti diterima oleh negara berpenduduk hampir 130 juta jiwa ini.
Ada apa gerangan dengan PSSI? Masak iya sih mencari 11 anak bertalenta dan berbakat hebat untuk selanjutnya digembleng dan diasah khusus agar mampu menjadi pemain bola masa depan yang andal tidak bisa dilakukan? Haruskah setiap empat tahun sekali kita mesti hanya sekadar menjadi penonton dengan melekatkan fanatisme semu yang seringkali hanya menguras energi? Lihatlah ketika siaran Piala Dunia berlangsung! Tak sedikit para penggila bola yang mesti merelakan diri berpayah-payah begadang untuk memberikan support kepada tim idola yang sejatinya tak memiliki ikatan apa pun?
Entah, tiba-tiba saja kita seperti ditarik ke dalam ruang sensasi publik untuk memiliki keterlibatan emosional dengan tim kesebelasan dari negeri lain yang sama sekali tidak kita kenal. Kita seperti mendapatkan perekat naluri semata untuk mengidolakan mereka. Tim-tim yang berlaga di Piala Dunia seperti mampu menyalurkan dan mengekspresikan naluri kita untuk bermain bola di atas lapangan hijau. Sejauh ini, pemain-pemain hebat dari negeri yang tidak kita kenal itulah yang sanggup melakukannya, hingga tanpa sadar kita pun mesti ikut-ikutan berteriak histeris ketika sang idola berhasil melesakkan bola ke mulut gawang. Dan itu tidak kita temukan ke dalam tubuh pemain PSSI.
Walhasil, jadilah Piala Dunia menjadi bagian dari budaya massa yang melibatkan banyak sensasi. Alangkah tidak sia-sianya kita begadang untuk menyaksikan aksi para pemain bintang Piala Dunia seandainya yang tampil di atas perhelatan akbar itu adalah pemain PSSI yang notabene “sedarah” dengan kita. Entah kapan sensasi publik di Piala Dunia itu bisa diciptakan oleh pemain-pemain kesayangan kita!
Ayo, dong, Pak Menteri! Ogrok-ogrok terus para pengurus PSSI yang selama ini terkesan tiarap, tidak kreatif, bahkan konon menjadikan organisasi hanya menjadi tempat pertarungan kepentingan dan ambisi pribadi. Terlalu berat PR yang harus dikerjakan para pengurus. Kalau diurus oleh orang-orang yang menjadikan PSSI sebagai tempat untuk “hidup” dan bukan untuk “menghidupkan” PSSI, sampai kiamat pun PSSI tak akan pernah sanggup menggeliat dan bangkit dari kubangan lumpur keterpurukan. Benahi dan segarkan PSSI. Jika perlu, pecat pengurus yang tidak bisa mengurus bola. Para pemain butuh suntikan “darah segar” agar permainan mereka memiliki roh.
Sungguh menyedihkan kalau menyaksikan pemain-pemain kita menjadi bulan-bulanan pemain lawan. Gampang frustrasi, kehabisan semangat, tidak memiliki elan vital, dan gampang kelelahan. Pada 1 x 45 menit yang terakhir, kita seperti menyaksikan anak-anak SD yang tengah bermain bola di lapangan pinggir kampung! Kalau Korea Selatan dan Jepang bisa mewakili semangat Asia, kenapa Indonesia yang memiliki potensi jumlah penduduk yang jauh lebih besar tak sanggup melakukannya? ***
semangat anak muda bangsa indonesia harus selalu berkobar dan tidak mengenal menyerah,,,
PSSI maju terus jangan menyerah