Para Petualang di Tahun Politik

Bisa jadi benar kalau ada yang mengatakan bahwa tahun 2009 adalah tahun politik buat bangsa kita. Pada tahun itulah para politikus ditengarai akan menggenjot dan menguras naluri politiknya untuk melakukan…

Sastra Koran versus Sastra Cyber

Semenjak dunia sastra merambah dunia maya alias internet, banyak kalangan –terutama mereka yang mengklaim dirinya sebagai sastrawan– merasa gerah. Pasalnya, lewat berbagai blog yang gratisan, hampir setiap orang bisa memublikasikan teks-teks sastra ciptaannya. Bahkan, teks sastra yang tergolong “sampah” pun bisa dengan mudah terpublikasikan. Hal yang (hampir) mustahil terjadi dalam sastra koran. Untuk bisa meloloskan teks sastranya di sebuah media cetak, minimal harus lolos dari “barikade” selera sang redaktur. Ini artinya, tidak bisa sembarang teks sastra bisa lolos dari persyaratan ketat yang ditetapkan oleh sang redaktur.

Menurut hemat saya, dikotomi sastra koran versus sastra cyber bukanlah perkara substansial. Sastra sangat erat kaitanya dengan dunia imajiner yang bebas ditafsirkan oleh orang dari berbagai kalangan. Ini artinya, siapa pun punya hak untuk menafsirkan nilai-nilai estetika dan nilai-nilai etika alias pesan moral yang terkandung di dalamnya. Persoalan sastra koran dan sastra cyber hanyalah persoalan medianya saja. Kalau sastra koran selalu mengenal batasan-batasan yang dikendalikan oleh otoritas sang redaksi dan selera pasar, sastra cyber (hampir) tak mengenal batasan-batasan otoritas itu. Setiap orang pun bebas memiliki blog gratisan yang bisa dijadikan sebagai media untuk memublikasikan karya-karyanya. Selain itu, koran juga mengenal batasan dimensi ruang dan waktu. Pembacanya hanya kebetulan mereka yang berlangganan dan dibatasi oleh waktu penerbitan. Untuk rubrik sastra dan budaya biasanya terbit setiap hari Minggu yang acapkali hanya dijadikan sebagai “suplemen” hiburan, melengkapi kolom-kolom keluarga dan entertainment lainnya.

Catatan dari Balik Kabut

 

Dari balik kabut
Kurentangkan tangan dhaifku menggapai mega-mega
Kutuliskan namaku di setiap labirin kesunyian
Memberikan tanda-tanda

Aku berdiri di sini
Di balik kabut mega-mega
Kusaksikan para malaikat mengadili para pendosa

Pilu tangis mengiris kolong langit
Menggetarkan semesta
Kabut berwarna merah darah
Mengurung semesta
Namaku tak lagi punya tanda
***

Ya, negeri ini memang tengah diselimuti kabut. Tak hanya tsunami, bencana alam, atau kebakaran hutan. Tapi ada yang jauh lebih parah yang telah membikin negeri terpuruk dalam lumpur kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Ya, korupsi! Maksiat korupsi telah membikin bangsa ini jatuh dalam kebangkrutan. Marwah dan martabat bangsa tergadaikan oleh keserakahan sekelompok elite yang telah melupakan sumpah dan ikrarnya. Demikian parahnya “efek domino” yang ditimpakan oleh para koruptor sampai-sampai bangsa dan negeri ini tak berdaya ketika bangsa lain melempari wajah bangsa kita dengan telor busuk. Bangsa kita yang miskin, terbelakang, dan bodoh seakan-akan sudah tak punya kekuatan untuk sekadar mengingatkan, apalagi berteriak. Sipadan dan Lipadan sudah diembat, batik sudah diklaim sebagai karyanya, lagu-lagu sudah disikat habis dan dipatenkan. Belum lagi terhitung saudara-saudara kita yang menjadi korban arogansi bangsa yang mengaku dirinya sebagai bangsa serumpun itu. Namun, apa yang bisa kita lakukan? Kita hanya bisa mengerutkan jidat dan menunggu-nunggu, ulah apalagi yang akan dipertontonkan oleh negeri jiran itu di depan mata kita.

korupsi.jpgKebangkrutan bangsa kita agaknya sedang dijadikan “amunisi” negeri jiran itu untuk mengumbar arogansi dan kejumawaannya. Mereka punya nyali karena mereka yakin kita tak akan sanggup melawannya. Tak heran jika kasus pemukulan wasit karate Indonesia oleh polisi Malaysia pun hanya dianggap sebagai perkara kecil yang tak perlu diladeni. Kekerasan terbuka yang dilakukan oleh pasukan Ikatan Relawan Rakyat Malaysia (RELA) terhadap imigran Indonesia telah menjadi bagian “hiburan” dari preman-preman yang didesain secara resmi oleh negeri itu.

Sulitnya Berbuat Adil!

Saya tidak tahu, apakah idiom yang menjadi judul postingan ini, hanya berlaku untuk diri saya sendiri atau juga berlaku bagi orang lain. Yang pasti, sekadar hanya untuk mengelola blog saja,…

Menyoal Kembali Pendidikan Spiritual

Hingga saat ini, saya masih terkesan dengan pemikiran-pemikiran (almarhum) Rama Mangunwijaya tentang dunia pendidikan. Pandangan-pandangannya mencerahkan, inklusif, kritis, dan selalu menyadarkan insan-insan pendidikan untuk mengembalikan dunia persekolahan kepada “khittah”-nya sebagai…

Hari Ibu dan Wajah Peradaban Bangsa

Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran seorang ibu sangat besar dalam mewarnai dan rnembentuk dinamika zaman. Lahirnya generasi-generasi bangsa yang unggul dan pinunjul, kreatif, penuh inisiatif, bermoral tinggi, bervisi kemanusiaan, beretos…

Mencoba QuickPress

Seperti pernah saya posting di sini bahwa wordpress 2.7 tampil beda, terutama pada menu wp-admin. Yang paling mencolok adalah kelengkapan fiturnya yang interaktif sehingga kita bisa langsung masuk ke menu…

File .htaccess Membuat Kepala Puyeng

Seharian kemarin, blog ini hanya bisa diakses halaman homepage-nya. Ketika masuk halaman post, selalu muncul pesan berikut ini: Not Found The requested URL /2008/12/13/menjelang-pergantian-tahun/ was not found on this server.…

Menjelang Pergantian Tahun

Tak lama lagi, kita akan melakukan “tutup buku”. Banyak sudah peristiwa yang tercatat di dalamnya. Mungkin sangat beragam corak dan warna tintanya. Mungkin juga kita terpaksa meminjam tinta tetangga atau…

WordPress Versi 2.7 Tampil Beda

Belum lama berselang wordpress memberikan rekomendasi kepada para penggunanya untuk meng-upgrade wordpress versi 2.6.5, kini sudah muncul rekomendasi terbaru untuk meng-upgrade versi 2.7. Wordpress 2.7 versi beta memang sudah lama…