Teror Bom dan Kebangkrutan Nurani

Kategori Opini Oleh

teror bomJakarta kembali berdarah-darah. Untuk ke sekian kalinya, ibukota negara yang menjadi magnet segala geliat dan dinamika kehidupan itu diguncang teror bom. Jumat pagi, 17 Juli 2009, sekitar pukul 07.45 dan 07.48 WIB, dua bom meledak di dua tempat yang berbeda pada saat yang hampir bersamaan, yaitu Hotel JW Marriott di kawasan Mega Kuningan dan Hotel Ritz Carlton di kawasan SBCD. Akibatnya jatuh puluhan korban luka dan beberapa korban tewas, sebagiannya adalah warga asing.

Sungguh, ini sebuah tragedi kemanusiaan yang layak dikutuk oleh para pendamba kedamaian hidup. Apa pun motif dan dalihnya, cara-cara keji semacam ini jelas tak bisa diterima. Kita tak bisa membayangkan duka mendalam dari keluarga korban. Tak hanya lepasnya nyawa dari raga, tetapi juga potongan tubuh tanpa kepala, sepasang kaki yang tak jelas lagi di mana rimbanya, atau bahkan mungkin juga identitas korban yang tak lagi bisa dikenali. Korban luka-luka juga tak hanya menderita secara fisik, tetapi secara psikis juga bisa mengalami trauma berkepanjangan.

Dalam pandangan awam saya, pelaku teror bom ini tak ubahnya sosok manusia yang telah mengalami kebangkrutan nurani sehingga tega berbuat biadab dan menjadi predator bagi sesamanya. Mereka telah kehilangan akal sehat dan tak tahu harus berbuat apa dalam memanjakan naluri agresivitasnya, kecuali dengan berbuat keonaran dan menciptakan situasi publik yang tak menentu.

Disadari atau tidak, meruyaknya kembali teror bom di negeri ini bisa menghancurkan citra dan mitos lama sebagai bangsa yang santun dan beradab. Terlepas siapa pun pelakunya, Indonesia dengan mudah akan mendapatkan stigma sebagai sarang teroris. Kelambanan kolektif bangsa kita dalam menyiasati situasi agaknya dengan mudah dimanfaatkan oleh para teroris untuk membuat situasi chaos dan menciptakan metamorfosis kecemasan.

Jika situasi chaos dan sarat kecemasan semacam ini tidak bisa segera teratasi bukan tidak mungkin bangsa kita akan makin tenggelam dalam kubangan krisis multidemensi. Dampak yang sudah pasti akan muncul adalah makin berkurangnya devisa negara dari sektor pariwisata akibat kebijakan “travel warning” yang diserukan oleh negara-negara asing. Para investor juga merasa tidak nyaman menggelontorkan sejumlah dana ke negeri kita, sehingga akan berdampak sangat buruk terhadap lalu lintas perekonomian. Belum lagi dampak merosotnya tingkat kepercayaan dunia luar terhadap keamanan dan kenyamanan berada di Indonesia.

Kita sangat berharap, naluri aparat keamanan dalam mencium bau teror bom makin peka, sehingga bisa melakukan deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya aksi-aksi biadab semacam itu. Kita juga perlu terus memberikan dorongan dan semangat kepada aparat keamanan untuk memburu para pelaku teror bom agar mempertanggungjawabkan semua aksi kejinya itu.

Namun, agaknya tidak cukup menyerahkan semua persoalan yang rumit dan kompleks ini kepada aparat keamanan semata. Dibutuhkan kesadaran kolektif semua komponen dan elemen masyarakat untuk menjadikan gerakan teror bom dan sejenisnya sebagai “musuh bersama”. Dengan cara semacam ini, ruang gerak kaum teroris kian menyempit hingga akhirnya mereka tak punya kekuatan untuk menjalankan skenario dan aksi-aksi brutalnya.

Semoga aksi teror bom ini tak ada kaitannya dengan persoalan politik pasca-pilpres seperti yang santer berhembus di media itu. ***

Tags:

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

84 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Opini

Go to Top