Kisah ini merupakan lanjutan Menagih Janji Politisi di Negeri Kelelawar (1) dan Ontran-ontran di Negeri Kelelawar (2). Silakan baca dulu!
Penculikan para aktivis telah memicu semangat kaum muda untuk menyuarakan suara-suara pemberontakan yang selama ini terbungkam. Semakin banyak aktivis yang digebug, semakin menambah daftar kaum muda yang berempati. Pintu-pintu kampus yang kokoh pun jebol. Para mahasiswa yang selama ini ditabukan terjun ke ranah politik praktis berduyun-duyun keluar kandang. Mereka lebur bersama para aktivis di luar tembok kampus untuk melakukan sebuah perubahan. Maka, gegap-gempitalah negeri Kelelawar. Jalan-jalan protokol di pusat kota selalu padat para pendemo. Saking padatnya, tak jelas lagi dibedakan, mana pendemo yang murni ingin melakukan perubahan dan mana pendemo yang ingin memancing di air keruh.
Syahdan, rombongan kelelawar dari berbagai penjuru menumpuk di satu titik. Suaranya menggema hingga mampu menggetarkan pintu langit. Cericit kelelawar dengan warna tenor, bariton, dan bass, menyatu ke dalam sebuah orkestra yang menyayat pedih. Mereka berbondong-bondong menuju ke gedung wakil rakyat kelelawar yang bersebelahan dengan istana Ki Gedhe Padharane yang megah. Seperti dikomando oleh bisikan-bisikan gaib, mereka sontak menyerbu gedung wakil rakyat. Ada yang merobek kain gordyn, mencongkel jendela dengan gigi-giginya yang tajam, mengencingi pintu masuk, meludah di sembarang tempat, ada juga yang memekik-mekik dan memaki-maki. Sebagian rombongan meluncur menuju ke atap gedung wakil rakyat dengan tatapan wajah penuh amarah.
Di depan gedung wakil rakyat, ribuan kelelawar bergantian menyampaikan orasi. Berpidato berapi-api hingga mulut mereka berbusa.
“Sudah lebih dari tiga dekade, kita dipimpin oleh seorang tokoh korup kelas wahid. Namun, rupanya wakil-wakil rakyat kita yang terhormat tidak memiliki kepekaan dalam menangkap suara hati nurani rakyat. Mereka telah bersekongkol dan membangun sebuah kebulatan tekad untuk mengangkat dan memilih kembali Ki Gedhe Padharane sebagai pemimpin kita. Bagaimana, kawan-kawan? Haruskah kezaliman demi kezaliman terus kita biarkan hingga mewaris ke anak cucu?” teriak seekor kelelawar dengan mata merah saga melalui sebuah megaphone di sela-sela kerumunan pendemo yang sedang dilanda murka. Mereka tidak menyadari bahwa di berbagai sudut dan sisi gedung wakil rakyat yang (nyaris) tak terlihat oleh massa, telah siaga prajurit berpakaian preman yang cukup terlatih untuk memuntahkan timah panas. Hanya dengan sekali menarik pelatuk, mereka sanggup menghabisi nyawa para pendemo yang dianggap telah melakukan makar terhadap negara. Para pendemo tidak peduli, lebih tepatnya tidak tahu. Mereka terus meneriakkan yel-yel; melakukan perlawanan terhadap rezim Ki Gedhe Padharane yang dianggap telah menyengsarakan jutaan rakyat kelelawar.
“Kita lawan!” sahut seekor kelelawar berwajah pucat.
“Betuul! Rezim yang korup harus kita lawan!” sahut yang lain gegap gempita.
Dengan nada perih, seekor kelelawar melantunkan sebuah elegi yang menghanyutkan sekaligus menyedihkan.
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama ….
(Dikutip dari puisi karya penyair Indonesia, Taufik Ismail: “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”)
Suasana ibukota negeri kelelawar makin tak terkendali. Berjam-jam lamanya ribuan kelelawar mengepung dan menguasai istana wakil rakyat. Gedung megah yang biasa digunakan untuk menyusun rencana kongkalingkong dan persekongkolan itu jadi lumpuh dan tak berdaya. Para penghuninya sudah terbang entah ke mana. Mereka yang masih terjebak di dalam gedung tak memiliki keberanian untuk mengintip kejadian di luar sana, apalagi menampakkan muka.
Gerakan rakyat kelelawar dan para pendemo makin agresif. Dengan kuku dan taring yang tajam, mereka menggerogoti dinding-dinding gedung wakil rakyat. Sambil terus berteriak histeris, ribuan massa kelelawar yang menumpuk di atap gedung menghancurkan atap, lantas turun dengan tergesa-gesa. Dinding-dinding gedung jebol di sana-sini. Lantas, mereka beramai-ramai menyerbu ke dalam gedung sambil merusak benda-benda yang ditemukannya. Sebagian kelelawar mengacak-acak isi laci untuk mencari-cari dokumen kenegaraan.
Sementara itu, tumpukan massa kelelawar di luar gedung makin berjubel seperti baru saja diturunkan dari pintu langit. Mereka segera bergabung, lantas berbaur dengan suara dan teriakan yang sama.
Dalam suasana kacau dan chaos semacam itu, tiba-tiba terdengar letusan senjata api secara beruntun. Tak jelas dari arah mana peluru itu dikendalikan. Hanya dalam hitungan detik, empat kelelawar yang baru saja hendak terbang dari bubungan atap gedung wakil rakyat tersungkur. Jasadnya langsung menggelepar mencium bumi. Teriakan histeris spontan membahana seperti hendak merobak dinding langit. Gemanya mengangkasa hingga kabar tragis itu dengan cepat tersebar ke berbagai belahan dunia melalui koran, televisi, atau internet.
Tertembaknya empat kelelawar bukannya menyurutkan nyali para pendemo. Mereka justru makin terpicu nyalinya untuk secepatnya melakukan perubahan. Semangat mereka makin tumbuh berlipat-lipat ketika seorang tokoh demokrasi yang selama ini dianggap sebagai “klilip” oleh rezim Ki Gedhe Padharane ikut menyatakan keprihatinan dan ikut berbaur di tengah massa.
“Saudara-saudara, empat sahabat kita telah menjadi tumbal. Demi sebuah perubahan, mereka rela mengorbankan nyawanya. Sungguh, saya terharu melihat perjuangan sahabat-sahabat kita itu. Kita doakan, semoga arwah sahabat-sahabat kita yang telah menjadi tumbal itu diberikan kelapangan jalan menuju ke haribaan-Nya,” kata sang tokoh demokrasi dengan mata bekaca-kaca. Tiba-tiba saja suasana mendadak sunyi dan hening. Hanya sesekali terdengar suara kendaraan yang samar-samar di kejauhan sana. Mereka tampak khusyu’ dan khidmat memanjatkan doa.
Beberapa menit kemudian, suasana kembali onar. Cericit kelelawar kembali membahana dan bersahut-sahutan. Seperti dikomando, mereka menyalakan api, lantas dengan cepat membakar tumpukan kertas di depan pintu masuk gedung wakil rakyat. *** (Bersambung)
3d animation tutorials
Situasi Chaos di Negeri Kelelawar Makin Parah (3): Catatan Sawali Tuhusetya
semoga keadaan di Negeri kelelawar
ada yang membantu…
semoga para kelelawar bersuara bukan karna di provokasi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang akhir nya akan membuat kericuhan bahkan sampai dengan kekerasan,