Pesona dari Puncak Gunung Kelir

Kategori Blog Oleh

gk3gk5gk7gk811gk12Hasrat untuk bisa bertemu dengan sahabat-sahabat bloger yang selama ini baru saya kenal secara maya, akhirnya terkabulkan juga. Minggu, 4 Januari, merupakan catatan kopi darat (kopdar) pertama yang mengawali lembar kehidupan tahun 2009 ini. Kecuali, Mas Andy MSE, saya bisa bertemu langsung dengan Mas Totok Sugiharto si Genthokelir, Mas Ardyansah si Mantan Kyai, Mas Sakti Paijo si “Pujangga Jawa” (adik bungsu Mas Totok), Mas Sigid si Tukang Nggunem (yang hadir bersama “perempuan istimewanya), dan juga Mas Novi (yang menemani Mas Ardy ketika terjebak di sarang santriwati Bumiayu, Brebes, Jateng), untuk yang pertama kalinya. Kopdar semacam ini bisa jadi sanggup menghapuskan jejak-jejak aristrokrasi sekaligus membuka sekat-sekat primordialisme yang dengan sadar atau tidak seringkali dibangun oleh sebuah komunitas yang cenderung eksklusif dan kurang membumi.

Ya, ya, ya! Kopdar memang memiliki keunikan tersendiri. Selain makin mengakrabkan jalinan silaturahmi yang selama ini telah berlangsung di dunia maya, kopdar juga bisa menjadi jalan pembuka untuk mengenal lebih jauh sisi-sisi kehidupan „privacy“ yang selama ini (nyaris) tak terungkap di sebuah blog. Bisa jadi, jalan semacam inilah yang bisa membuat semangat berbagi dan bersilaturahmi antarsesama bloger tak lagi terjebak dalam bentangan slogan dan retorika. Dari balik kopdar, kita bisa melakukan curah pikir dan pendapat tentang berbagai hal yang bisa membuat aktivitas ngeblog menjadi lebih bermakna.

Setidaknya, begitulah yang saya rasakan ketika hadir dalam kopdar di puncak Gunung Kelir (GK) itu. Pesona GK yang indah dan eksotis benar-benar menambah suasana Kopdar jadi makin bermakna. Sungguh tidak saya duga kalau nama GK yang selama ini (nyaris) tak pernah tercantum dalam peta Indonesia, ternyata menyimpan pesona yang luar biasa. Dari puncak GK inilah konon jaringan internet di Jawa Selatan dikendalikan melalui Big Bond (mohon maaf kalau salah ejaan, hiks) yang kebetulan digagas oleh Mas Totok Sugiharto.

Aura yang terpancar dari balik pinggang bukit itu makin terasa ketika GK konon juga menyimpan sisa-sisa peradaban masa lalu. Goa Seplawan, misalnya, dikisahkan pernah menjadi „istana kelelawar“ dengan jumlah „penduduk“ yang luar biasa. Dari balik labirin itu bisa jadi masih tersimpan banyak misteri yang belum terungkap. Belum lagi dengan adanya beberapa situs yang konon belum jelas asal-usulnya. Agaknya, para sejarawan dan ahli purbakala kita perlu melakukan kajian dan penelitian khusus tentang keberadaan goa Seplawan dan situs-situs yang ada di sekelilingnya. Setidaknya, bisa menguak tabir, benarkah memang pernah ada peradaban manusia „masa lalu“ di pinggang bukit GK ini.

Berada di puncak GK, kita seperti dihadapkan pada bentangan kanvas indah yang dilukis oleh Sang Pemilik Keindahan Sejati. Kita seperti tengah berada dalam balutan jubah raksasa yang di bawahnya terbentang permadani hijau yang luas (nyaris) tanpa batas. Mudah-mudahan kesan yang saya rasakan jauh dari kesan hiperbolis.

Pesona puncak GK makin sempurna ketika sang sohibul bait, Mas Totok Sugiharto beserta keluarga dan sanak-kerabatnya menyambut kedatangan kami tak ubahnya seperti saudara yang sudah lama bertemu. Dalam ungkapan Jawa dikenal dengan sebutan „grapyak-semanak dan sumedulur“ (ramah dan bersahabat), jauh dari kesan sombong, apalagi elitis dan aristokrat. Kalau ada yang usul, suatu ketika puncak GK menjadi alternatif kemping bloger, agaknya tidak berlebihan, hehehe ….

Yang mengharukan, Mas Totok, istri, dan putri imut tercintanya, berkenan repot-repot mengantarkan kami (saya, Mas Ardy, dan Mas Novi) jauh menuruni puncak bukit hingga ke Jombor, Yogyakarta. Sedangkan, Mas Andy MSE dan Mas Sigid serta „perempuan istimewanya“ menempuh jalan yang berbeda karena naik kendaraan sendiri. Sungguh, sebuah kopdar yang benar-benar menyenangkan. Ayo, siapa menyusul? ***

Penggemar wayang kulit, gendhing dan langgam klasik, serta penikmat sastra. Dalam dunia fiksi lebih dikenal dengan nama Sawali Tuhusetya. Buku kumpulan cerpennya Perempuan Bergaun Putih diterbitkan oleh Bukupop dan Maharini Press (2008) dan diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada hari Jumat, 16 Mei 2008 bersama kumpulan puisi Kembali dari Dalam Diri karya Ibrahim Ghaffar (sastrawan Malaysia).

172 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Tulisan terbaru tentang Blog

Setelah 9 Tahun Ngeblog

Juli 2007 merupakan saat pertama saya belajar ngeblog (=mengeblog). Sering berganti-ganti engine,

Enam Purnama Tanpa Jejak

Sudah enam purnama, saya tidak meninggalkan jejak di blog ini. Sejatinya, enam
Go to Top