Haruskah UU ITE Menjadi “Bom Waktu” buat Bloger?

Kategori Blog Oleh

Ketika kasus email Bu Prita mencuat ke permukaan, wacana tentang kehadiran UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang telah disahkan 21 April 2008 yang lalu kembali hangat diperbincangkan. Yang paling banyak disorot adalah pasal 27 ayat 3 yang menyatakan bahwa Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Ancaman pidananya pun tidak main-main. Dalam pasal 45 (ayat 1) dinyatakan bahwa Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Ketentuan tentang muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik itulah yang dikhawatirkan akan menjadi preseden terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi lewat dunia maya. Banyak kalangan menilai, ketentuan dalam klausul tersebut merupakan pasal karet yang bisa digunakan untuk menjerat para penggiat dunia virtual dalam berekspresi. Bloger yang selama ini dikenal kritis dalam mengawal berbagai kebijakan publik di negeri ini tentu saja merasa kurang nyaman dengan ketentuan dalam pasal tersebut. Postingan-postingan di blognya bisa saja tersandung masalah hukum jika ternyata muatan isinya mengandung unsur penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Dengan kata lain, kehadiran UU ITE bisa menjadi “bom waktu” yang suatu saat bisa meledak dan menimbulkan banyak korban.

Informasi terakhir, sebagaimana dimuat di okezone.com, pemerintah, dalam hal ini Depkominfo, masih tetap menganggap kalau pasal pencemaraan nama baik di UU ITE bukan mengekang kebebasan mengeluarkan pendapat ataupun berekspresi. “Kebebasan berpendapat itu tidak melakukan penghinaan ataupun pencemaran nama baik. Tapi berdasarkan fakta dan data,” tegas Edmon Makarim Plt, Staf Ahli Hukum Menkominfo, di sarasehan antara Depkominfo dan Blogger mengenai UU ITE, di Hotel RedTop, Jakarta, Rabu (10/6/2009) malam. Ditambahkan oleh Edmon, adanya UU ITE ini harus dilihat dari berbagai sisi, sebab para blogger diingatkan untuk melihat melalui kacamata korban yang tercemarkan namanya.

Sementara itu, perwakilan blogger, Enda Nasution mengungkapkan kalau saat ini yang hanya bisa dilakukan oleh penulis maya itu hanya menunggu waktu. “Kita lihat dalam waktu dekat, apakah semakin banyak orang yang terkena undang undang ini. Jika iya, berarti ada yang salah dengan para penegak hukum yang menggunakan UU ini,” sambung Enda.

Persoalannya sekarang, bagaimana sikap para bloger dalam bereksistensi diri dan beraktivitas di dunia maya setelah proses judical review terhadap pasal 27 ayat 3 UU ITE itu pun sudah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi?

Menyikapi kehadiran UU ITE, ada beberapa saran dari Ari Juliana Gema, salah satu tim advokasi blogger, saat acara diskusi blogger menyikapi UU ITE di Jakarta, Senin (25/5/2009), yang lalu.

Pertama, menulis dengan tidak sekadar mencari perhatian. Terkadang para blogger sengaja menulis sesuatu secara berlebihan agar pembacanya naik, tanpa memikirkan efek yang dihasilkannya nanti. Hal ini sangat tidak disarankan oleh tim advokasi agar para blogger dapat terhindar dari pasal karet yang sekarang diperdebatkan.

Kedua, fokus pada masalah. Artinya, tulisan yang ingin mengkritisi sesuatu sebaiknya tepat pada satu masalah, tidak menyebar atau melenceng dengan embel-embel tertentu.

Ketiga, semua tulisan harus didukung dengan data dan fakta. Meski blog merupakan tulisan pribadi, alangkah baiknya jika disertai dengan data dan fakta, sehingga jika sewaktu-waktu tersandung masalah, maka ada bukti-bukti yang bisa menunjang pembelaan.

Keempat, jangan sungkan-sungkan meminta maaf. Pasalnya, setiap ada Freedom Speech maka akan ada Fredom Respond juga.

Kelima, memberikan solusi. Ini menjadi suatu hal yang sangat penting, karena blogger harus bisa memberikan jalan keluar dari masalah yang sedang dikritisinya.

“Semua itu menjadi saran agar blogger bisa aman dari jeratan pasal ini. Kita harus mengantisipasi karena langkah pidana untuk internet baru terjadi di Indonesia. Bahkan, di Belanda atau Singapura pun tidak ada,” tandas Ari.

Hmmm … saran yang menarik. Sebagai orang yang sangat awam di bidang hukum, saya sendiri cenderung berpendapat bahwa blog seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai media virtual yang kritis dan mencerahkan sehingga bisa ikut berkiprah dalam membangun peradaban yang lebih beradab, berbudaya, dan bermartabat. Pengalaman juga sudah membuktikan bahwa kehadiran blog yang “haus sensasi”, ingin tampil beda lewat postingan yang mengumbar dendam, kebencian, dan sentimen SARA, apalagi yang bertaburkan unsur fitnah dan tuduhan membabi buta, tak akan berumur panjang. Mereka akan “diadili” beramai-ramai oleh para bloger yang lebih mengutamakan kecerdasan akal-budi dan bersemangat untuk membangun jejaring silaturahmi dalam bingkai persaudaraan dan kekeluargaan.

Kalau kehadiran UU ITE memang dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kekerasan virtual dan sikap bar-bar yang bisa menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, kebenaran, kejujuran, dan keadilan, agaknya tak ada alasan untuk menolaknya. Namun, kalau UU ini memiliki kecenderungan represif dengan tendensi untuk memasung kebebasan para bloger dalam beropini dan berekspresi sehingga bloger yang punya niat baik untuk ikut mencerdaskan publik lewat postingan-postingannya yang kritis dan mencerahkan lantas dijebloskan ke penjara dengan memanfaatkan pasal yang memang masih rentan salah tafsir semacam itu, sungguh amat disayangkan.

Agaknya, kita masih perlu terus mengikuti dan mengawal perkembangannya agar kehadiran UU ITE benar-benar dilandasi semangat untuk membangun peradaban yang lebih terhormat dan bermartabat di tengah abad gelombang informasi dan virtual ini. ***

—————-

Keterangan: UU ITE bisa dibaca di sini.

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

153 Comments

  1. Wah..
    Lagi-lagi wartawan salah ngutip. Pak Edmon tidak berbicara seperti itu. Saya datang saat ke hotel Redtop dan termasuk salah satu yang bertanya (selain Enda Nasution dan Leo Batubara).

    Pak Edmon justru mengatakan, fakta bukan berarti bisa mengelak dari tudingan pencemaran nama baik. Benci seseorang yang kebetulan keturunan Cina, bukan berarti bisa menghina di depan umum “Cina!”. Kesal pada orang yang kebetulan gendut, bukan berarti bisa meneriaki dari tiga lantai di atas “Hei, Gendut!”.

    Bisa lolos dari pencemaran nama baik itu bila

    1. dilakukan untuk kepentingan umum
    2. untuk membela diri
    3. (yang ini di UU ITE) memiliki hak

    dan Pak Edmon percaya, Bu Prita punya hak karena dia konsumen dan haknya dijamin oleh UU Perlindungan Konsumen. Masalahnya, seperti yang disebutkan oleh Pak Arif dari Jampidum Kejagung dan Pak Muzakkir SH (mereka jadi narasumber selain Pak Edmon), ada dua pendapat mengenai sejauh mana hak-hak konsumen itu.

    Coba, Pak Sawali lihat tulisan di blog saya mengenai “Yurisprudensi: Alternatif mencegah Terulang Kasusnya Prita”.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Blog

Setelah 9 Tahun Ngeblog

Juli 2007 merupakan saat pertama saya belajar ngeblog (=mengeblog). Sering berganti-ganti engine,

Enam Purnama Tanpa Jejak

Sudah enam purnama, saya tidak meninggalkan jejak di blog ini. Sejatinya, enam
Go to Top