
Oleh: Sawali Tuhusetya
Sabtu, 16 Januari 2010, GOR Bahurekso Kendal, menjadi saksi pementasan Kyai Kanjeng. Kelompok musik “plural” yang dikomandani Cak Nun –sapaan akrab Emha Ainun Najib– dari Ngayogyakarta Hadiningrat itu diundang khusus oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kab. Kendal dalam rangka mengantarkan “Doa untuk Gus Dur dan Refleksi Muharram 1431 H”. Di tengah suasana dingin akibat guyuran hujan, pengajian akbar yang dihadiri Bupati Kendal, Hj. Siti Nurmarkesi, pejabat Pemda, ulama dan kyai NU setempat, serta ratusan pengunjung dari berbagai kalangan itu, seperti hendak menghadirkan kembali sosok almarhum Gus Dur yang semasa hidupnya gencar menyuarakan nilai-nilai pluralisme, demokrasi, dan humanisme.
Sebelum Cak Nun dan Kyai Kanjeng tampil di atas panggung, digelar acara seremonial yang dimulai pukul 20.30 WIB, yakni pembacaan ummul Kitab, pembacaan ayat suci Al-Quran, tahlil dan doa untuk Gus Dur, sambutan Ketua GP Ansor, Ketua Tanfidiyah NU Kab. Kendal, dan sambutan Bupati Kendal. Pengunjung pun seperti tak sabar untuk segera menyaksikan Cak Nun dan Kyai Kanjeng di atas panggung. Maka, suara aplaus pun menggema begitu Cak Nun yang tampil berkopiah dan berbusana serba putih itu tampil di atas panggung.
DOA UNTUK GUS DUR DAN REFLEKSI MUHARAM
Menjelang Acara
Doa Bersama untuk Gus Dur
Bupati Kendal, Hj. Siti Nurmarkesi
Cak Nun mengusung nilai “pluralisme”
Cak Nun berinteraksi dengan pengunjung
Suasana selama pentas berlangsung
Bukan Cak Nun kalau tak tampil “nyleneh”. Dengan gaya enteng, dia tampil melalui sentilan-sentilan kritiknya yang cerdas, tajam, dan menusuk. Pada bagian awal, misalnya, tanpa basa-basi, Cak Nun meminta kesepakatan dengan para pengunjung, akan diakhiri jam berapa acara tersebut? Secara spontan, para pengunjung menjawab “pukul 03.00”. Cak Nun dengan gaya slengekan menimpali, “Itu pengaruh syahwat”. Loh, kok? “Tak beda jauh dengan para pejabat kita. Betapa banyaknya tokoh di negeri ini yang semata-mata ingin jadi pejabat karena pengaruh syahwat. Sulit ditemui tokoh yang mau sekali menjabat dengan pengabdian terbaik buat bangsa dan negara, untuk selanjutnya ingin total mengurus keluarga yang juga butuh perhatian. Demikian juga Sampeyan. Pinginnya sampai jam 03.00, tapi bener kuat, ndak?” lanjutnya disambung aplaus penonton bersambung-sambungan.
Penyair “Lautan Jilbab” itu juga mengingatkan betapa kompleksnya persoalan yang dihadapi negeri ini, mulai persoalan politik, demokrasi, hukum, hingga kerukunan antarumat. Namun, kita tidak perlu ikut-ikutan karena semua sudah ada yang mengurus. Dengan bahasa Jawa yang “medhok”, dia pun berpesan untuk melanjutkan perjuangan dan cita-cita Gus Dur yang hingga kini belum juga bisa terwujud.
“Gus Dur, jika suatu ketika dinobatkan jadi pahlawan nasional, dia akan menjadi pemecah rekor. Belum ada ceritanya, mulai kakek, bapak, hingga anak sama-sama mendapatkan predikat sebagai pahlawan nasional”, kata Cak Nun dengan mimik serius. Selanjutnya, Cak Nun tak lupa menceritakan tentang asal-usul Gus Dur, mulai kiprah kakeknya, almaghfurlah K.H. Hasyim Asy’ari dan ayahnya, almaghfurlah K.H. Wahid Hasyim, yang sama-sama dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Gus Dur pun layak mendapatkannya, meski Gus Dur sendiri mungkin tak pernah berharap untuk mendapatkannya.
Cak Nun yang didampingi isterinya, Novia Kolopaking, dan 15 awak Kyai Kanjeng lainnya, memang tampil atraktif. Dia sengaja mengusung musik bergaya “pluralis” yang lengkap. Musik-musik instrumennya jelas menampakkan gabungan antara musik tradisi dan modern hingga menghasilkan perpaduan irama yang rancak; bisa garang, sekaligus bisa lembut mendayu-dayu. Setidak-tidaknya, ada tujuh lagu yang diusung di atas panggung di sela-sela refleksi Muharam yang disampaikannya, seperti “Alif”, “I Be Ce”, “Shalawat”, “Thayibbah”, “Nusantara” (mengusung lagu-lagu ethnik berirama khas Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Jawa), “Tamba Ati” (dengan berbagai versi bahasa), hingga lagu penutup.
Di sela-sela refleksi itu, Cak Nun tak lupa menyampaikan pesan untuk menjaga kebersamaan dengan sesama muslim, khususnya NU-Muhammadiyah, yang selama ini terkesan “kurang akur”. Pada kesempatan itu, Cak Nun juga sempat mendaulat Tafsir, M.Ag., sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Tengah, untuk tampil ke atas panggung.
Dengan guyonan-guyonannya yang tak kalah kocak, Tafsir mengibaratkan hubungan antara Muhammadiyah dan NU melalui simbol yang digunakan. “Muhammadiyah dan NU itu ibarat Matahari dan Bumi yang sama-sama membutuhkan. Matahari tak akan pernah bisa berfungsi jika tak ada bumi. Sebaliknya, bumi juga membutuhkan matahari untuk melangsungkan kehidupannya,” katanya sambil tersenyum. Dia tak lupa menceritakan ayahnya yang berasal dari keluarga besar NU, dan sering ditanya para kyai NU ketika sedang kumpul-kumpul.
“Anakmu kae ya sih Islam?” tanya seorang kyai. (“Anakmu itu juga masih Islam?”)
“Isih, ora ketang muhammadiyah, hehe …”, jawab ayahnya. (Masih, meski hanya Muhammadiyah, hehe …”).
Ungkapan “ora ketang” (meski hanya) menunjukkan betapa hubungan NU-Muhammadiyah selama ini memang masih perlu terus dibangun secara harmonis. Pernyataan-pernyataan Tafsir perlu dimaknai sebagai upaya untuk bisa mencairkan kebekuan hubungan kedua organisasi Islam terbesar di negeri ini yang selama ini terkesan kurang harmonis akibat perbedaan budaya dan “ritual” dalam menjalankan ibadah.
Merespon pernyataan-pernyataan Tafsir, Cak Nun menimpalinya dalam perspektif yang lebih luas, terutama berkaitan dengan banyaknya agama yang terjadi di negeri ini. Tak ada untungnya saling mengklaim diri sebagai umat terbaik, karena hal ini berurusan dengan masalah keyakinan.
Ya, ya, ya, Cak Nun bersama Kyai Kanjeng-nya, malam itu setidaknya telah menunjukkan kiprahnya dalam mengusung panggung “pluralisme” yang memiliki pesan kuat untuk saling menghargai perbedaan. Musik yang diusungnya telah tampil di berbagai negara dan Cak Nun terus bersemangat untuk mengalirkan semangat “pluralisme” itu melalui musik “kolaborasi” yang diusungnya di atas pentas.
Ketika jam menunjukkan pukul 00.45 WIB, acara pun usai. Saya tak tahu persis, apa yang ada di kepala setiap pengunjung begitu usai menyaksikan panggung “pluralisme” Kyai Kanjeng itu. Yang saya ingat, cuaca dingin makin menusuk begitu keluar dari GOR Bahurekso akibat guyuran hujan.
***
Baru tahu kalau ada liputan ini. Saya sering ikut Maiyahan Pak. Di Jogja setiap tanggal 17. Memahami pluralitas dalam konteks banyaknya komunitas yang tak memahami, bahkan menolak pluralisme…. 🙂
salam kenal dan salam persahabatan.. :)
Bhinneka tunggal ika!!
salam bhineka tunggal ika juga, mas eric.
halah, ada2 ja dah