Refleksi Akhir Tahun Pelajaran

Kategori Pendidikan Oleh

sertifikasi
BSEUNJika tak ada aral melintang, 13 Juli nanti merupakan hari pertama masuk sekolah. Selalu saja ada romantisme baru yang bersemayam dalam gendang nurani kita setiap kali memasuki tahun pelajaran baru. Harapan baru, semangat baru, seragam baru, dan atribut-atribut yang serba baru lainnya tak jarang mewarnai langkah-langkah yang penuh optimisme menyambut sebuah perubahan. Meski demikian, tak ada salahnya kita melakukan flash-back sekadar untuk melakukan refleksi agar langkah-langkah yang penuh optimisme dalam menyambut perubahan itu makin terarah dan visioner.

“Historia magistra vitae”, sejarah adalah guru kehidupan, begitulah kata para bijak bestari. Sebuah perubahan tak akan pernah bisa melupakan sejarah masa silam. Ia bisa menjadi cermin untuk melakukan evaluasi hingga berhasil ditemukan langkah-langkah cerdas guna menyusun langkah-langkah strategis dan mencerahkan.

Ya, ya, ya, kalau kita mau jujur, pendidikan di negeri ini belum seutuhnya menjadi “panglima” dalam membangun sebuah peradaban yang terhormat dan bermartabat. Pendidikan selalu digembar-gemborkan sebagai investasi sumber daya masa depan; ia juga dielu-elukan sebagai “kawah candradimuka” untuk menggembleng anak-anak bangsa masa depan yang cerdas, terampil, dan bermoral. Namun, realitas yang terjadi, justru sebaliknya. Tak sedikit suprastruktur pendidikan yang “salah urus” hingga membuat dinamika dunia pendidikan kita mengalami stagnasi.

Menurut pemahaman awam saya, setidaknya ada empat kebijakan publik yang justru membuat dunia pendidikan kita makin tidak visioner, yakni UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), sertifikasi guru, program Buku Sekolah Elektronik (BSE), dan Ujian Nasional (UN).

Pertama, UU BHP. Seperti yang pernah saya tulis di sini bahwa UU BHP dinilai akan makin mempersempit gerak anak-anak dari kalangan tak mampu untuk mengenyam bangku pendidikan karena seluruh peserta didik harus menanggung biaya sebesar satu per tiga dari seluruh biaya operasional dalam pendidikan menengah atau pendidikan tinggi. Ketika dunia pendidikan sudah dicemari oleh kepentingan-kepentingan komersil, maka yang terjadi kemudian adalah proses pengebirian talenta dan potensi peserta didik. Bagaimana mungkin tidak terkebiri kalau anak-anak dari kalangan keluarga tak mampu yang sebenarnya memiliki otak cemerlang, akhirnya harus tersingkir dari bangku pendidikan yang diincarnya? Dampak paling berbahaya yang ditimbulkan oleh praktik komersialisasi pendidikan adalah tumbuh suburnya budaya korupsi, kolusi, dan manipulasi (KKN). Ibarat dalam dunia bisnis, setiap rupiah yang dikeluarkan harus menghasilkan keuntungan sehingga kelak ketika menjadi pejabat atau pengambil kebijakan, mereka dikhawatirkan akan menggunakan cara-cara licik dan korup untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama menuntut ilmu.

Kedua, sertifikasi guru. Tujuan program ini sesungguhnya cukup ideal, yakni untuk melahirkan guru profesional yang memiliki kompetensi pedagogis, profesional, sosial, dan kepribadian. Guru yang dinyatakan lulus uji sertifikasi akan mendapatkan sertifikat pendidik dan akan menerima tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok. Dengan tingkat kesejahteraan yang memadai, etos kerja guru diharapkan dapat meningjat sehingga akan berdampak positif terhadap kualitas pendidikan. Namun, program ini mulai bermasalah ketika proses uji sertifikasi guru yang dilaksanakan dalam bentuk portofolio diduga terjadi penyimpangan. Banyak dokumen yang diduga palsu, sehingga tidak mencerminkan kompetensi yang sesungguhnya.

Ketiga, program BSE. Program yang dimaksudkan untuk menyediakan buku murah bagi rakyat ini ternyata justru terkesan elitis dan tidak berpihak pada rakyat yang sebagian besar tinggal di daerah pedesaan dan masih “rabun” internet. Bagaimana mungkin sekolah yang berada di lereng-lereng gunung dan lembah bisa menggunakan BSE kalau jaringan infrastruktur internetnya masih payah? Yang lebih ironis, Pusat Perbukuan (Pusbuk) sendiri agaknya tidak siap untuk membeli hak cipta penulis buku yang dinyatakan lolos. Hal itu terbukti dari banyaknya keluhan dari penulis buku teks yang bukunya dinyatakan lolos uji, tetapi tak jadi dibeli. Selain itu, BSE juga telah menghancurkan penerbit buku teks yang selama ini telah ikut berkiprah dalam menyediakan berbagai macam buku pelajaran untuk kepentingan dunia pendidikan. Hanya penerbit tertentu yang sanggup mencetak BSE. Itu pun dipilih BSE yang diperkirakan bisa memberikan profit dengan menerbitkan buku-buku teks yang belum teruji benar kualitasnya. Dengan buku-buku teks seadanya yang diduga telah mereduksi dan mempersempit ranah pemikiran siswa didik, bagaimana mungkin generasi masa depan negeri ini bisa tumbuh menjadi generasi yang cerdas secara intelektual, emosional, sosial, dan spiritual?

Keempat, kebijakan UN. Ini persoalan klasik yang sudah lama menimbulkan pro-kontra. Namun, agaknya pemerintah bersikukuh bahwa UN akan mampu mendongkrak mutu pendidikan. Kalau melihat praktik kecurangan yang terus terjadi dari tahun ke tahun tanpa tindakan yang jelas dan tegas, agaknya terlalu berlebihan kalau UN didesain untuk meningkatkan mutu pendidikan. Kenyataan menunjukkan, ketentuan UN sebagai penentu kelulusan, disadari atau tidak, telah membuat banyak pihak (orang tua, sekolah, atau pejabat daerah) kebakaran jenggot. Imbasnya, mereka menempuh berbagai cara untuk meluluskan siswanya. Hal itu diperparah dengan pengumuman peringkat hasil UN oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), mulai tingkat sekolah, kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional. Pemeringkatan semacam ini sesungguhnya tak lebih dari sebuah penerapan teori labeling dan pencitraan membabi buta. Siapa pun mereka, tak mau berada di peringkat terbawah, sehingga perlu menempuh cara-cara licik dan culas sekalipun, demi mempertahankan gengsi, martabat, citra, dan marwah pihak yang bersangkutan. Jika kondisi semacam ini tak mengalami perubahan, agaknya dunia pendidikan akan terus berada dalam lingkaran pembusukan yang sangat tidak menguntungkan bagi bangsa.

Oleh karena itu, perlu ada upaya serius untuk mengkaji ulang keempat kebijakan publik ini agar dunia pendidikan kita ke depan bisa menghasilkan generasi masa depan yang cerdas, terampil, dan bermoral seperti yang diharapkan.

Pertama, jika UU BHP tidak mungkin lagi ditolak, perlu ada revisi terhadap klausul-klausul yang mengarah pada upaya pendiskriminasian siswa didik dalam mengakses pendidikan. Berikan kesempatan dan buka pintu selebar-lebarnya buat anak-anak miskin bertalenta hebat untuk mengembangkan potensi dirinya hingga mereka kelak bisa ikut berkiprah dalam membangun bangsa, sehingga tak terus-terusan mewarisi kemiskinan orang tuanya.

Kedua, jika pemerintah berkeinginan untuk meningkatkan kesejahteraan guru, berikan penghargaan kepada guru secara menyeluruh sesuai dengan masa kerja dan prestasinya dengan terus berupaya untuk meningkatkan pemberdayaan guru secara simultan. Program ini akan terasa lebih mengena ketimbang melalui uji sertifikasi yang diduga sarat dengan kecurangan dan manipulasi. Selain itu, sertifikasi guru juga telah menimbulkan “kecemburuan sosial” antarsesama guru dalam satu unit kerja sehingga bisa menjadi “bluder” bagi institusi pendidikan dalam menjalankan program-programnya. Guru yang memiliki masa kerja lebih lama akan cenderung bersikap apatis dan masa bodoh karena dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk menerima sertifikat pendidik.

Ketiga, pemerintah diharapkan tetap memiliki komitmen untuk menyediakan buku murah bagi rakyat. Bukan dalam bentuk BSE, melainkan menerbitkan dan mendistribusikan buku-buku yang sudah dinyatakan lolos uji dalam versi cetakan kepada seluruh sekolah di wilayah Indonesia. Kalau masih dalam bentuk BSE dan membebaskan kepada siapa saja untuk memperdagangkannya, maka yang terjadi adalah maraknya buku-buku berkualitas rendah yang bisa memberikan keuntungan finansial kepada penerbit tertentu.

Keempat, jangan jadikan UN sebagai penentu kelulusan, tetapi sebagai alat pemetaan mutu pendidikan secara nasional. Serahkan bobot kelulusan kepada satuan pendidikan masing-masing, sehingga akan terlihat sekolah mana yang sudah sesuai dengan standar nasional dan yang belum. Sekolah yang belum mampu memenuhi standar nasional perlu dipantau dan diberikan kemudahan dalam mendapatkan subsidi dan fasilitas, sehingga bisa mengurangi kesenjangan dengan sekolah lain yang dianggap lebih maju. Sungguh ironis kalau sarana, prasarana, dan fasilitas sekolah berbeda-beda, tetapi dituntut harus memenuhi standar kelulusan yang sama. Inilah yang menyebabkan kecurangan demi kecurangan terus terjadi.

Kalau memang pendidikan di negeri ini hendak didesain sebagai medium untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mau atau tidak, perlu ada perubahan siginifikan dengan terus-menerus melakukan kaji-ulang terhadap kebijakan publik yang dianggap kurang berpihak terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan. Selanjutnya, lakukan terobosan visioner yang mampu memberikan sentuhan substansial yang bermakna dan bermanfaat bagi kemajuan dunia pendidikan. ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

63 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Pendidikan

Go to Top