Gerakan Apolitis Kaum Muda Negeri Kelelawar

Kategori Negeri Kelelawar Oleh

(Kisah ini merupakan bagian ke-11 dari serial “Negeri Kelelawar”. Yang belum sempat membaca, silakan nikmati dulu kisah Menagih Janji Politisi di Negeri Kelelawar (1), Ontran-ontran di Negeri Kelelawar (2), Situasi Chaos di Negeri Kelelawar Makin Parah (3), Angin Reformasi Berhembus Juga di Negeri Kelelawar (4), Menyiasati Kecamuk Separatisme di Negeri Kelelawar (5), Kekuasaan Negeri Kelelawar dalam Kepungan Ambisi Petualang Politik (6), Isu Dekrit Presiden di Negeri Kelelawar (7), Premanisme Merajalela di Negeri Kelelawar (8), Geger Ujian Nasional di Negeri Kelelawar (9), dan Terang Bulan Tak Ada Lagi di Negeri Kelelawar (10)). ***

Budaya

Oleh: Sawali Tuhusetya

Suasana heroik menyelimuti negeri Kelelawar. Lagu-lagu wajib yang menggema di seantero negeri seperti hendak menggetarkan pintu langit. Ingatan kolektif mereka jatuh pada momen puluhan tahun yang silam ketika beberapa kaum muda dengan amat visioner menggelorakan ikrar “ke-kelelawar-an” tentang tanah air, bangsa, dan bahasa. Ruh dan semangat itu terus bertiup tiap tahun. Namun, kini terasa, geloranya makin meredup pamornya.

negeri kelelawarGerusan nilai-nilai global, disadari atau tidak, telah membuat anak-anak bangsa kelelawar terbelah kepribadiannya. Kaki kanan sudah bergeser menuju peradaban modern dan mondial, sementara kaki yang satunya lagi belum juga beranjak dari kubangan nilai-nilai tradisi. Situasi seperti itu tak jarang menimbulkan sikap gamang dan ragu kaum muda negeri Kelelawar dalam menentukan sikap. Hal itu diperparah dengan munculnya gejala krisis keteladanan dari para elite dan pemimpin mereka.

Dunia pendidikan di negeri Kelelawar juga makin sempoyongan memanggul beban. Nilai-nilai luhur baku yang diajarkan di bangku pendidikan seringkali bertentangan dengan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ketika guru bilang bahwa korupsi itu tindakan hina dan tak beradab, justru para murid melihat kenyataan betapa banyaknya kaum elite di negeri kelelawar yang menjadikan aksi korupsi sebagai budaya. Entah, sudah berapa gelintir pejabat yang jadi buron aparat akibat tersandung masalah korupsi. Ketika guru ngomong bahwa aksi kekerasan itu termasuk tindakan pelanggaran Hak Asasi Kelelawar, justru para murid melihat kenyataan betapa banyaknya masalah-masalah sepele di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang diselesaikan melalui kekerasan. Entah, sudah berapa kelelawar yang harus jadi korban aksi kekerasan akibat sentimen dan fanatisme kesukuan, agama, ras, atau golongan.

Yang menyedihkan, perjalanan demokrasi di negeri Kelelawar dinilai juga sarat dengan tindakan anomali yang menihilkan kearifan dan fatsoen politik. Kaum elite politik negeri Kelelawar dinilai sudah kehilangan sikap elegan dan kstaria dalam berpolitik. Bahkan, konon mereka sangat gemar menempuh terobosan lewat jalan kelinci dengan menggunakan jurus ilmu permalingan yang menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan. Sikut kanan sikut kiri, sembah ke atas, injak ke bawah, menjadi budaya baru yang dipraktikkan di atas panggung politik. Motif utama bermain di atas panggung politik bukan untuk mencapai kemaslahatan dan kesejahteraan publik, melainkan sekadar memanjakan naluri purba demi memenuhi ambisi pribadi, kelompok, dan golongan. Mereka yang berduwit, meski dengan cara hutang sana hutang sini, rela menghambur-hamburkan isi koceknya demi membangun ambisi politik, mempermalukan, jika perlu “membunuh” rival politik. Menjelang Pemilu legislatif, taruhan dan judi politik gencar digelar di berbagai sudut kota dan desa. Famlet dan spanduk warna-warni dengan balutan foto politisi yang narsis dan jumawa terpampang di tepi-tepi jalan raya.

Ketika kampanye, para calon wakil rakyat negeri Kelelawar saling berlomba pidato dengan mulut berbusa-busa sambil tak henti-hentinya mengumbar janji-janji perubahan di atas mimbar. Mereka sangat gemar disanjung dan dipuji, hingga akhirnya kehilangan kontrol diri dan gampang sekali terninabobokan teriakan dan yel-yel memanjakan dari para pengikutnya. Namun, nasib mereka tak jauh berbeda dengan gedebog pisang yang nglumpruk dan tak berdaya ketika gagal terpilih sebagai wakil rakyat. Bahkan, tak jarang politisi gagal yang stress dan kena depresi akibat memikirkan hutang yang menumpuk.

Situasi dan atmosfer politik yang sarat anomali, membuat kaum muda negeri Kelelawar mulai menunjukkan kecenderungan sikap apolitik. Banyaknya kaum muda yang memilih golput ketika Pemilu legislatif berlangsung dinilai sebagai salah satu bukti kecenderungan itu. Hal itu diperkuat dengan hasil poling sebuah media cetak yang sebagian besar responden menyatakan alergi politik.

Gejala alergi politik makin menghinggapi kaum muda negeri Kelelawar tatkala daftar wakil rakyat yang tersandung persoalan hukum makin panjang. Tak sedikit wakil rakyat yang gagal membendung nafsu kemaruk terhadap harta dan perempuan, hingga akhirnya mereka harus berurusan dengan pengadilan. Kemudahan membangun lobi dan persekongkolan agaknya telah membuat sebagian wakil rakyat tenggelam dalam arus hedonisme dan budaya glamor. Ibarat lakon “Petruk Dadi Ratu”, mereka silau terhadap gebyar duniawi, sehingga gampang ditelikung oleh nafsu dan ambisinya sendiri.

Tindakan konyol yang dilakukan oleh para politisi negeri Kelelawar, disadari atau tidak, telah ikut memberikan andil yang cukup besar terhadap redupnya pamor kecintaan kaum muda terhadap tanah air, bangsa, dan bahasanya sendiri. Ikrar “Sumpah Kaum Muda” yang dulu menjadi sumber kekuatan dan semangat dalam membangun masa depan dinilai telah kehilangan maknanya. Ikon-ikon kebangsaan yang mengikat nilai-nilai kebhinekaan dinilai juga sudah mulai longgar. Yang muncul kemudian adalah semangat primordialisme sempit yang terekspresikan melalui aksi-aksi vandalisme berbasis kesukuan, agama, ras, dan antargolongan. Kalau situasinya sudah telanjur chaos seperti ini, siapakah yang mesti bertanggung jawab? ***

Tags:

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

143 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Negeri Kelelawar

Go to Top