Prahara Kembali Mengintai Dunia Pendidikan

Ketika membuka email, saya terkejut. Ada judul yang agak provokatif “Bencana Pendidikan” yang masuk dalam kotak surat maya itu. Ketika saya baca, duh, benar-benar membuat saya shock. Teman yang baik hati itu mengirimkan sebuah berita “buruk” yang dimuat di Jawa Pos. Berita itu mengabarkan tentang kasus 19 SMA yang 100% siswanya tidak lulus UN. Diduga, para siswa mendapat bocoran jawaban yang salah.

Mengapa UN selalu ber-ending tragis? Sudah demikiankah parahkah dunia pendidikan kita sampai-sampai UN yang seharusnya menjadi “benteng moral dan kejujuran” pun hancur akibat nafsu dan hasrat mempertahankan gengsi dan marwah semata? Tidak adakah cara yang santun dan sehat yang bisa mengantarkan anak-anak masa depan negeri ini dalam mewujudkan harapan dan cita-citanya?

Mengambinghitamkan Siswa
Pertanyaan saya itu makin tak bisa terjawab ketika menemukan kenyataan bahwa kecurangan UN itu selama ini bukanlah sekadar isu, melainkan telah menjadi “budaya” hingga akhirnya kecurangan itu sendiri tak terkesan sebagai sebuah “dosa”.

Lihat saja kutipan berita yang dimuat di Jawa Pos berikut ini!

Peristiwa memalukan kembali terjadi di dunia pendidikan. Tahun ini terdapat 19 SMA di Indonesia yang 100 persen siswanya tidak lulus ujian nasional (unas). Diduga, itu disebabkan kunci jawaban palsu yang diedarkan sekolah kepada siswa.

Kasus tersebut terkuak di SMA Negeri 2 Ngawi, yang merupakan sekolah favorit di kota kecil di ujung barat Jawa Timur. Dirjen Dikdasmen Depdiknas, Suyanto, juga alumnus sekolah itu. Kemarin sekolah tersebut mengundang seluruh wali murid kelas tiga. Kepala Dinas Pendidikan Ngawi Abimanyu dan Bupati Ngawi Harsono juga dihadirkan dalam pertemuan sekolah dengan wali murid tersebut.

Dalam pertemuan tertutup itulah, menurut sumber, terkuak bahwa hasil scan lembar jawaban komputer (LJK) unas menunjukkan seluruh siswa kelas tiga SMAN 2 Ngawi (315 anak) dinyatakan tidak lulus. Para wali murid ditenangkan dan dijanjikan ujian nasional ulang pada 8-12 Juni 2009.

Dalam pertemuan itu juga diungkapkan penyebab ketidaklulusan tersebut. Yakni, semua siswa menggunakan bocoran kunci jawaban untuk mengerjakan soal unas. Tentu saja tujuannya mengatrol nilai para siswa dan menjamin kelulusan 100 persen. Ternyata kunci yang beredar itu salah. Dan, hasilnya justru 100 persen siswa tidak lulus.
Para wali murid gempar. Sebab, sebagian siswa SMAN 2 telah diterima di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) favorit melalui jalur PMDK (penelusuran minat dan kemampuan). Dengan adanya kasus tersebut, tentunya membatalkan hasil tes PMDK.

………………
Di bagian lain, Koordinator TPI dan Pengawas Unas Tingkat Nasional Haris Supratna membeberkan bahwa kecurangan itu tidak hanya terjadi di SMAN 2 Ngawi, tapi juga di 18 SMA lain yang tersebar di berbagai daerah, yaitu Palembang, Bengkulu, NTB, Gorontalo, Jabar, dan Jatim.

Kecurangan itu terungkap berawal dari ditemukannya pola jawaban yang sama pada lembar jawaban ujian nasional (LJUN) siswa oleh TPI. Kecurigaan itu semakin kuat karena pola jawaban tersebut tidak hanya ditemukan pada satu mata pelajaran, namun juga pelajaran yang lain. ”Kalau di SMAN 2 Ngawi, kami menemukan itu pada semua mata pelajaran. Contohnya, jawaban siswa A semua, sampai soal kesepuluh. Padahal, penyusun naskah soal tidak mungkin menyusun kunci jawaban A semua sampai sepuluh soal,” tuturnya.

TPI melanjutkan penelusuran dengan mencocokkan apakah pola jawaban yang sama itu ditemukan di kelas lain atau tidak. Ternyata, kata Haris, di semua kelas SMAN 2 Ngawi juga menjawab soal dengan pola jawaban sama. ”Jadi, jawaban satu sekolah itu sama. Nggak mungkin rasanya kalau semua itu tidak dilakukan secara sistematis,” ungkapnya.

Dari temuan itu, akhirnya TPI bersama BSNP mencocokkan dengan kunci jawaban asli. Hasilnya, semua jawaban siswa SMAN 2 Ngawi salah. Fenomena serupa terjadi di 18 sekolah yang lain. ”Ada yang jurusan IPA saja, atau IPS saja. Ada juga yang dua-duanya,” terang rektor Unesa (Universitas Negeri Surabaya) itu.

Lantaran merupakan kecurangan, ujian tersebut harus diulang. Pengambilan kebijakan itu merupakan bentuk sanksi yang diberikan kepada sekolah. ”Itu namanya sanksi moral. Sebab, mereka harus mengulang ujian. Kami berharap kasus ini tidak terulang,” ungkapnya.
……………..

Sementara itu, berita pada keesokan harinya, di media yang sama, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) ternyata belum mengambil langkah konkret untuk menyikapi kasus ketidaklulusan seratus persen siswa 19 SMA di tanah air dalam ujian nasional (unas). Sejauh ini belum diungkapkan siapa yang paling bertanggung jawab atas beredarnya kunci jawaban palsu penyebab ketidaklulusan itu. Direktur Pembinaan SMA Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Depdiknas Sungkowo yang membawahkan SMA di Indonesia justru mengaku tidak tahu-menahu kasus itu.

Yang ironis, Sungkowo justru menyalahkan siswa. Menurut dia, pihaknya berkali-kali mengimbau siswa agar tidak memercayai kunci jawaban. Apalagi, kata dia, standar kelulusan unas sejatinya tidak begitu tinggi. Nilai minimal rata-rata unas tahun ini hanya dipatok 5,50. Dengan patokan itu, tingkat ketidaklulusan unas di Indonesia diprediksi sekitar tujuh persen.

Duh, mengapa justru siswa yang dikambinghitamkan? Kalau dilihat ketidaklulusan mencapai 100% siswa, agaknya tak masuk akal kalau bocoran kunci jawaban itu berasal dari kalangan siswa. Prosedur Operasi Standar (POS) UN pun sesungguhnya sangat ketat dalam mengatur pelaksanaan UN, misalnya: (1) peserta UN yang membawa alat komunikasi elektronik, kalkulator, tas, buku, dan catatan dalam bentuk apa pun wajib menititipkan ke pengawas ruang ujian selama ujian berlangsung; (2) peserta UN dilarang keluar ruangan ujian selama ujian berlangsung kecuali atas izin pengawas ruang ujian; (3) peserta UN yang meninggalkan ruangan setelah membaca naskah soal dan tidak kembali lagi sampai tanda selesai dibunyikan, dinyatakan telah selesai menempuh/mengikuti UN pada mata pelajaran yang terkait; (4) selama UN berlangsung, peserta UN dilarang: menanyakan jawaban soal kepada siapa pun, bekerjasama dengan peserta lain, memberi atau menerima bantuan dalam menjawab soal, memperlihatkan pekerjaan sendiri kepada peserta lain atau melihat pekerjaan peserta lain, membawa naskah soal UN dan LJUN keluar dari ruang ujian, dan menggantikan atau digantikan oleh orang lain.

Berdasarkan ketatnya peraturan semacam ini, sesungguhnya tak ada celah bagi siswa untuk berbuat curang. Kalau toh ada, bisa saja akibat proses “pembiaran” yang dengan sengaja dilakukan oleh pihak-pihak terkait (pengawas UN, pengawas independen, atau sekolah penyelenggara), yang bertujuan bukan semata-mata untuk membantu siswa, melainkan ada dugaan terjadinya upaya sistematis untuk mendongkrak jumlah lulusan.

Peristiwa memalukan –dan seharusnya dipahami sebagai aib bagi dunia pendidikan– semacam ini, semakin membenarkan adagium klasik “serapat-rapatnya orang membungkus kebusukan, lama-lama akan tercium juga”. Kasus ini bisa jadi tak akan terungkap kalau tingkat kelulusan siswa mencapai 100% karena kebetulan kunci jawaban soal yang dibocorkan secara massal itu benar. Citra sekolah yang bersangkutan justru akan terangkat dan yang pasti pejabat sekolah dan birokrasi di atasnya akan disanjung puji sebagai tokoh yang sangat berjasa dalam mengantarkan siswa-siswinya meraih sukses UN. Namun, agaknya kebenaran tak akan pernah berpihak kepada orang-orang yang berperilaku curang dan tidak jujur.

Labeling dan Pencitraan Membabi Buta
Terlepas bagaimana modus operandinya dan siapa sesungguhnya yang menjadi biang aib dunia pendidikan ini, seharusnya sudah cukup bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi serius terhadap sistem UN. Ketentuan UN sebagai penentu kelulusan, disadari atau tidak, telah membuat banyak pihak (orang tua, sekolah, atau pejabat daerah) kebakaran jenggot. Imbasnya, mereka menempuh berbagai cara untuk meluluskan siswanya. Hal itu diperparah dengan pengumuman peringkat hasil UN oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), mulai tingkat sekolah, kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional. Pemeringkatan semacam ini sesungguhnya tak lebih dari sebuah penerapan teori labeling dan pencitraan membabi buta. Siapa pun mereka, tak mau berada di peringkat terbawah, sehingga perlu menempuh cara-cara licik dan culas sekalipun, demi mempertahankan gengsi, martabat, citra, dan marwah pihak yang bersangkutan. Maka, terjadilah aib itu.

Tentu saja, solusi ujian ulang bagi siswa yang “terbodohi” itu mutlak diperlukan melalui sistem pengawasan ketat yang betul-betul “mengharamkan” kecurangan. Namun, ujian ulang saja tak cukup. Untuk menimbulkan efek jera, siapa pun yang diduga terlibat dalam kasus memalukan ini harus diusut tuntas dan ditindak tegas sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jangan sampai kecurangan demi kecurangan terus terjadi hingga akhirnya berkembang menjadi budaya “biarinisme” yang akan menghancurkan masa depan anak-anak bangsa.

Selama ini juga sudah banyak suara kritis yang menilai bahwa UN sudah tak relevan lagi dengan “roh” Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang memberikan otonomi penuh kepada sekolah dalam mengelola pendidikan. Kalau toh ada standarisasi pendidikan nasional itu diperlukan, seharusnya tak perlu ada penyeragaman. Dalam konteks demikian, idealnya standar UN bukan sebagai penentu kelulusan, melainkan sebagai alat pemetaan mutu pendidikan, sehingga akan terpotret, sekolah mana saja yang sudah berhasil memenuhi standar nasional dan yang belum.

Namun, suara-suara kritis itu benar-benar telah diperlakukan bagaikan suara “Togog” yang terkebiri dan terabaikan. Yang menggema kemudian adalah suara Mbilung yang terus membujuk agar kecurangan dan tindakan bodoh itu terus berlangsung. Kalau sudah begini, quo vadis dunia pendidikan kita? ***

No Comments

  1. lha wong tidak lulus karena kesalahan cari bocoran kunci jawaban kok mau diulang ujiannya?
    lha wong nyari bocoran itu saja sudah salah, lha kalo nggak lulus ya berati itu hadiahnya…

    kalo sampe diulang maka bener kata kyai slamet di plurk td siyang, itu semua siswanya terkutuk dan dilaknat.. 🙄

    Baca juga tulisan terbaru ciwir berjudul Canon PowerShot A470 [Alnect Komputer]

  2. wah, tulisan terbaru saya Mengambinghitamkan Google, Pak. :mrgreen:

    memang, selama ini -tepatnya, akhir-akhir ini- UN semakin menjadi-jadi sebagai pasar mafia. ya mafia bocoran soal, mafia bocoran jawaban, mafia jawaban palsu, dan sebagainya.

    semoga sitemnya bisa jadi lebih baik. 🙂

    Baca juga tulisan terbaru dum berjudul Mengambinghitamkan Google

  3. emm… memang kadang para siswa juga mengentengkan, karena biasanya tinggal menunggu kunci jawaban yang akan beredar ntah dari siapa, guru, pengawasan atau yang lainnya.

    tapi kalau beruntung kuncinya cocok ya betul semua, kalau salah semua?, wadow…. emm… kadang para siswa sudah diperintah gurunya agar sesui dengan kunci. la ini kucinya saja salah 🙁

    Baca juga tulisan terbaru arifudin berjudul Film ketika cinta bertasbih

    1. @arifudin,
      memang banyak ssiwa yang bersikap demikian. tapi sesungguhnya tak sedikit juga siswa yang benar2 mau serius belajar dg baik. hanya karena bocoran kunci jawaban palsu, akhirnya mereka jadi ikut2an memanfaatkannya.

  4. Emang seperti simaalamakama se… Kalo tidak ‘membantu’ siswa/i nya, entar nama baik skolah yang jelek… Kalo ‘bantu’ en diketahui oleh massa, nama baik sekolah jadi jelek juga….
    Tapi angka kelulusan kecil, nama sekolah jadi terkenal ‘sulit’ lulus -_-‘

    btw, mw minta maap ama bapak. Ga enak hati, perna salah berkata –a

    Baca juga tulisan terbaru NoRLaNd berjudul What should I do ?!

  5. Menunggu kabar selanjutnya mas sawali, karena pastilah oknum pengedar kunci jawaban itu harus dibekuk dan didengarkan kesaksiannya. Memang ‘bottle neck’ dalam kebijakan di sini seharusnya sudah dibenahi, dengan negara seluas ini, hanya satu pusat pemerintahan di Jakarta yang mengakomodasi dan memfasilitasi semuanya. Sudah saatnya duduk bersama untuk berembug kembali masalah ini, permasalahan paling krusial, yaitu pendidikan, kita nggak punya tentara yang kuat dan persenjataan lengkap tidak jadi apa tapi kalo otak rakyatnya tertelikung semua, sama halnya dengan … ah saya nggak mau nerusken.. haha…

    Baca juga tulisan terbaru suryaden berjudul top of the world

    1. @suryaden,
      iya, mas surya, kita terus menunggu perkembangan berita itu. sungguh disayangkan kalau kejadian memalukan itu benar2 dilakukan secara terencana dan sistematis. kalau situasi itu terus berlanjut, tak jelas lagi, bagaimana potret kualitas generasi negeri ini di masa mendatang.

  6. Trenyuh dengan pemberitaan seperti itu.. Saia masih ingat kemarin di datangi siswa yang akan UN minta restu, sampai hari ini saia belum trima kbr, berharap semuanya lulus..

  7. Prihatin banget kalo liat fenomena pendidikan di negeri kita ini, sudah menjadi rahasia umum adanya edaran dan sms jawaban UN yang tidak bertanggung jawab. Kecurangan dalam UN yang dilakukan secara berjamaah oleh “oknum” praktisi pendidikan, dan seolah-olah diamini oleh pihak-pihak yang berkepentingan, namun akhirnya pada cuci tangan semua.

    Buat apa ada standar kelulusan UN? kalo toh yang ada hanya pemangkasan akar generasi bangsa, pengkerdilan rasa percaya diri anak negeri. saatnya kelulusan diserahkan pada sekolah yang telah menempa dan mendidik siswa selama 3 tahun, bukan ditentukan UN yang cuma bbrp hari saja.

    Mudahan nanti ke depannya, siapapun presidennya, kebijakan yang di ambil untuk pendidikan lebih baik dari sekarang

    Maaf Pak, saya jadi ikutan ceramah… 🙂

    1. @coey_paringin,
      seperti itulah yang terjadi, mbak, dari tahun ke tahun dunia pendidikan bukannya menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, melainkan justru malah menimbulkan keprihatinan yang (nyaris) tak berujung. dari sisi pelaksanaan, UN memang perlu ditinjau kembali, mbak, demikian juga dari sisi suprastrukturnya. mudah2an pemimpin yng terpilih utk menjadi RI 1 negeri ini memiliki kepekaan terhadap nasib dunia pendidikan kita.

  8. Benar2 memalukan ya Pak. Sudahlah, nggak usah pake UN segala. Kan katanya pake standar kompetensi. Semoga di masa mendatang pendidikan kita harus lebih baik. Btw, iklan sekolah gratis udah menghabiskan biaya berapa ya?

    1. @okta sihotang,
      dalam konteks dan kasus ini, agaknya kesalahan itu bukan hanya semata2 dari siswa, mas okta, tapi justru dari pihak yang diduga telah menyebarkan kunci jawaban palsu itu. kok mau2nya mereka menjerumuskan siswa dg cara2 memalukan seperti itu.

  9. Kalau diadakan ujian ulang, seolah-olah merestui pelanggaran yang terjadi sebelumnya. Kalau tidak diadakan ujian ulang, siswa yang akan menjadi korban. Tertunda setahun bukan waktu yang pendek. Kedua pihak, baik sekolah maupun siswa juga ada sisi-sisi kesalahannya.
    Yang jelas, saya sepakat bila pemerintah mengkaji ulang sistem UN.
    **kebayang, bila ujian di ngawi itu berjalan apa adanya, justru banyak yang lulus…**

    Baca juga tulisan terbaru Andy MSE berjudul Koneksi Modem Sony Ericsson K510i di Ubuntu Jaunty Jackalope

    1. @Andy MSE,
      bener, mas andy. dalam ketentuan UN pun tak ada istilah ujian ulang. yang ada hanya ujian susulan utk siswa yang dinyatakan sakit dan ujian kesetaraan. tapi, dalam kasus ini agaknya ada kesalahan fatal. justru saya melihat para siswa telah jadi korban ambisi pihak tertentu yang dg senagaja telah menyebarkan kunci jawaban menyesatkan itu.

  10. benar2 menyesakkan dada berita ini pak…
    sedih, kecewa dan marah seolah jadi satu 👿
    karena, saya tidak bisa berbuat apa2, selain hanya mengutuk perbuatan itu 😥
    semoga ke depan, pendidikan kita bisa lebih baik

    Baca juga tulisan terbaru vizon berjudul sepeda iseng

    1. @vizon,
      iya, mas vizon. karena usdah telanjur terjadi, hal maksimal yang bisa kita lakukan ya dg mengritisi dan mengutuknya. semoga saja tak terulang lagi dan perlu ada kajian ulang terhadap sistem UN itu sendiri.

  11. kalau saya bilang,’siswa jadi korban sistem pndidikan di Indonesia yng sangat amburadul” apa trlalu ksar pakde? Saya jujur aja emosi skali dngn Depdiknas yng seakan2 ‘buta’ dngn fkta yg ada. Sdah brtahun2 bnyk siswa dan skolah yg mngluhkan soal sistem pnddikan dan jga UN tp depdiknas ttep ngtot mnaikkan stndar klulusan.. Knpa gak ada evaluasi?! Knpa jstru mnylhkan siswa?!

    Lama gak maen kesini… 🙁

  12. kalau sudah begini pasti langsung saling tunjuk yang salah kamu, dia mereka, UN, kunci jawaban salah, guru, kepala sekolah, dll. adakah diantara yang bicara itu bilang begini : mohon maaf ini karena saya yang salah, mari kita perbaiki bersama.

  13. Apa yang sebenarnya membuat bangsa kita semakin lama terasa semakin kacau…? 😥
    Ini harus menjadi keprihatinan kita bersama.
    Mari bersama-sama kita berbenah. tak ada kata terlambat. Mulai dari diri kita masing-masing aja dulu… 😀

    Baca juga tulisan terbaru nova gunawan berjudul Latihan Dasar Pengenalan Air

  14. Waktu mendengar berita itu saya ingin menulis di blog saya. Akan tetapi, saya ingat bahwa Pak Sawali tentu akan menulis dengan lebih bernas.

    Ternyata benar.

    Mengenai ujian ulang di 19 SMA itu saya tidak setuju. Siswa-siswa itu harus menunggu setahun lagi sebagai pembelajaran atas ketidakjujurannya. Ingat, hukuman tidak semata-mata dilakukan sebagai sanksi semata-mata tetapi juga memiliki efek mendidik. Dengan adanya hukuman itu, diharapkan yang bersalah menyadari kesalahannya dan tidak akan mengulang lagi. Apakah siswa-siswa itu sekedar korban? Menurut saya tidak juga. Mereka, saya yakin, tidak sedang terhipnotis. Mereka melakukan itu dengan penuh kesadaran. Bukankah anak kelas 3 SMA sudah matang nalar dan logikanya?

    Akan tetapi, sumber kunci jawaban harus diusut. Apabila kunci jawaban itu berasal dari seorang atau beberapa guru maka guru itu harus dipecat dan dilarang mendidik lagi. Tidak pantas yang seperti itu tetap dijinkan mengajar.

    Tidak adil dong dengan sekolah-sekolah lain yang curang dengan kunci jawaban yang benar?

    Saya kira, pencuri yang tidak tertangkap pun tidak bisa dihukum. Koruptor yang tidak ketahuan tidak tersentuh hukum. Yang perlu dilakukan segera, saya setuju agar UN ini dihapuskan karena cenderung membuat dunia pendidikan kita menjadi sarang kecurangan.

    1. @kombor,
      memang benar, mas arif. dalam ketentuan UN pun tak ada istilah ujian ulang. yang ada hanya ujian susulan bagi siswa yang dinyatakan sakit dan ujian kesetaraan bagi siswa yang tdk lulus. tapi, kalau dirunut jasus ini, agaknya memang ada kesalahan fatal. sehancur-hancurnya sekolah, saya kira kok ndak ada sekolah yang 0% tingkat kelulusannya. kasus ngawi, misalnya, anak2 yang berotak cemerlang bisa jadi kehilangan rasa pede begitu dengar bocoran kunci jawaban. kasus seperti ini mesti diusut tuntas. jangan sampai pola “biarinisme” itu berlangsung terus.

  15. Sungguh menyedihkan memang menatap pendidikan di Indonesia .. bagaikan menguntai benang kusut susah buat membenahinya. Jangankan mereka yang duduk di DikNas bahkan di Dikti yang mustinya sudah harus lebih aware tetap saja susah .. ndak tahu apa alasannya ?

    1. @ajengkol,
      duh, bener2 memprihatinkan, memang, mbak. agaknya memang dibutuhkan kesadaran kolektif dari segenap komponen bangsa utk menata ulang sistem pendidikan kita kalau ingin menyelamatkan masa depan negeri ini.

  16. pendidikan oh pendidikan..
    dimana nilai hakekatmu?
    apakah pendidikan hanya ditakar dengan sebuah standar angka
    sementara ketidakjujuran hanya jadi angin lalu..
    sudah saatnya kita kembali kepada makna pendidikan sejatinya
    melahirkan bangsa yang beradab dan jujur, bukannya biadab dan hancur..
    salam pak sawali…

    Baca juga tulisan terbaru pensiun kaya berjudul IHSG Gebrak Level 2.000

    1. @pensiun kaya,
      salam juga, mas amsi. pernyataan mas amsi tepat sekali. pendidikan seharusnya tak hanya diukur sebatas angka2, tetapi perlu ada sentuhan pendidikan nilai dan karakter yang kuat. angka2 ternyata hanya menumbuhkan kesesatan dan kecurangan semata.

  17. Pendidikan yang baik…sebetulnya tinggal satu-satunya harapan bangsa ini untuk bangkit…. Pertanian terpuruk, Industri nanggung, pariwisata acak-acakan mengelolanya.. Pedagangan juga kalah dengan tetangga2…

    Semua itu obat dan dokternya adalah pendidikan yang bagus. Lha kalo Pendidikan ternyata juga acak kadul ..duh apa jadinya bangsa ini..???

    Baca juga tulisan terbaru Xitalho berjudul Tembang Kehidupan

    1. @Xitalho,
      saya sepakat, mas xit. seharusnya dunia pendidikan bisa menjadi benteng moral dan kejujuran setelah negeri ini mengalami krisis multideimensi. sayangnya, dunia pendidikan bukannya menjadi “katalisator” yang mencerahkan, tapi justru melahirkan banyak anomali yang memiliki implikasi sosial yang cukup kompleks.

    1. @Wandi thok,
      dalam ketentuan UN memang tak ada istilah ujian ulang, pak wandi. yang ada hanya ujian susulan bagi siswa yang dinyatakan sakit dan ujian kesetaraan bagi siswa yang tdk lulus. tapi, kalau dirunut kasus ini, agaknya memang ada kesalahan fatal. sehancur-hancurnya sekolah, saya kira kok ndak ada sekolah yang 0% tingkat kelulusannya. kasus ngawi, misalnya, anak2 yang berotak cemerlang bisa jadi kehilangan rasa pede begitu dengar bocoran kunci jawaban. kasus seperti ini mesti diusut tuntas. jangan sampai pola “biarinisme” itu berlangsung terus.

  18. 1.Siapa yang paling bertangung jawab,itu harus di kenakan sangsi seberat-beratnya.

    2.Bila UAN harus di ulang,itu terlalu ke-enakan..!!!
    Kalopun harus mengulang,ya..harus mengulang satu tahun belajar di kelas 3 SMU.
    Saya rasa ini lebih sportif.

    3.Kebiasaan males belajar dan krisisnya kepercayaan pada kemampuan diri siswa,berakibat kulino njagakne endoke blorok,padahal ayame ra ngendok..wkxkxkxkxkx..

    1. kasus ini memang sungguh memalukan, sangbayang. tapi kalau dicermati, sehancur-hancurnya sekolah, kok saya ndak yakin, 100% siswanya tdk lulus, apalagi smanda ngai itu kan konon dikenal sbg sekolah favorit. pasti ada sesuatu yang salah! kasus ini tak akan terungkap telah terjadi kecurangan kalau siswanya lulus 100%.

  19. “serapat-rapatnya orang membungkus kebusukan, lama-lama akan tercium juga” (saya kutip dari atas)

    sudah sedemikian busuk pelakunya sehingga tak menyadari kebusukan dari dirinya. tak ada upaya men’suci’kan, malah semakin membusukan diri dengan membuat ujian ulangan.

    Saya juga bingung pak. Punya dealektika koq menurun. Busuk dan terus membusukkan diri.

  20. maaf, pak sawali, membaca blog ini sejak tadi malam terinterupsi terus. padahal menarik sekali.

    pak sawali sepertinya sangat concern dengan unas, terlihat dari banyaknya tulisan yang menyoroti ini. senang sekali ada kolega guru yang begitu perhatian dengan sistem pembelajaran nasional kita dan tidak terikut arus untuk menghalalkan segala cara demi mendongkrak prestasi sekolah sendiri.

    anak didik memang salah memercayai kunci yang beredar, namun tidak bisa dikambinghitamkan sebagai satu-satunya sumber kesalahan. sudah menjadi kebiasaan (lagi-lagi kebiasaan) bahwa tidak ada orang yang siap menghadapi ujian. saya bisa membayangkan betapa para peserta ujian menjadi begitu runtuh kepercayaan diri mereka saat mengetahui ada kunci jawaban yang beredar luas. pilihannya: percaya diri dengan resiko ketinggalan gerbong dari teman-teman, atau ikut bocoran walaupun (mungkin) sudah merasa ada yang keliru? dilematis.

    mengenai standar, mutu, dan isu keseragaman itu saya setuju, pak. apa gunanya KTSP bila sekolah tidak diberi hak otonom untuk menguji para siswanya?

    Baca juga tulisan terbaru marshmallow berjudul Concept of Heaven

    1. terima kasih tambahan infonya mbak yulfi. bercermin pada kasus UN tahun ini dan juga tahun2 sebelumnya, seharusnya pemerintah sudah punya bukti dan data yang valdi, kalau sistem UN selama ini memang bukannya membuat bangsa ini cerdas, melainkan malah melanggengkan kecurangan dan kebohongan. UN boleh saja digelar, tapi jangan sampai menjadi penentu kelulusan, melainkan sbg alat pemetaan mutu pendidikan secara nasional.

    1. kalau dicari kambing hitamnya, pasti muter2 dan hanya akan saling melemparkan tanggung jawab, mas. menurut saya, sistemnya yang mesti dibenahi. jangan jadikan UN sbg penentu kelulusan, tetapi sbg alat pemetaan mutu pendidikan secara nasional.

  21. Pak Wali, di kotaku juga sama aja. Kepala sekolah masuk, memberi senyum kepada pengawas, berkeliling ruangan, mendekati anak sambil menyelipkan kunci jawaban ke anak. Satu persatu anak dapat jawaban, sambil ia berkata, “Ayo cepet digarap” (ayo cepat dikerjakan. Kami pengawas ruang hanya terbengong, sakit hati, dongkol, dan kemudian pak Kepsek mendekati kami “Lha pripun Pak, namung lare 25 yen enten sing mbeten lulus nggih pripun?” (Habis gimana Pak, hanya anak 25, kalau ada yang tidak lulus terus gimana?” Yah….. kami terpaksa diam, kasihan pada pak Kepsek.

    Baca juga tulisan terbaru Untung berjudul Alumni UNNES

    1. duh, repot juga kalau hal2 seperti itu masih saja berlangsung, pak untung. padahal, cara2 semacam itu sesungguhnya malah bisa “membunuh” potensi anak di masa depan. mereka akan biasa bergantung pada orang lain, sehingga kreativitasnya jadi mandul.

  22. alhamdulilh, saya tidak terpengaruh teman2 saya yang pada mbawa kunci jwbn… 😎 🙂 . memang aneh Pak, pemerintah berkomitmen untuk membuat UN sebagai standar kelulusan siswa sekaligus melihat kualitas pendidikan, namun dilain pihak, di daerah sepertinya bukan ingin mengukur kualitas pendidkan, tapi mengukur tingkat kelulusan siswa di daerah nya….. buktinya ya seperti yang telah ditulis oleh bapak, tentang kasus diatas,di daerah saya, saya dengar juga ada koordinasi antar pengawas atau sekolah untuk melonggarkan pengawasan… seperti peraturan yang Bapak tadi sebutkan diatas “peserta UN yang membawa alat komunikasi elektronik, kalkulator, tas, buku, dan catatan dalam bentuk apa pun wajib menititipkan ke pengawas ruang ujian selama ujian berlangsung” sama sekali tidak ada yang melakukan(di sekolah saya), teman2 saya banyak yang berleha2 berSMS ria dengan teman lain, saya juga bawa 😆 tapi gak dimaenin 😆 , trus ada juga yang dengan santainya Pengawas keluar sampe 1 jam lebih dari ruangan..ada juga yang melegalkan penyontekan secara terang-terangan ketika +- 10menit UN akan berakhir..,, tapi mau gimana lagi,di mana2 kayak gitu….
    Saya sih berdoa aja biar saya and teman2 saya lulus walopun dengan cara “Curang”.. 😥 😆 dan pemerintah bisa sadar&memperbaiki sistem yang “aneh” ini….. :mrgreen:

    1. wah, kalau memang kejadian seperti benar2 ada, duh, ini sudah jelas2 melanggar POS UN, mas toto. namun, kita juga belum tahu persis, apakah kasus2 semacam itu ditangani secara serius atau tidak. sebab, berita acara yang dilaporkan pengawas pun selalu ditulis “tertib dan lancar”. repot juga ini!

  23. saya gak pernah bisa memercayakan masa depan saya ke hal-hal yang gak pasti. contohnya bocoran kunci jawaban UAN yang gak jelas asalnya.
    mending saya ngerjain soal sendiri. toh soalnya gak seganas tes masuk perguruan tinggi negeri..
    😀
    [rq=1204,0,blog][/rq]Backpacking Ke Bali (2)

  24. Pelaksanaan ujian nasional memang banyak menelan korban baik disiswa maupun guru bahkan sampai kepengadilan dan pemecatan guru. Siswa ada yg kecewa karena tidak lulus gara-gara kurang 0.01 di ujian nasional padahal kesehariannya tergolong anak yang lumayan dibandingkan temannya yg lain…korban akan terus berjatuhan setiap tahun selama pematokan kelulusan secara nasional. Mana mungkin kita tidak akan meluluskan anak karena dia nakal sedangkan ujian nasionalnya lulus..ini adalah sebuah dilema bagi kami para guru…..:((
    .-= Baca juga tulisan terbaru Munawar Kholil berjudul "Contoh Kisi-Kisi dan Soal PKn MA/SMA" =-.

  25. Ya,
    emanx benar suk ada yang ngasih bocoran saat UN
    tapi semua itu tergantung diri sendiri kalau dia percaya diri…
    Dia pasti akan bangga dngan hasilnya sendiri,dari pada jawaan dari orang lain..

Tinggalkan Balasan ke ciwir Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *