Geger Ujian Nasional di Negeri Kelelawar

Kategori Negeri Kelelawar Oleh

Kisah ini merupakan bagian ke-9 dari serial “Negeri Kelelawar”. Yang belum sempat membaca, silakan nikmati dulu kisah Menagih Janji Politisi di Negeri Kelelawar (1)Ontran-ontran di Negeri Kelelawar (2)Situasi Chaos di Negeri Kelelawar Makin Parah (3)Angin Reformasi Berhembus Juga di Negeri Kelelawar (4)Menyiasati Kecamuk Separatisme di Negeri Kelelawar (5), Kekuasaan Negeri Kelelawar dalam Kepungan Ambisi Petualang Politik (6), Isu Dekrit Presiden di Negeri Kelelawar (7), dan Premanisme Merajalela di Negeri Kelelawar (8) ***

kelelawarSetelah dihajar preman dari berbagai lapis dan lini, rakyat negeri Kelelawar belum juga terbebas dari ancaman rasa takut. Bukan hanya preman-preman liar yang harus mereka hadapi, melainkan juga preman-preman berdasi yang nongkrong di berbagai birokrasi. Dalam menjalankan aksinya, para preman jelas sudah sangat mahir memasang strategi. Konon, keahlian mereka setingkat lebih tinggi ketimbang aparat keamanan, sehingga jejaknya sulit terendus. Mereka dikenal piawai memasang jerat dan perangkap, sehingga selalu lolos dari incaran hukum.

Dunia pendidikan di negeri kelelawar pun tak luput dari tingkah usil preman-preman liar. Ada yang menduga, para bromocorah yang menyusup ke dalam dunia pendidikan itu sengaja digerakkan oleh sebuah kekuatan besar yang ingin menghancurkan masa depan anak-anak negeri kelelawar. Anak-anak yang sedang gencar memburu ilmu di bangku pendidikan, sengaja dicuci otaknya dan dimandulkan kreativitasnya agar kelak menjadi generasi penurut dan kehilangan sikap kritis terhadap penguasa. Melalui grand-design semacam itu, para penguasa akan bisa leluasa mengatur dan mengelola negeri kelelawar sesuai dengan kepentingan dirinya dan kroni-kroninya.

Kata sahibul hikayat, penguasa negeri kelelawar hanya pintar membuat undang-undang. Visi para pendiri negeri yang jelas-jelas tercantum dalam “kitab suci” negara pun telah berubah menjadi jargon dan retorika belaka. Tujuan hidup berbangsa dan bernegara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan melindungi segenap tumpah darah negeri kelelawar hanya menjadi hafalan penguasa ketika sedang berpidato. Mereka memang dikenal pintar berorasi, tapi nihil implementasi. Tidak menyatunya kata dan tindakan sudah menjadi budaya yang mengakar dan berlapis-lapis. Mereka yang pintar berpidato dan lincah bersilat lidahlah yang bakal mampu menyihir dan menghipnotis rakyat negeri kelelawar untuk sendika dhawuh terhadap apa yang dikatakan.

“Negeri kita sedang mengalami degradasi dalam soal martabat dan kehormatan. Kita gampang dipermainkan negeri seberang karena penguasa negeri ini gagal mengelola negara,” teriak pengamat sosial. “Batasan-batasan teritorial dibiarkan terpuruk, padahal sudah lama dijadikan sebagai ajang permainan negeri lain. Yang lebih menyedihkan, kelelawar yang mengadu nasib di negeri seberang diperlakukan seperti budak belian yang benar-benar telah kehilangan harga diri dan kehormatan. Ironisnya, penguasa terus-terusan bersikap diam, tanpa ada upaya serius untuk menyelematkan mereka dari ladang pembantaian,” lanjutnya berapi-api.

“Pendidikan yang seharusnya menjadi panglima, telah berubah menjadi tungku kekuasaan, tempat membunuh anak-anak kelelawar bertalenta hebat. Betapa tidak! Ujian nasional yang seharusnya menjadi parameter untuk mengukur kompetensi murid yang sesungguhnya, tak lebih hanya sebuah label dan citraan yang menakutkan,” teriak pengamat pendidikan.

“Contohnya, Pak?” pancing wartawan.

Sampeyan semua pasti masih ingat kecurangan ujian dari tahun ke tahun yang terus terjadi. Mengapa kejadian memalukan itu terus terjadi?” jawab sang pengamat balik bertanya. Para wartawan saling berpandangan.

“Ini sebuah potret kekonyolan bagi bangsa kelelawar. Semua tahu kalau negeri kelelawar itu majemuk. Setiap daerah berbeda kondisi dan latar belakang kemampuannya. Sarana, prasarana, dan fasilitas sekolah juga beda-beda. Tapi konyolnya, kemampuan anak-anak sekolah dituntut seragam. Ini yang membikin ujian nasional tak lebih hanya sebuah formalitas belaka. Karena dituntut punya kemampuan dengan standar nasional yang sama, akhirnya setiap penguasa daerah berupaya meningkatkan jumlah kelulusan dengan menghalalkan segala cara agar citra dan marwah daerah mereka tetap bagus di mata penguasa pusat,” lanjut sang pengamat berbusa-busa.

Syahdan, terbuktilah pernyataan sang pengamat pendidikan itu. Negeri kelelawar spontan gempar ketika terbetik kabar kalau ada sekitar 33 sekolah setingkat SMA dan 16 sekolah setingkat SMP di negeri kelelawar yang kelulusan siswanya 0%. Yang lebih menghebohkan, mereka diharuskan untuk mengikuti ujian ulang yang jelas-jelas bertentangan dengan Prosedur Operasi Standar (POS) Ujian yang telah ditetapkan.

“Apa salah kami sehingga harus mengikuti ujian ulang? Saya belajar keras dengan harapan dapat lulus dengan prestasi yang bagus? Tapi, kenapa kami diisukan diberi bocoran kunci jawaban? Ini benar-benar tidak adil!” teriak beberapa ekor kelelawar dengan nada getir dan pilu. Mereka hanya bisa terbang ke sana kemari dengan deraan nasib tak menentu. Tangis yang mengucur dari pelupuk mata tampak membasahi daun-daun pisang yang kering dan meranggas. Mereka tak tahu lagi, kepada siapa harus mengadu?

Itu hanya sekelumit kisah pilu yang dirasakan beberapa ekor kelelawar yang mengalami nasib tragis akibat sistem ujian nasional yang dinilai salah urus.

“Standar nasional kelulusan memang diperlukan di negeri kelelawar ini. Namun, seharusnya jangan jadi penentu kelulusan. Berikan kemerdekaan dan otonomi penuh kepada sekolah masing-masing untuk menentukan standar kelulusannya. Yang kelulusannya masih berada di bawah standar nasional, justru harus diperhatikan dan dipermudah aksesnya dalam mendapatkan subsidi untuk melengkapi sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan,” tulis pengamat pendidikan di sebuah koran nasional. “Selama ini kan tidak! Justru sekolah-sekolah yang nilai ujian nasionalnya tinggi yang mendapatkan kemudahan-kemudahan dan dimanjakan oleh pemerintah. Akibatnya, sekolah yang maju makin maju, sedangkan sekolah yang bermutu rendah makin terpuruk!” lanjutnya dalam sebuah artikel.

Silang-sengkarutnya ujian nasional di negeri kelelawar seharusnya mendapatkan perhatian serius dari para elite negeri, lebih-lebih bagi mereka yang sedang berjuang untuk menduduki singgasana kekuasaan. Mereka bisa menunjukkan komitmennya untuk melakukan perubahan sistem ujian nasional. Namun, sungguh tragis, pendidikan yang dinilai menjadi “kawah candradimuka” peradaban sekaligus sebagai agen kebudayaan justru didesain untuk menjadi alat guna melanggengkan kekuasaan.

Karena tak tahu ke mana harus mengadu, para kelelawar yang merasa menjadi korban sistem ujian nasional mengalami stress berat. Mereka kencing dan berak di mana-mana. Bahkan, ketika melintas di atas bubungan atap istana negeri kelelawar yang megah, mereka berhenti, lantas beramai-ramai kencing dan berak tanpa dikomando. Seketika, terciumlah bau pesing dan busuk yang memenuhi sudut-sudut istana berlapis emas 24 karat itu. Kejadian itu membuat penguasa negeri kelelawar merasa dihina dan dipermalukan. Dengan cepat, aparat keamanan diperintahkan untuk mengusir para kelelawar yang datang bagaikan banjir bandang itu.

“Tangkap mereka dan beri pelajaran! Jika bandel, habisi saja!” teriak sang komandan geram.

Seperti digerakkan oleh tangan-tangan gaib, aparat keamanan bersenjata lengkap serentak menembaki kerumunan kelelawar yang tengah mengepung atap istana itu. Terdengar bunyi ledakan senapan bertubi-tubi. Puluhan, bahkan ratusan kelelawar pun berjatuhan meregang nyawa. Namun, persitiwa penembakan itu bukannya membuat nyali para kelelawar surut. Jumlah mereka justru makin berlipat-lipat. Para kelelewar dari berbagai penjuru negeri terus berdatangan secara bergelombang. Aksi mereka pun tak hanya sekadar kencing dan berak, tetapi juga menggerogoti atap istana. Gigi-gigi mereka yang tajam meluluhlantakkan atap dan bubungan istana.

Aparat keamanan dengan jumlah yang terbatas tak sanggup lagi menghadapi kerumunan massa kelelawar yang terus menggerogoti istana. Tak ayal lagi, atap istana yang megah itu pun roboh. Dalam sekejap, jutaan kelelawar menerobos ke lorong-lorong istana, lantas menggerogoti benda-benda apa saja yang mereka temukan. Mungkin, amarah mereka baru reda kalau istana negeri kelelawar itu benar-benar telah rata dengan tanah. ***

————
Gambar diambil dari sini.akibat

Tags:

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

113 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Negeri Kelelawar

Go to Top