Virtual Host Berbasis Open Source untuk Pembelajaran Interaktif dan Mencerdaskan

Kategori Blog/Pendidikan Oleh
Blog

Oleh: Sawali Tuhusetya

Selama dua hari (Sabtu dan Minggu, 17-18 Oktober 2009), saya mengikuti pelatihan “Pembelajaran Internet Berbasis Open Source Tanpa Internet” di SMA Muhammadiyah Weleri, Kendal, yang menghadirkan Mas Reza Ervani dari Rumah Ilmu Indonesia sebagai instruktur. Sekitar 15 peserta –sebagian besar guru Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK) SMA/SMK– tampak antusias mengikuti kegiatan yang berlangsung di SMA Muhammadiyah Weleri yang juga dihadiri oleh Mas Agus Muhajir, sang pencetus Sisfokol berbasis Open Source, dan diikuti oleh Pak Sigid Haryadi dan Pak Setyo Purnomo itu.

SSSSSSSSSSSesungguhnya, apa yang menarik dari pelatihan semacam ini? Bagi pengguna baru software open source seperti saya, pelatihan semacam ini jelas memberikan kesan tersendiri setelah sekian lama “dimanjakan” oleh penggunaan perangkat lunak yang “siap pakai”. Saya seperti berada dalam sebuah rumah hunian dengan karakter penghuninya yang sama-sama memiliki keinginan kuat untuk terbebas dan merdeka dari cengkeraman perangkat lunak bajakan. Banyak persoalan yang terlontar dan didiskusikan secara akrab, meski belum semuanya bisa terjawab dengan tuntas; mulai proses instalasi, update perangkat lunak (secara offline), hingga membuat virtual-host untuk kepentingan pembelajaran.

Dari sekian persoalan yang terlontar, agaknya pembuatan virtual host berbasis open source yang paling banyak menyita perhatian. Hal ini memang tidak berlebihan. Kenyataan menunjukkan, kendala utama yang dihadapi para guru dalam memanfaatkan internet untuk kepentingan pembelajaran adalah terbatasnya koneksi dan akses internet. Akibatnya, pembelajaran di sekolah gagal menciptakan atmosfer yang menarik dan memikat bagi siswa didik. Dengan membuat virtual host, bisa jadi beban kegelisahan guru dalam menciptakan suasana pembelajaran yang interaktif dan mencerdaskan bisa dikurangi. Maka, sangat beralasan ketika rekan sejawat dari Kuningan, Jawa Barat, Ungaran (Semarang), dan Surakarta pun memerlukan hadir untuk mengikuti kegiatan ini.

Namun, lantaran terbatasnya waktu, pembuatan virtual host belum bisa tuntas diselesaikan dalam pelatihan. Meski demikian, dalam pandangan awam saya, secara garis besar –mohon diluruskan kalau ada yang salah– virtual host bisa saya ibaratkan seperti rumah besar dalam sebuah perkampungan. Rumah besar inilah yang akan menjadi server untuk mengendalikan jaringan dan interaksi dengan beberapa penghuni rumah di sekelilingnya. Tentu saja, agar bisa diakses dan dihubungi, rumah besar alias virtual host tersebut harus memiliki alamat alias domain offline, sehingga bisa diakses dengan mudah oleh para penghuni rumah yang ada di sekitarnya.

Keberadaan sebuah virtual host jelas tak akan banyak maknanya apabila tidak didukung oleh content yang bagus dan menarik. Oleh karena itu, dibutuhkan engine open source yang bisa digunakan untuk mengatur dan mendesain letak content agar memudahkan siswa didik dalam mengakses isinya. Ada beberapa engine yang bisa digunakan secara offline, misalnya wordpress, joomla, atau moodle.

Saya membayangkan, seandainya setiap institusi pendidikan memiliki jaringan virtual host, bisa jadi setiap penghuninya mampu melakukan interaksi secara optimal sehingga pengetahuan mereka akan bisa terus ter-update dan ter-upgrade setiap saat dan setiap kesempatan. Mereka bisa melakukan dialog dan interaksi secara intens sehingga bisa menghilangkan kebuntuan komunikasi yang kerap kali terjadi dalam dunia persekolahan. Ini artinya, virtual host tak hanya bermanfaat untuk kepentingan pembelajaran, tetapi juga untuk kepentingan segenap konponen pendidikan yang bernaung di bawah satuan pendidikan yang bersangkutan.

Memang bukan hal yang mudah untuk bisa memanfaatkan virtual host bagi kepentingan pembelajaran di sekolah, apalagi menggunakan software open source sebagai basisnya. Selain komitmen, dibutuhkan keseriusan segenap komponen pendidikan untuk mewujudkan idealisme semacam ini. Sudah saatnya dunia pendidikan negeri ini melakukan perubahan mind-set pembelajaran dari situasi konvensional menuju situasi inovatif dengan memanfaatkan kemajuan teknologi dunia virtual untuk melahirkan gerenasi masa depan yang cerdas, kreatif, dan luhur budi.

Saya masih sangat berharap bisa mengikuti pelatihan “Pembelajaran Internet Tanpa Internet” jilid II, meski dengan basis keterampilan TIK pas-pasan. Hal ini juga termasuk bagian dari “mimpi-mimpi” saya untuk mengakrabkan generasi masa depan ini pada software open source yang sarat dengan tantangan-tantangan kreatif. Sebuah paduan pembelajaran yang harmonis dan sinergis apabila nilai-nilai humaniora dan kultural bisa disemaikan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi dunia virtual berbasis open source. Akankah mimpi-mimpi itu bisa terwujud? ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

140 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Blog

Setelah 9 Tahun Ngeblog

Juli 2007 merupakan saat pertama saya belajar ngeblog (=mengeblog). Sering berganti-ganti engine,

Enam Purnama Tanpa Jejak

Sudah enam purnama, saya tidak meninggalkan jejak di blog ini. Sejatinya, enam
Go to Top