Dengan mengusung motto “Datang Tak Diundang, Pulang Tak Diantar”, ziarah bloger Timur Tengah itu akhirnya tergelar juga Jumat Malam hingga Senin Sore (23-26 Januari 2009). Sungguh menyesal saya tidak bisa ikut berkiprah dalam momen penting dan berharga itu.
Saya tertarik mengamati aksi ini karena dua hal. Pertama, karena mottonya itu. Dari sisi bahasa, pemilihan motto itu menyiratkan makna keterbukaan, inklusif, dan bebas dari beban formalitas. Siapa saja boleh ikut tanpa prosedur yang rumit, baik atas nama pribadi maupun komunitas. Dalam rangkaian ziarah yang “panjang” itu, Gunung Kelir menjadi kawasan yang memiliki daya tarik tersendiri. Selain menyajikan pesona alam dengan goa Seplawan-nya yang artistik sekaligus juga eksotis, Gunung Kelir juga menjanjikan pesona bandwith yang memanjakan siapa pun yang berkenan datang. Sungguh beralasan kalau ada yang pernah usul, Gunung Kelir dijadikan sebagai salah satu tempat kamping bloger sebagai alternatif pengganti “pesta” yang konon dinilai cenderung eksklusif dan kurang membumi.
Saya membayangkan, pesona puncak Gunung Kelir jadi semakin bersinar setelah tersentuh kaki para “peziarah” yang datang dari berbagai penjuru mata angin itu. Mas Totok Kelir dan keluarga sebagai sohibul bait –sebagaimana yang saya kenal– sudah pasti akan menyambut kedatangan para sahabat yang selama ini baru dikenal di dunia maya itu dengan segenap ketulusan, keharuan, dan keramahan seperti layaknya orang yang sedang “ngumpulke balung pisah”. Ini artinya, Gunung Kelir yang berada di desa Donorejo, Kec. Kaligesing, Kab. Purworejo, Jateng itu, telah menjadi salah satu “ikon” yang sanggup menanggalkan jubah primordial dan ekskulisivisme yang selama ini –disadari atau tidak—dinilai telah merasuki kompleks blogosphere.
Kedua, dalam amatan awam saya, ziarah bloger Timur Tengah tak hanya sekadar menjalankan “laku spiritual”, tetapi juga mencoba “menyapa” siapa pun yang kebetulan dikenalnya. Maka, jadilah “prosesi” ziarah itu sebagai sebuah fenomena baru di tengah kompleks blogosphere yang berupaya membebaskan mitos “eksklusivisme” dan “feodalisme” agar kalangan bloger bisa lebih “manjing-ajur-ajer”; bebas bergaul dengan siapa saja, akrab bersentuhan dengan berbagai komunitas, dan berupaya mengokohkan semangat berbagi dan bersilaturahmi.
Ziarah, dalam konteks demikian, telah mengalami perluasan makna sebagaimana pengertian dalam KBBI yang berarti kunjungan ke tempat yg dianggap keramat atau mulia (makam dsb.). Berdasarkan agenda yang dipublikasikan TPC, para peziarah justru tidak banyak menyambangi tempat-tempat yang dianggap keramat sebagaimana pengertian ziarah selama ini. Mereka justru suntuk membangun jaringan persaudaraan dan silaturahmi dengan sesama bloger, baik pribadi maupun komunitas. Setidaknya, ada beberapa komunitas bloger yang terlibat, di antaranya TPC, Blogger Ngalam, Blogger Warok, komunitas blogger Madiun, komunitas blogger Ngawi, Bengawan, CahAndong, dan Loenpia. Belum lagi bloger atas inisiatif pribadi yang berkenan memeriahkan acara itu. Sebuah aksi nyata dalam membangun jaringan sosial yang lebih merakyat dan bersahaja. Tak ada alasan untuk tidak mengapresiasi kiprah sahabat-sahabat peziarah itu.
Maka, sungguh, merupakan sebuah kehormatan dan saya sangat terharu ketika sahabat-sahabat TPC –yang menjadi pemrakarsa event itu– berkenan menyambangi gubug saya. Meski banyak yang belum saya kenal dalam silaturahmi darat, kecuali Pak Gempur, Mas Mantan Kyai, dan Mas Andy (satu-satunya bloger Bengawan), saya merasakan pertemuan itu sebagaimana layaknya bertemu dengan saudara-saudara saya yang sudah lama tak bertemu. Sungguh menyenangkan sekaligus mengharukan. Bisa jadi, inilah makna dan hikmah “ngumpulke balung pisah” di balik perjalanan panjang ziarah itu. Benar-benar “Datang Tak Diundang, Pulang Tak Diantar”! Kami sekeluarga mengucapkan terima kasih sekaligus juga permohonan maaf jika sambutan kami hanya ala kadarnya. (Tulisan selengkapnya tentang silaturahmi silakan baca di sini!).
Ziarah Bloger Timur-Tengah telah memulai langkah jitu untuk membangun semangat berbagi dan bersilaturahmi. Event ini perlu dimaknai sebagai “starting point” untuk membongkar sekat-sekat eksklusivisme yang selama ini dinilai masih menghinggapi ranah blogosphere. Tak ada salahnya jika langkah ini terus ditindaklanjuti dengan rajutan silaturahmi antarbloger, baik secara perorangan maupun komunitas. Kalau silaturahmi darat belum memungkinkan untuk dilakukan, blogwalking bisa menjadi cara paling jitu untuk mendinamiskan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan itu di kompleks blogosphere.
Meminjam bahasa Rene Descartes, “Aku bersilaturahmi, maka aku ada”, mungkin bisa dijadikan sebagai pengingat tentang pentingnya makna silaturahmi itu. Mudah-mudahan event semacam itu terus berlanjut pada masa-masa mendatang, meski dalam wujud dan istilah yang berbeda. Nah, bagaimana? ***
Ziarah, silaturahmi, berbagi. Kata-kata yang indah Pak Sawali. Kemarin aku baru coba-coba mudik Banyumasan via dunia maya, lalu sedikit memperluasnya jadi Dulangmasan (eks Karesidenan Kedu-Magelang-Banyumas), kini menemukan “ziarah blogger Timur Tengah” di sini. Mengasyikkan jg ya.
Baca juga tulisan terbaru Bahtiar Baihaqi berjudul Menelusuri Kembali Kampung Halaman via Dunia Maya
@Bahtiar Baihaqi,
wew… banyumas ternyata gampang dilacak lewat dunia maya, mas baihaqi, hehehe ….
Pak Sawali piye thoo…
koq nama saya gak disebut. kan saya ikut ke gunung kelir
(wah, saya koq jadi tamak :-))
@novi,
widih, mohon maaf, mas novie, saya malah ndak bisa ikut ke g kelir, tapi alhamdulillah, temen2 tpc berkenan mampir ke gubug kami.
Duh, andai bisa di sana ya…
Kongkrit tenan jhe.
Baca juga tulisan terbaru Daniel Mahendra berjudul Bukan Tiket Sekali Jalan
@Daniel Mahendra,
hehehe … memang segala sesuatu perlu berandai-andai dulu, kak, mas daniel, hiks. harapannya, suatu ketika pengandaian itu bisa terwujud
Senang sekali saya mengikuti acara ini pak, berharap bisa ketemu jenengan…
Kalau tau kawan2 kerumah jenengan pasti kita dari Ponorogo ikutan mampir..
Semoga kapan2 bisa kepanggihan 🙂
Baca juga tulisan terbaru azaxs berjudul Report Ziarah Blogger
@azaxs,
iya, ya, mudah2an saja lain kali kita bisa ketemu, mas azaxs.
Slogannya mirip kayak film hantu yang pertama ngetren. Klo g salah tusuk sate, eh tusuk jelangkung 😀

Emang Rene Descartes pernah bilang, “Aku bersilaturahmi, maka aku ada” yah?
Kok artikel yang saya baca nulisnya “Aku berpikir maka itu aku ada (Cogito Ergo Sum)”
(Just Kidding pak)
Baca juga tulisan terbaru Adi berjudul Radja – Butuh Waktu
@Adi,
hehehe … kan pinjam, ms adi, hehehe ….