Monopoli Microsoft harus diakui telah mencengkeram ranah teknologi dan informasi (TI). Perusahaan yang didirikan oleh Bill Gates tahun 1975 itu agaknya telah memberikan pengaruh dahsyat dan menggurita dalam penggunaan komputer di berbagai belahan dunia. Demikian kuat pengaruh Microsoft dalam dunia TI, sampai-sampai orang mengindentikkan komputer dengan windows.
Namun, seiring dengan perkembangan peradaban, kehadiran Microsoft dianggap sebagai “penjajah” yang tak pernah berhenti mengibarkan bendera kaum kapitalis dengan memproduksi software berharga mahal. Coba tengok saja daftar harga software microsoft asli di www.pvidia.com yang dipromosikan dengan harga murah dan bersaing! Untuk Windows Vista Ultimate SP1, misalnya, harganya masih mencapai US$211. Belum lagi jika kita memerlukan software operasional yang lain. Kita mesti merogoh kocek lebih dalam.
Dampak Sosial
Dalam konteks Indonesia, mahalnya harga software asli Microsoft, dalam pandangan awam saya, telah melahirkan dampak sosial yang begitu luas dan kompleks. Pertama, mereka yang berduwit cenderung sekadar menjadi konsumen siap pakai yang tak pernah memiliki greget kreativitas untuk mengembangkan software yang sesuai dengan tuntutan dan dinamika zaman. Kondisi semacam ini, disadari atau tidak, telah membuat bangsa kita “tiarap” dalam soal TI. Kita cukup puas menjadi bangsa pengguna, tanpa memiliki “kemauan baik” untuk menjadi bangsa unggulan dalam soal TI, meski kesempatan untuk itu sangat terbuka lebar.
Kedua, mereka yang tak sanggup membeli software asli Microsoft cenderung menggunakan software-software bajakan yang dengan mudah bisa ditemukan di berbagai tempat. Inilah kenyataan sosial yang tak terbantahkan. Berdasarkan catatan APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2008 mencapai sekitar 10 juta orang. Sekarang, angka itu pasti sudah jauh merangkak. Belum lagi para pengguna komputer untuk keperluan sehari-hari, baik untuk kepentingan institusi maupun pribadi. Jika mau jujur, jumlah pengguna software microsoft bajakan jauh lebih banyak ketimbang pengguna software Microsoft asli. Tak berlebihan kalau ada yang mengatakan bahwa bangsa kita dikenal sebagai “bangsa pembajak” yang minim apresiasinya terhadap hak cipta.
Stigma sebagai “bangsa pembajak” jelas bisa menjadi “aib” buat bangsa kita yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang santun dan beradab. Dari sisi ini, perlu ada upaya serius untuk menghapuskan stigma semacam itu. Memang, selama ini pemerintah sudah mengampanyekan penggunaan software legal, khususnya kepada perusahaan. Namun, kampanye semacam itu akan menjadi sia-sia jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang berpihak kepada para pengguna software. Tidak sedikit perusahaan yang masih mengeluhkan mahalnya harga software microsoft sehingga terpaksa harus menggunakan produk-produk bajakan.
Ketika menerima kunjungan Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (Timnas PPHKI), sebagaimana dilansir www.teknologi.vivanews.com, Direktur PT Asuransi Jaya Proteksi, Andy Wijaya, misalnya, juga mengeluhkan mahalnya software asli yang beredar di pasaran. “Seharusnya ada perspektif bisnis di sini. Kalau harga software murah, pasti banyak yang akan membeli,” ujar Wijaya ketika berdialog dengan Timnas PPHKI dan Business Software Alliance, sekitar bulan Maret 2009 yang lalu. Apalagi, dari sisi kualitas dan fungsionalitas, lanjut Wijaya, tak ada bedanya antara software asli dan software bajakan. Oleh karenanya, kendala yang dirasakan oleh perusahaan kecil dan menengah, menurut Wijaya adalah harga yang terlalu mahal.
Ini artinya, selama software berharga murah tidak mampu disediakan oleh pemerintah melalui kebijakan regulasi yang berpihak kepada pengguna komputer, aksi pembajakan software orisinal sulit dihindarkan. Razia yang dilakukan pemerintah pun tidak akan menguntungkan buat rakyat, bahkan bisa menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri.
Membumikan Software Open Source
Berkaitan dengan penggunaan software komputer yang makin berkembang pesat, terobosan penggunaan software open source bisa menjadi langkah bijak yang layak ditempuh untuk memerdekakan negeri ini dari “penjajahan” kaum kapitalis di bidang software. Terobosan semacam ini bisa menjadi langkah jitu dan visioner dalam upaya mewujudkan mimpi Indonesia masa depan terhadap penggunaan software bebas pakai.
Setidaknya, ada dua manfaat besar yang bisa diperoleh bangsa kita jika setiap pengguna komputer memanfaatkan software open source. Pertama, software open source yang bersifat terbuka dan bebas untuk dikembangkan akan merangsang bangsa ini menjadi lebih cerdas dan kreatif dalam mengakrabi dunia TI. Ini artinya, penggunaan software open source akan memiliki sumbangsih yang sangat besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, bangsa kita bisa menjadi pioner pengembangan perangkat lunak berbasis open source yang akan sangat diperhitungkan dalam kancah global.
Kedua, membangun kemandirian bangsa di bidang TI. Diakui atau tidak, bertahun-tahun lamanya bangsa kita hidup dalam ketergantungan terhadap bangsa lain di ranah TI. Imbasnya, bangsa kita belum bisa sepenuhnya hidup merdeka dan berdaulat dalam penggunaan piranti TI karena harus selalu berkiblat dan menjadi penganut “mazab-microsoftiyah” ber-genre bajakan. Jika penggunaan software open source terus dibumikan, anak-anak bangsa negeri ini akan tercerahkan mind-set-nya dalam pengembangan TI sehingga bangsa kita bisa lebih mandiri, bermartabat, dan berdaulat.
Tiga Agenda
Persoalannya sekarang, agenda apa saja yang perlu dilakukan agar mimpi penggunaan software open source bisa terwujud?
Memang bukan hal yang mudah untuk mengubah mind-set masyarakat kita yang telanjur terninabobokan oleh perangkat lunak bajakan. Meskipun demikian, apabila ada agenda serius untuk terus-menerus membumikan penggunaan perangkat lunak bebas pakai, bukan hal yang mustahil apabila generasi masa depan negeri ini akan terus tertantang kreativitasnya untuk mengembangkan perangkat lunak berbasis open source. Dengan kata lain, perlu ada gerakan nasional yang jelas dan visioner agar masyarakat pengguna perangkat lunak mencintai produk-produk open source.
Paling tidak, ada tiga agenda yang perlu segera digarap dalam upaya membumikan penggunaan software open source.
Pertama, perlu ada gerakan keteladanan masif secara top-down. Pemerintah sebagai pemegang kendali kebijakan perlu memberikan keteladanan dalam menggunakan software open source. Setiap kali menyampaikan sosialisasi dan internalisasi program dan kebijakan kepada publik, pemerintah perlu menggunakan perangkat komputer dengan software berbasis open source. Jika langkah ini diikuti oleh aparat di bawahnya secara simultan dan berkelanjutan, rakyat di lapisan bawah secara tidak langsung akan berupaya mengakrabi dan bersahabat dengan software open source. Bukankah ini sebuah tindakan efektif yang benar-benar akan memberikan citraan positif kepada masyarakat luas?
Kedua, memasukkan materi software berbasis open source ke dalam kurikulum pendidikan. Sejak diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), jenjang pendidikan dasar dan menengah sudah memasukan Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK) sebagai mata pelajaran ke dalam kurikulum. Namun, sepanjang pengamatan saya, materi TIK yang diadopsi ke dalam buku teks masih sangat “microsoft-minded”. Ilustrasi dan materi dalam buku ajar masih sangat kuat dipengaruhi oleh perangkat lunak yang diproduksi oleh Bill Gates itu. Akibatnya, keluaran pendidikan kita lebih mengenal microsoft windows ketimbang open source. Untuk membumikan penggunaan software open source melalui dunia pendidikan, perlu ada upaya serius untuk memberdayakan guru yang berdiri di garda depan dalam dunia pendidikan. Mereka perlu terus digembleng dan diubah mind-set-nya melalui berbagai workshop dan pelatihan sehingga benar-benar akrab dan bersahabat dengan software open source. Jika guru benar-benar menguasai sekaligus mampu mengembangkan software open source secara kreatif, jelas akan memberikan sumbangsih yang sangat besar dalam upaya melahirkan generasi masa depan yang cerdas dan kreatif dalam menggunakan software berbasis open source.
Ketiga, merangkul para pengembang software open source untuk melakukan asistensi dan pelatihan di berbagai institusi. Fakta menunjukkan bahwa selama ini (hampir) semua institusi di berbagai lapis dan lini birokrasi sudah menggunakan perangkat komputer dalam membuat, mengolah, dan menyimpan berbagai data untuk kepentingan institusi yang bersangkutan. Jika para operatornya terus dilatih dan dibimbing secara intensif oleh pengembang software open source yang benar-benar andal dan mumpuni, mimpi untuk mewujudkan Indonesia masa depan yang akrab dengan software open source, saya kira bukan hal yang mustahil untuk bisa diwujudkan.
Pelaksanaan ketiga agenda tersebut jelas membutuhkan sinergi dan kerja keras semua pihak. Pemerintah, institusi pendidikan, perusahaan, organisasi, pengembang software open source, dan segenap komponen bangsa yang lain perlu membangun kesadaran kolektif untuk mewujudkan mimpi Indonesia masa depan yang akrab dengan penggunaan software open source yang terbuka dan bebas dikembangkan sesuai dengan tuntutan dan dinamika zaman. Dengan cara demikian, bangsa kita akan sanggup menghapus stigma sebagai “bangsa pembajak”, bahkan akan mampu berdaulat dan mandiri sepenuhnya dalam menggunakan perangkat lunak di bidang TI, sehingga tidak lagi terninabobokan dan terus bergantung pada software komputer berharga mahal.
Sudah saatnya negeri ini berubah. Jangan biarkan bangsa kita yang besar, merdeka, dan berdaulat penuh ini terus-terusan menjadi ladang kaum kapitalis dalam mengembangkan “imperium kekuasaan”-nya di bidang TI. Mari, kita hancurkan stigma “bangsa pembajak” dan kita buka mind-set kita untuk menggunakan dan mengembangkan software open source yang lebih mencerahkan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kalau tidak kita mulai dari sekarang, lalu kapan? ***
Tulisan ini dibuat untuk menyukseskan Lomba Blog Open Source P2I-LIPI dan Seminar Open Source P2I-LIPI 2009.
lama gak ke blognya pak Sawali 🙂
sehat pak?
Semoga selalu sukses Blog Open Source ….
Cayo 🙂