Ketika Blok Indraprasta Terlepas

Kategori Wayang Oleh

Wajah Yudistira memerah seperti kepiting rebus. Sorot kamera para juru foto bagaikan mata kilat yang hendak merobek-robek wajahnya. Pandangan matanya tertunduk. Tak hanya Indraprasta yang kini telah hilang, tetapi juga seluruh prajurit, saudara-saudaranya, dan Drupadi, isteri tercintanya. Perangkap yang dipasang Sengkuni dan Duryudana benar-benar berhasil memperdayai dirinya. Pandawa tak hanya kehilangan harga diri, tetapi juga kedaulatan negara yang selama ini menjadi tempat hidup ratusan juta rakyatnya. Namun, nasi telah menjadi bubur. Dia dan saudara-saudaranya mesti terusir dari negerinya sendiri yang bertahun-tahun lamanya dibangun dan dikembangkan menjadi sebuah pusat peradaban. Dia dibuang ke sebuah negeri yang jauh selama 12 tahun dan selama satu tahun harus melakukan penyamaran. Jika penyamaran mereka gagal, hukuman yang lebih sadis dan tak beradab pun sudah menanti.

wikipedia“Maaf, Pak Yudis, bisakah Anda ceritakan, kenapa Anda sampai bisa terperangkap dalam permainan pihak Kurawa?” tanya seorang presenter sebuah stasiun TV yang sengaja mengundangnya secara khusus dalam sebuah acara “reality show”. Audiens serentak membelalakkan bola mata. Sudah lama mereka menantikan teka-teki tentang pengusiran mereka dari tanah Indraprasta.

“Barangkali ini sudah menjadi bagian dari takdir yang mesti kami jalani,” sahut Yudistira tanpa ekspresi. Sepasang matanya menerawang jauh entah ke mana.

“Kok Anda begitu yakin kalau ini bagian dari sebuah takdir? Argumen Anda?”

“Sebelum Indraprasta ini jatuh ke tangan negeri Hastina, sesungguhnya kami sudah mengalami peristiwa yang hampir sama. Negeri Hastina yang sejatinya juga milik kami berdua, Pandawa dan Kurawa, akhirnya juga lepas. Jujur saja, kami capek! Kami tak mau berperang, sehingga lebih mengutamakan jalan diplomasi. Demikian juga halnya dengan hilangnya Tanah Indraprasta. Sewaktu diplomasi berlangsung, kami ditawari untuk bermain judi. Kami tak bisa menolak karena sudah disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam perjudian itu, kami kalah. Semua kami korbankan sebagai taruhan judi. Bahkan, yang lebih menyedihkan …. “ Yudistira berhenti sejenak. Sepasang matanya terasa nanar. Kedua pelupuk matanya gagal membendung arus air mata yang begitu deras menjebolnya. “Satu-satunya kehormatan dan harta paling berharga bagi kami, Drupadi, …. ikut-ikutan jadi korban keculasan Sangkuni dan Duryudana!”

Suasana stasiun TV tiba-tiba hening. Audiens sama-sama tertunduk seperti ikut merasakan getar penderitaan yang menggumpal di dada Yudistira. Sang presenter pun tak kuasa membendung rasa haru yang sontak menekan dadanya.

“Sungguh keterlaluan Sengkuni dan Duryudana! Mereka telah melakukan pelanggaran berat terhadap HAM. Kejahatan yang dilakukan sudah tak bisa dikategorikan sebagai kejahatan biasa. Mereka telah menghabisi peradaban yang dimiliki sebuah negara yang berdaulat. Terus terang saja, meskipun kami bukan rakyat Indraprasta, kami mengutuk berat tindakan jahat yang dilakukan pihak Hastina. Kami meminta Mahkamah Internasional untuk bertindak adil dan mengusut tindakan brutal negeri Hastina sesuai dengan peraturan yang berlaku!” teriak seorang peserta dari balkon.

“Setuju! Tindakan Hastina harus diusut tuntas. Sebagai sanksinya, semua negara harus memutuskan hubungan diplomatik dengan negeri sombong dan sewenang-wenang itu!” sahut peserta yang lain. Lantas, disambung teriakan-teriakan dan yel-yel pembelaan terhadap Yudistira. Mereka menuntut agar Indraprasta dikembalikan lagi kepada Yudistira.

“Upaya diplomatik yang mereka lakukan hanya akal-akalan dan tipu muslihat agar Indraprasta jatuh ke tangan mereka!” teriak yang lain. Suasana stasiun TV berubah onar. Audiens serempak berdiri dan terus meneriakkan yel-yel gegap-gempita! Karena suasana berubah onar dan tak bisa dikendalikan, acara “reality show” yang super-sentitif itu buru-buru ditutup oleh sang presenter.

***

wikipediaYa, ya, ya, peristiwa lepasnya tanah Indraprasta dari tangan Pandawa itu memang sedang menjadi perhatian dunia pewayangan. Hampir semua negara mengutuk tindakan brutal atas invasi terselubung yang telah dilakukan oleh negeri Hastina. Namun, banyak negara yang tak bisa berbuat apa-apa untuk melakukan pembelaan. Apalagi, pihak Pendawa sendiri menganggap bahwa hilangnya bumi Indraprasta sebagai bagian dari takdir yang mesti mereka jalani.

Peritiwa itu bermula ketika kapal perang Hastina selalu mondar-mandir sebagai bagian dari provokasi yang mereka tempuh. Sebagai negeri yang cinta damai, Pendawa menganggap bahwa provokasi itu sebagai hal yang biasa. Namun, para pengamat politik menilai bahwa provokasi itu merupakan bagian dari strategi Hastina yang sudah lama mengincar Indraprasta.

“Hastina itu dikenal sebagai bangsa yang licik. Berkaca pada keberhasilan mereka yang berhasil mencaplok Hastina secara utuh, mereka juga hendak menguasai blok Indraprasta. Mereka tahu, Pendawa itu dikenal sebagai bangsa yang terhormat, tidak suka perang, dan lebih mengutamakan jalur diplomasi. Itulah taktik Hastina. Tapi, saya heran, kenapa pemerintah Indraprasta tak pernah mengambil sikap tegas terhadap provokasi Hastina?” tulis seorang pengamat dalam sebuah opini di surat kabar.

Maka, upaya diplomatik benar-benar dilakukan. Bukan Kurawa kalau tak bertindak licik. Dengan berbagai bujuk rayu dan tipu muslihat, mereka membuat kesepakatan dengan cara mengajak pihak Pendawa untuk berjudi.

“Berjudi sebetulnya tidak baik. Bahkan, menurut para orang bijak, berjudi sebaiknya dihindari karena sering terjadi tipu-menipu sesama lawan,” kata Yudistira di tengah-tengah perundingan.

“Maaf, Bapak Yudistira, saya kira jika Anda berjudi dengan kami, tidak ada jeleknya, sebab kalian masih bangsa serumpun. Apabila Anda yang menang, maka kekayaan Duryudana tidaklah hilang sia-sia. Begitu pula jika Duryudana menang, maka kekayaan Anda tidaklah hilang sia-sia karena masih berada di tangan saudara sendiri. Untuk itu, apa jeleknya jika rencana ini kita jalankan?” bujuk Sengkuni.

Karena tak suka berdebat, Yudistira pun terkena perangkap Sengkuni dan Duryduana. Maka permainan judi pun dimulai. Yudistira heran kepada Duryudana yang diwakilkan oleh Sengkuni, sebab dalam berjudi tidak lazim kalau diwakilkan. Sengkuni yang berlidah tajam, sekali lagi merayu Yudistira. Yudistira pun termakan rayuan Sengkuni.

Mula-mula Yudistira mempertaruhkan harta, tetapi ia kalah. Kemudian ia mempertaruhkan harta lagi, tetapi sekali lagi gagal. Begitu seterusnya sampai hartanya habis dipakai sebagai taruhan. Setelah hartanya habis dipakai taruhan, Yudistira mempertaruhkan prajuritnya, tetapi lagi-lagi gagal. Kemudian, ia mempertaruhkan negerinya, tetapi ia kalah lagi. Setelah tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan, Yudistira mempertaruhkan adik-adiknya. Namun, semuanya berakhir dengan kekalahan. Harta, prajurit, saudara, dan negara Indraprasta akhirnya menjadi milik Duryudana.

Yudistira yang tidak memiliki apa-apa lagi, nekat mempertaruhkan dirinya sendiri. Sekali lagi ia kalah sehingga dirinya harus menjadi milik Duryudana. Sangkuni yang berlidah tajam membujuk Yudistira untuk mempertaruhkan Drupadi. Karena termakan rayuan Sangkuni, Yudistira mempertaruhkan isterinya, yaitu Dewi Drupadi. Banyak yang tidak setuju dengan tindakan Yudistira, tetapi mereka tak bisa berbuat apa-apa karena hak semacam itu hanya menjadi milik Yudistira.

Maka, Drupadi pun dijemput paksa. Dursasana, salah seorang petinggi Hastina, bahkan bermaksud menelanjangi perempuan sintal itu di depan umum. Beruntung, tindakan tak senonoh itu gagal terwujud. Sambil menangis terisak-isak, Drupadi berkata, “Sungguh saya tidak mengira kalau di Hastina kini telah kehilangan banyak orang bijak. Buktinya, di antara sekian banyak orang, tidak ada seorang pun yang melarang tindakan Dursasana yang asusila tersebut, ataukah, memang semua orang di Hastina kini telah seperti Dursasana?” ujar Drupadi kepada semua orang yang hadir di balairung. Para orangtua yang mendengar perkataan Drupadi tersebut tersayat hatinya, karena tersinggung dan malu.

Melihat perbuatan Dursasana yang asusila, Bima bersumpah, akan merobek dada Dursasana dan meminum darahnya. Setelah bersumpah, terdengarlah lolongan anjing dan srigala, tanda bahwa malapetaka akan terjadi.

Entah, bagaimana nasib para Pendawa dan ratusan juta rakyat Indraprasta setelah negeri mereka dicaplok Hastina! *** (Tancep kayon)

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

96 Comments

  1. Njajal ntranslate sithik Pak:

    Because no controversialist, Yudistira also affected Sengkuni trap and Duryduana. Maka permainan judi pun dimulai. But gambling is a game starts. Yudistira Duryudana to wonder who was represented by Sengkuni, because in the game, if not commonly represented. Sengkuni the sharp-tongued, once again seduce Yudistira. Yudistira any petition Sengkuni eaten accidentally.
    [rq=1131,0,blog][/rq]Kalau Tidak Masuk, Akan Dikeluarkan !

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Wayang

TEROR DI NEGERI WIRATHA

Dalang: Sawali Tuhusetya Akibat kebencian Kurawa yang telah mengilusumsum melalui aksi tipu
Go to Top