Mari kita sejenak rileks. Perhatikan karikatur menggelitik itu. Ada tiga capres, SBY, Megawati, dan JK, yang diilustrasikan tengah berada di sebuah pasar tradisional sambil menenteng megaphone. Sementara itu, beberapa orang pasar tampak tersentak melihat kehadiran mereka. Orang-orang pasar tradisional yang selama ini nyaris terlupakan, tiba-tiba saja merasa mendapatkan kehormatan. Wajah-wajah yang selama ini hanya bisa disaksikan melalui layar gelas, tiba-tiba saja dengan gampang bisa mereka ajak untuk beradu kening. Yang lebih melegakan, para capres tak lupa menaburkan senyuman, berupaya membangun citra diri sebagai sosok yang bijak, familiar, murah senyum, dan akrab dengan wong cilik.
Yang tak kalah menarik, tentu saja lirik yang dilantunkan sang pengamen pasar. “Semoga nggak cuma pas mau nyapres saja!” Ini sebuah gugatan yang menyiratkan sikap “gagap budaya” akibat munculnya fenomena unik menjelang Pilpres. Para capres seperti tengah memerankan sinterklas yang sanggup mengentaskan mereka dari kubangan derita dan kemiskinan.
Salahkah calon-calon pemimpin itu merelakan diri berpayah-payah menembus kerumunan orang-orang pasar yang berjubel dan berbau? Mengapa pula pasar tradisional menjadi incaran?
Ya, ya, ya! Para analis komunikasi politik, sudah pasti akan beropini bahwa aksi turun ke pasar menjelang Pilpres justru perlu dilakukan. Dengan menyambangi, menyalami, menyanjung-punji, melontarkan janji-janji, setidak-tidaknya citra diri sang kandidat akan terbangun dalam benak dan memori rakyat kebanyakan sebagai sosok “serba paling dan serba pasti”. Tiba-tiba saja, mereka dengan fasih melontarkan kata-kata “pasti …” di tengah kerumunan massa yang berjubel untuk memastikan bahwa mereka serius hendak membawa rakyat pada gerbong kemakmuran dan keadilan. Sangat kontras ketika mereka selalu melontarkan kata-kata “akan …” setiap kali rakyat membutuhkan perbaikan nasib saat mereka masih berdiri kokoh di atas panggung kekuasaan.
Hmm …. Ternyata memang tidak mudah menjadi sosok pemimpin ideal di mata rakyat. Namun, mengapa orang tak pernah jera memburunya? ***
teorinya pasar adalah tempat jual beli, pembeli adalah raja, penjual dapat keuntungan dan seterusnya adalah blunder 😆
Baca juga tulisan terbaru masjaliteng berjudul kangen
walah, ternyata politik tak jauh beda dg tawar-menawar di dunia pasar, ya, mas? hehe …
saya suka penggalan kalimat terakhir pak…itulah manusia yang tak bisa puas….
hehe … mungkin itu memang salah satu karakter manusia yang hampir mustahil bisa dihilangkan, mas imoe, haks.
Kaya iklan rokok Gak Ada Loe Gak Rame, hehehehe
walah, itu iklan rokok, mas bawor.
walah, pak satu. saya jadi ikut tersenyum, mengingat ada pula kandidat yang berani turun ke tempat pembuangan sampah segala demi mengambil hati wong cilik. haha… ada-ada saja. kemana aja selama ini, tuan dan nyonya? kesannya rakyat kecil hanya diperlukan suaranya saja, dan akan mudah dilupakan setelah tujuan tercapai.
ah, kenapa jadi apriori saya? padahal perang citra ini kan juga karena para kandidat semakin menyadari potensi rakyat hingga sekecil-kecilnya dalam politik. itu berarti rakyat sudah diperhitungkan eksistensinya. bukankah bagus? 😎
Baca juga tulisan terbaru marshmallow berjudul Lovable Doctor
kayaknya bukan hanya mbak yulfi aja kok yang apriopri, hehe … dari pengalaman masa silam, agaknya rakyat hanya didekati saat menjelang pemilu aja. habis itu, rakyat dilupakan. padahal, seperti yang mbak yulfi sampaikan, kalau menjelang pemilu mereka mau menyambangi rakyat itu bukti kalau rakyat memang diperhitungkan eksistensinya. seharusnya ini perlu dipegang sampai kelak mereka bener2 dapat kursi kekuasaan.
Beuuhh… Kalo beta sing jadi padagangya, Beta mangeluh saja.. Bapak, ngapain kamari, Beta sing hilang pambeli, ngana besar2 bawa kotak2 item bikin lari pambeli, eits!! jgn ngana pegang dagangan beta… bukan buat dipegang, musti dibeli!!
;p
hehe … memang mereka satpol PP, mas bima, kok membikin para penjual lari kebirit-birit, hehe …