Selasa, 29 September 2009, keluarga kami mendapatkan kesempatan untuk menjadi tuan rumah halal bihalal Keluarga Besar SMP 2 Pegandon. Acara berlangsung dengan sangat sederhana, tetapi cukup meriah. Anak-anak yang tergabung dalam kelompok rebana “Al-Mustaghfirin” yang baru berlatih sekitar dua minggu berkesempatan juga untuk menunjukkan kemampuannya di atas panggung.
Halal bihalal di SMP 2 Pegandon memang merupakan acara yang rutin digelar setiap tahun pada bulan Syawal. Tujuan utamanya adalah untuk saling bermaafan dan menjalin silaturahmi hingga bisa mewujudkan suasana lingkungan pendidikan yang harmonis, akrab, dan penuh sentuhan nilai kekeluargaan. Alhamdulillah, ada sekitar 160-an keluarga besar sekolah yang berkenan hadir, meskipun ada beberapa keluarga yang tidak sempat datang karena ada acara yang tak bisa ditinggalkan.
Acara yang berlangsung sekitar tiga jam ini diawali dengan pentas rebana “Al-Mustaghfirin” (mulai pukul 09.30 WIB). Ada sekitar 5 lagu religi pembuka yang disuguhkan kepada tamu undangan. Meski belum bisa tampil “sempurna”, tetapi mengingat proses latihan yang teramat singkat dengan dukungan peralatan perkusi seadanya, penampilan anak-anak bisa dibilang tidak terlalu mengecewakan.
Tepat pukul 10.00 WIB, acara pun dimulai dengan susunan acara: (1) pembukaan; (2) pembacaan ayat suci al-Quran; (3) sambutan tuan rumah; (4) sambutan ketua komite sekolah; (5) sambutan kepala sekolah; (6) selingan rebana; (7) hikmah halal bihalal; (8) istirahat; (9) mushafahah (bersalam-salaman); dan penutup.
Seperti itulah rangkaian acara halal bihalal keluarga besar SMP 2 Pegandon yang berlangsung dengan amat sederhana di gubug kami. Ada canda, tawa, atau suara tangis anak-anak. Semua tamu undangan yang hadir menyatu dalam momen yang sarat dengan sentuhan nilai keakraban dan kekeluargaan; sirna rasa dendam atau kebencian. Kesalahan dan dosa yang menumpuk selama satu tahun pun seperti berguguran ketika menyatukan tangan dalam sentuhan yang penuh keharuan. Semuanya saling memaafkan dengan ketulusan hati yang (nyaris) sempurna. Tepat pukul 12.30 WIB acara pun berakhir.
Lantas, apa hubungan acara halal bihalal ini dengan bela negara? Ya, ya, ya, sekilas bisa jadi tak ada kaitannya sama sekali. Namun, jika kita sejenak melakukan refleksi, momen halal bihalal sesungguhnya bisa dibilang sebagai fondasi moral bangsa ini pada setiap peradaban.
Seperti kita ketahui, dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini terus mengalami pasang surut. Kita amat prihatin dengan meruyaknya aksi kekerasan yang sempat menjadi drama tragis di atas panggung sosial-politik di negeri ini. Nilai-nilai primordialisme sempit berbasis SARA, disadari atau tidak, sempat berada di titik kulminasi kehidupan hingga mengancam integritas dan kedaulatan bangsa. Banyak persoalan internal kebangsaan yang tiba-tiba mencuat secara bersamaan hingga membuat bangsa kita terpuruk dalam krisis multidimensi berkepanjangan.
Dalam pandangan awam saya, kompleksnya persoalan internal kebangsaan hingga bangsa kita masuk dalam perangkap krisis multidimensi berkepanjangan lantaran secara kolektif kita abai untuk membangun nilai silaturahmi secara simultan dan berkesinambungan. Tak ada dialog budaya lintas-suku, lintas-kelompok, lintas-golongan, dan lintas lintas-agama, hingga persoalan-persoalan sepele gagal dituntaskan. Bibit-bibit konflik yang tidak tertuntaskan itu, pelan tapi pasti, membentuk akumulasi konflik hingga akhirnya memfosil dalam sebuah mata rantai konflik yang kian rumit dan kompleks.
Kalau persoalan-persoalan internal kebangsaan saja gagal dituntaskan, bagaimana bangsa ini mampu menghadapi persoalan-persoalan eksternal yang tak kalah rumit dan kompleks?
Kita ingat, konflik di daerah perbatasan yang melibatkan negeri tetangga ibarat api dalam sekam yang suatu saat bisa menimbulkan percikan api yang membakar keutuhan dan integritas negara. Sejarah juga telah membuktikan, ada beberapa pulau milik bangsa kita yang gagal dipertahankan akibat kegagalan menuntaskan persoalan-persoalan internal kebangsaan. Semangat bela negara pun dinilai sudah mulai tergerus akibat hilangnya sikap apresiatif terhadap warna kebhinekaan yang tergencet oleh menguatnya nilai-nilai primordialisme sempit itu.
Dalam konteks demikian, perlu ada upaya revitalisasi dan merajut kembali nilai silaturahmi yang sempat terkoyak. Segenap anak bangsa perlu kembali ke “khittah” kebhinekaan sebagai bagian jati diri bangsa yang mustahil terelakkan. Silaturahmi budaya, dengan demikian, akan mengikis menguatnya nilai-nilai primordialisme sempit yang selama ini menjadi hambatan besar negeri ini dalam menuntaskan berbagai persoalan yang mencuat ke permukaan. Dengan kata lain, semangat bela negara, sebagai bagian dari “roh” perjuangan dalam menegakkan eksistensi dan integritas negara, perlu terus ditumbuhkembangkan sesuai dengan semangat zamannya melalui silaturahmi dan dialog budaya antarkelompok, suku, dan agama. Nah! ***
Tulisan ini diikutsertakan untuk memeriahkan “Bukan Contest: Brain storming-Bela Negara” yang diselenggarakan oleh Pakdhe Cholik.
sangat menarik artikel nya pak..:)