Sabtu, 11 Oktober 2008, merupakan hari pertama masuk sekolah pasca-lebaran. Belum memasuki jam kegiatan pembelajaran efektif. Kami masih memanfaatkannya untuk menikmati silaturahmi dengan sesama guru dan karyawan serta anak-anak dengan berhalal-bihalal. Sekitar 600-an siswa tertunduk takzim sambil berjabatan tangan dengan para guru sebagai wujud permohonan maaf terhadap semua kekhilafan yang setahun lamanya mereka lakukan, baik ketika berlangsung di sekolah maupun di luar sekolah.
Malam harinya, segenap keluarga besar warga RT di kompleks perumahan kami, juga menggelar acara halal-bihalal di depan gubug kami yang kebetulan berdampingan dengan rumah Ketua RT. Terasa benar jalinan komunitas yang rukun dan guyup. Semua borok dan luka yang disebabkan oleh kesalahan dan kekhilafan selama setahun lamanya dalam hidup bertetangga seolah-olah rontok dan berguguran begitu proses halal-bihalal berlangsung. Di atas gelaran tikar dengan sajian makanan bersahaja dan ala kadarnya, kami menikmati suasana silaturahmi dengan penuh sentuhan keakraban dan kekeluargaan. Suara tangis anak-anak, canda, dan tawa berbaur dan larut ke dalam jalinan silaturahmi yang syahdu.
Memang secara pribadi sudah saling bersilaturahmi dengan cara bertandang dari rumah ke rumah. Namun, atas kesepakatan warga, masih perlu dilakukan secara bersama-sama sebagai upaya untuk makin mempererat nilai persaudaraan dan mengenal lebih jauh anggota keluarga masing-masing.
Momentum semacam itu bisa jadi memiliki kandungan nilai kemanusiaan dan sekaligus juga makna ke-Illahi-an yang cukup dalam sebagai manifestasi sikap kehambaan yang telah dilakukan sebulan penuh selama Ramadhan. Meski demikian, upaya saling memaafkan dan berbuat baik kepada sesama idealnya tidak semata-mata dilakukan hanya pada saat Lebaran, tetapi perlu terus dilakukan secara berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari.
Halal-bihalal yang merupakan budaya khas negeri ini bisa jadi juga merefleksikan bahwa Islam merupakan agama yang toleran, yang mengedepankan pendekatan hidup rukun dengan sesama secara lintas-agama. Perbedaan agama bukanlah tanda untuk saling memusuhi dan mencurigai, melainkan sebagai sarana untuk saling berlomba dalam berbuat kebajikan.
Semoga lebaran dengan budaya halal-bihalal-nya yang khas di negeri ini mampu menjadi media yang tepat untuk memperkuat nilai persaudaraan antarsesama anak bangsa sehingga kesombongan berbasiskan nilai-nilai chauvinisme sempit yang kerap kali hadir di atas panggung kehidupan sosial bisa terhindarkan. ***
bagus pak terus lanjutkan ,, hehe
silaturrahmi janganlah smapai putus, karena barnag siapa yang memutuskan tali silaturrahmi maka org tersebut tdk akan diberkahi rizkinya.
Semakin guyub, semakin membumi. Semakin kita tahu siapa diri kita dan bagaimana menempatkan posisi kita di antara masyarakat manusia ini…
Baca juga tulisan terbaru Daniel Mahendra berjudul Kompas 9 Oktober
amiiin, mudah2an suasana semacam itu tak hanya berlangsung saat lebaran, tapi juga pada saat yang lain, mas daniel.
Wah jadi damai, sejartera lahir dan batin,
Gayeng tuh photo photnya,
Semua kalau dinikmati terasa menyenangkan dan mebahagiakan,
Selamat pak Sawali
Baca juga tulisan terbaru Sumintar berjudul Peran Blogger Mandiri Dalam Menggerakkan Sektor Riil
amiin, terima kasih, pak sumintar. begitulah, pak, suasana halal-bihalal di kampung.
wah asyik banget..
Baca juga tulisan terbaru jagoan SEO berjudul Scam Victim
begitulah, mas, jadi makin akrab dengan tetangga.
kalau saya silaturahmi dilanjutkan di Plurk saja bersama bapak Presiden Plurk Indonesia, Bapak Sawal hihihi
EM
Baca juga tulisan terbaru Ikkyu_san berjudul Mana pasanganku?
hehehe … ternyata plurk bisa juga dimanfaatkan utk birsilaturahmi, ya, bu, hiks.