Goyang Poco-poco dan Kesetaraan Gender

lkpj(Tiba-tiba saja saya jadi teringat senam poco-poco yang pernah melanda negeri ini. Banyak instansi yang menggelarnya sebagai ajang lomba. Tak sedikit kaum ibu yang menggandrunginya. Berikut ini sekelumit kisah fiktif tentang “Goyang Poco-poco dan Kesetaraan Gender” dengan ragam bahasa santai dan “slengekan”; sekadar “jampi sayah” daripada ikut-ikutan mikir hiruk-pikuk bursa saham Asia yang jatuh terguling-guling. Haks, apa hubungannya?)
***

Pak Bodro geleng-geleng kepala menyaksikan ulah istrinya. Belakangan, Bu Bodro giat berlatih senam poco-poco. Jika hanya dua atau tiga kali seminggu, baginya tak masalah. Tapi hampir setiap sore, perempuan separo baya bertubuh gembrot itu selalu “kabur” dari rumah. Kewajiban rutin menghidangkan cem-ceman teh kesukaannya sudah dilupakan. Malam harinya, Bu Bodro segera mendengkur, lupa menghidangkan santap malam, apalagi melayani hasrat biologis yang sering datang tiba-tiba setiap kali Pak Bodro mencium bau ketiak istrinya itu.

Meski demikian, Pak Bodro tak memiliki nyali menegur istrinya. Lelaki pensiunan pegawai Dinas Sosial itu paham betul tabiat istrinya yang antikritik, alergi nasihat, dan lebih senang didiamkan daripada diberi pepatah-petitih. Bisa-bisa terjadi perang “Bharatayudha” jika sampai Pak Bodro usil mengganggu kesenangannya. Yang dapat dilakukan Pak Bodro hanya membisu, menahan rasa masygul, menimbun kesabaran di rongga dada, sembari menahan kepalanya yang tiba-tiba terasa puyeng.

Suatu sore, Pak Bodro iseng-iseng jagongan dengan Pak Kentring, tetangga sebelah yang kebetulan tengah sibuk menyapu halaman.

“Tumben, kok resik-resik sendiri, Pak? Ibunya anak-anak tindak ke mana?” tanya Pak Bodro memancing obrolan. Pak Kentring yang bertubuh tinggi kurus itu sejenak menghentikan aktivitasnya.

“Alah, kayak Pak Bodro nggak tahu aja, kan tadi pergi bareng sama Bu Bodro.

“Senam poco-poco?”

“Lha iya, toh, Pak. Poco-poco kan lagi digandrungi ibu-ibu! Katanya sih, mereka sedang mematangkan tim untuk ikut lomba dengan hadiah total puluhan juta!”

“Oh, begitu!”

“Loh, memang Pak Bodro ndak dikasih tahu sama Ibu?”

Pak Bodro terdiam. Tenggorokannya tercekat. Pertanyaan balik Pak Kentring serasa merajam ulu hatinya. Pak Bodro merasa serba salah. Jika Pak Kentring dapat menerima kesibukan baru istrinya, kenapa dirinya jadi uring-uringan?

“Loh, Pak Bodro kok malah diam?”

“Emmm …. Anu, Pak, tiba-tiba saja telinga saya kok merasa enak mendengarkan musik poco-poco,” sahut Pak Bodro tergagap sekenanya. Dari arah rumah Bu RT, terdengar sayup-sayup musik poco-poco yang rancak dan ingar-bingar mengiringi vokal Jopie Latul yang melengking-lengking.

Kedua lelaki separo baya itu terus terlibat obrolan santai. Diam-diam, Pak Bodro mengagumi sikap Pak Kentring yang mau bertukar peran dengan sang istri di rumah. Ketika Bu Kentring pergi, Pak Kentringlah yang membereskan semua pekerjaan rumah tangga, mulai dari mencuci, menyeterika, menyapu, hingga memasak.

“Itu juga yang kami tanamkan kepada anak-anak, Pak. Pekerjaan di rumah itu bukan melulu urusan kaum perempuan. Lelaki pun harus belajar dan terbiasa untuk mengurus pekerjaan sumur dan dapur,” tegas Pak Kentring mengakhiri obrolan setelah melihat ibu-ibu yang barusan selesai berlatih senam poco-poco sudah tiba di rumah.
***

Obrolan santai dengan Pak Kentring dapat mencairkan rasa masygul yang belakangan ini membeku di dada Pak Bodro. Dengan wajah sumringah, dia bergegas menyambut kepulangan istrinya.

“Poco-poconya tadi ramai, Bu? Banyak yang ikut latihan?”

“Alah, sekarang nggak usah poco-pocoan, bikin mangkel aja!” sahut Bu Bodro sewot. Pak Bodro tersentak.

“Loh, memangnya kenapa, Bu?”

“Bu RT nggak adil. Masak saya yang setiap sore latihan, malah nggak dipilih jadi anggota tim lomba. Dasar gombal! Mereka yang malas latihan, gerakannya kaku, dan menyebalkan malah dipilih, huh! Jika gerakanku kurang luwes, mbok ya dibetulkan. Tidak lantas main coret begitu aja pada orang yang sudah susah-susah ikut latihan!”

“Ya, biar toh, Bu. Nggak ikut lomba poco-poco juga nggak patheken saja, kok!”

“Bukan itu masalahnya, Pak. Aku malu sama Bu Kentring, Bu Hono, Bu Hadi, dan Bu Jatmin, yang setiap sore berangkat sama-sama. Mereka pada dipilih, lha kok saya nggak. Apa itu nggak sama saja Bu RT melempari telur busuk ke wajah saya, hem? Pokoknya, saya protes sama Bu RT!”

“Sudahlah, Bu. Terima saja keputusan Bu RT. Protes juga nggak bakalan menyelesaikan masalah. Ibu harus ikhlas!”

“Tidak! Jika saya nggak diikutkan, saya menuntut agar Bu Kentring, Bu Hono, Bu Hadi, dan Bu Jatmin, juga harus dikeluarkan dari tim. Itu baru adil namanya. Sudah, Pak. Saya nggak mau berdebat, mau mandi!” sergah Bu Bodro sambil berjingkat menuju ke kamar mandi. Pintu dibanting keras-keras untuk melampiaskan kekecewaannya. Pak Bodro tergagap seraya mengelus dada. Sulit rasanya memberikan pengertian kepada istrinya itu. Jika suasana sudah “mencekam” demikian, Pak Bodro tak bisa berbuat apa-apa.
***

Di halaman rumah Bu RT, musik poco-poco yang khas kembali membahana. Dengan penuh semangat, ibu-ibu yang telah terpilih menjadi anggota tim lomba serentak menggerakkan tubuh mengikuti irama. Langkah kaki, goyang pinggul, dan gerak tangan mereka semakin rancak dan kompak. Tiba-tiba iringan musik terhenti. Mereka tersentak ketika melihat Bu Bodro dengan wajah memerah saga berdiri di depan Bu RT sambil berkacak pinggang.

“Saya protes, Bu RT. Kenapa saya nggak diikutkan dalam tim? Apa gerakan tubuh saya kurang luwes atau memang Bu RT tidak senang dengan saya, hem? Jika Bu Kentring, Bu Hono, Bu Hadi, dan Bu Jatmin saja diikutkan, kenapa saya tidak?”

“Sabar. Bu, sabar! Bukan hanya saya yang mengambil keputusan itu, tapi juga ibu-ibu peserta yang lain, termasuk Bu Kentring, Bu Hono, Bu Hadi, dan Bu Jatmin.”

“Betuuuuul …..,” sahut ibu-ibu yang lain serempak.

“Alasannya apa, ibu-ibu yang saya hormati? Apa lantaran tubuh saya yang gembrot begini atau kehadiran saya di kampung ini memang sudah tidak dikehendaki?”

“Bukan, bukan itu, Bu! Penyebabnya hanya lantaran Pak Bodro tidak berkenan jika Ibu menjadi anggota tim.”

Tanpa ba-bi-bu, Bu Bodro segera balik kanan dan berjingkat menuju ke rumah. Pak Bodro yang tengah asyik menonton tayangan berita di televisi tersentak ketika mendengar pintu depan dibanting keras-keras. Pak Bodro segera berdiri. Belum sempat bertanya, Bu Bodro sudah mencecarnya dengan setumpuk caci-maki yang memerahkan telinga.

Pak Bodro hanya bisa termangu seperti keledai dungu. Dia membiarkan saja sang istri mengumbar amarah. Pak Bodro tidak tahu, apakah emosi istrinya yang gampang tersulut itu gara-gara demam poco-poco yang gagal menaikkan gengsi dan harga dirinya? Entahlah! ***

Keterangan: Gambar dicomot dari sini.

No Comments

  1. wah..memangnya se-njlimet itu yak, pak Sawali? 😀 saya belum berkeluarga sih.. jadi nggak tau 😀

    semoga besok bisa punya suami yang kayak pak Kentring, yang menganggap istri itu PARTNER OF LIFE, bukan hanya sekedar babu, pesuruh dan pengasuh suami yang sudah lelah mencari nafkah di luar rumah 😀 *ngelantur mode : on*

    darnias last blog post..Two Sides of Every Story

    1. saya doakan deh, mbak darnia, semoga nanti *eh jangan lama2, haks* dapat pasangan hidup yang penuh pengertian dan setia pada mbak darnia. supaya ndak sampai mengalami kejadian seperti bu bodro, haks.

  2. huehuehuehuehuehuehuehue….
    ternyata senam poco-poco seperti pilkada ya..? gak kepilih trus emosi…
    saya juga ada pengalaman pak dengan poco-poco, setiap minggu pagi selalu diadakan di depan halaman rumah, jadinya selalu bangun pagi tanpa membunyikan weker:d

    gajah_pesings last blog post..Mak, Maafkan aku..

  3. Hua ha ha ha… saya jadi ingat juga pak! Beberapa tahun lalu, karena pra eksekutif nggak bisa bikin Kendal berprestasi trus mereka bikin poco-poco massal, rekor gandengan tangan… dll, heheh… lupa kalau banyak pembangunan nggak tepat sasaran misalnya terminal nganggur di Weleri, pasar-pasar yang ngejar setoran tanpa mikir layout wilayah, pelabuhan yang besar gaungnya saja tapi tidak fungsional, dll…
    *saya termasuk pengamat gerakan perempuan pak Sawali! Alias suka mengamati perempuan bergoyang poco-poco, heheh…

    Andy MSEs last blog post..kembali pulang

    1. betul banget, mas andy, itulah kebijakan pemda yang tidak visioner. kini, malah makin banyak bangunan yang mangkrak. btw, salut juga nih sama mas andy yang suka mengamati gerakan kaum perempuan, haks, bukan semata2 gerakan senamnya, kan?

  4. Kang Kang. kirain apa? tak tahunya Kang Bodro lagi Dimarahi Istrinya To? wah kok kaya ISTI (ikatan suami tipu istri) he he kasihan tu bu bodro.kenapa kang bodro gak ijinkan…padahal kan sudah semangat. itulah repotnya memhami antara harga diri keluarga, semangat istri, dan harga diri keluiarga bila istri mau ikut senam tapi dianggap (oleh suami) justru akan memberi aib kelurga. yah sabar aja kang bodro. biarkan istri anda poco-poco. ntar kan ……..

  5. Susah juga ya, kalau dalam semua bidang perempuan mau menuntut peran dan porsi yang sama. Jadinya hal-hal yang tidak perlu malah menjadi keributan.

    Sungguh,emansipasi yang keblablasan kalau sampai wanita menuntut persamaan dengan pria di segala bidang (termasuk cerita poco-poco-nya pak Sawali di atas). Jadi jangan heran jika jaman sekarang banyak hal yang aneh dan tidak patut dikerjakan perempuan. Ada tinju perempuan, sepakbola perempuan, supir bus perempuan, kernet perempuan, tukang becak perempuan, dst…

    Syamsuddin Ideriss last blog post..Datamatrix Barcode

    1. kesetaraan gender mestinya ndak sampai menggeser peran kaum laki-laki, pak syam. sepasang suami-istri perlu saling melengkapi karena secara biologis dan seksual mereka memang memiliki kodrat yang berbeda *walah kok jadi sok tahu lagi saya, haks*

  6. saya setuju itu, pak. bukan hanya kesetaraan gender, tapi juga usia. anak-anak juga ga cuman bisa bermain2 tok, tapi bisa nyapu, masak, apa aja yang bisa dilakuin si anak. bapak jg ndak melulu ongkang2 nonton berita ato baca koran, tapi sesekali nyapu rumah, ato masak kalo bisa. wah pasti bahagia sekali puny keluarga bgitu…. idaman saya 😀

    1. betul banget, mbak fen, setiap keluarga idealnya memang perlu menerapkan kesetaraan gender utk memberikan pendidikan terbaik buat putra-putrinya, semoga mbak fen nanti *jangan lama2 menunggu, hikd* mampu menciptakan keluarga semacam itu.

  7. *ngakak dulu*

    potret sosial yang apik sekali, pak sawali.
    dibungkus oleh kisah demam poco-poco, tapi sebenarnya mengetengahkan masalah gender dan kesetaraannya dalam keluarga.

    ahahahah… semoga saya tak menjadi seorang ibu bodro dalam keluarga.
    ditunggu potret-potret sosial berikutnya…

    marshmallows last blog post..Naik Beijing ke Canberra

  8. Wah Bener, saya Jadi Teringat kembali dengan omongan Guru Ngaji Saya, al thoyyibaatu li al thoyyibah ..al Sayyiaatu li al sayyiah .. kayak dua keluarga di atas, Keluarga Bodro dengan keluarga kentring..

  9. Entah asal mulanya dari mana, tarian Poco-Poco itu meniru tarian Madison dari Amerika. Memang tarian Poco-Poco ini di Indonesia bagian Timur telah menjadi tarian rakyat dan semua orang (tak pandang bulu dari anak balita sampai kakek nenek) menari tarian ini.

    Di Perancis pun sama saja, disetiap pesta pasti ada tarian ini. Semua orang turun dan menari. Tak hanya untuk lomba saja.

    Masalahnya lagi acara menari di Jawa itu tidak ada. Maksudnya di sini semua orang menari. Seseorang yang menari itu hanya dijadikan tontonan. Jika ada acara (perkawinan/ultah/kampung/…) tidak ada spontanitas dan jika kita mengajak semua orang utk turun menari, tidak ada orang (hampir tidak ada) yang berpartisipasi.

    Alangkah manisnya/mesranya jika Pak Bodro/Kentring berpartisipasi dengan istri mereka masing-masing menari Poco-poco. Apalagi setelah makan malam, bisa melunturkan lemak dan menambah kemesraan pasangan tersebut.

    Juliachs last blog post..Urssaf

  10. :d Untung saya tidak suka poco-poco. Bukan itu saja saya juga tidak bisa dansa hehehe. Jadi bibit pertengkaran dengan suami berkurang satu.

    Tapi bagus sekali cerita bapak ini, memang seharusnya da pengertian antara suami istri dan terlebih jangan ada pengkotak-kotakan pekerjaan berdasarkan gender. Yang wajar sajalah.

    Salam saya pak
    EM

    Ikkyu_sans last blog post..Bermula dari air

      1. dalam perbincangan dengan pak kentring,disana hanya menjelaskan bahwa pak bodro hanya merasa tidak enak hati karena kabar diketahui bukan dari istrinya langsung.
        nah, itu yang membuat multitafsir. bisa saja para ibu “memfitnah” dengan menjadikan pak bodro sebagai kambing hitam agar meredam protes bu bodro. *sinetron mode on* 😀

        ershads last blog post..Pirates of Silicon Valley: Sejarah Hitam Bill Gates

        1. hah? kan bisa juga terjadi larangan pak bodro itu disampaikan kepada bu RT sebelum perbincangannya dengan pak kentring itu. tapi karena sudah telanjur, pak bodro membiarkannya, meski dengan perasaan menyesal. indikasi kuat atas larangan pak bodro itu juga muncul ketika pak bodro menyarankan istrinya itu agar tdk usah melabrak bu RT. itu versi fiksi saya, mas ershad. tapi boleh kok mas ershad punya versi lain, hehehe ….

  11. Salam
    Pakde!!!!!! iam back duh dah lama ga silaturrahmi ya, kangen nie..Btw itu cerita asyik Pakde karena gambaran kerumitan berumah tangga kala senja seperti itu banyak terjadi tuh, btw Tuh Pak Bodro puyeng karena lom dicass kali :d

    Nenyoks last blog post..The Real Zero??

    1. salam juga, mbak nenyok, wah, saya juga kangen nih, hehehe …. tapi nggak apa2 kok, mbak, blog ini kan bebas dikunjungi kapan saja mbak nenyok punya waktu … btw, makasih juga apresiasinya, mbak, hanya sekadar cerita slengekan kok.

  12. Saya dulu sempat mendengar selentingan mengenai demam tari poco-poco ini dulu. Tapi saya tidak pernah mempraktekkannya. Saya cuma terbengong-bengong melihat orang yang menari poco-poco dulu. BTW, gerakannya bagus juga sih. 😀

  13. Huehehehe… klimaksnya terasa di tebing tulisan. Betapa wacana ini (terutama dalam lingkup keluarga) masih tersikut-sikut oleh kapasitas, peran, serta ego individu.

    Sesuatu yang layak memang patut diperjuangkan ya, Pak Sawali. Asal pengejawantahannya selaras saja…

    Ciamik!

    Daniel Mahendras last blog post..Kompas 9 Oktober

  14. Persoalan kesetimbangan kerja suami-istri biasanya dijawab tegas oleh sang suami, “Kan saya yang cari uang !” Maka kala itu sang istri tak bisa berkutik tatkala menyuruh suami mencuci piring.8-|

    Ah, poco – poco tidak meawabah di kompleks perumahanku. :))

    Baca juga tulisan terbaru Mihael Ellinsworth berjudul Update Blog!!!

  15. Saya juga suka senam poco-poco lho pak…dulu dikompleks malah dilakukan terbuka dilapangan, anggotanya seluruh warga kompleks (bapak ibu, anak-anak), dan terbuka bagi siapa aja yang ikut. Dengan senam rame-rame lebih mengakrabkan suasana kompleks….

    Karena suami di Bandung, ya ga banyak ikut, tapi dia suka kalau isterinya sehat, langsing dan bugar….bahkan kalau disuruh nunggu di salonpun biarpun 2 jam tetap suka…cuma saya yang nggak nyaman….hehehe.
    Tapi sebelum nyonya pergi, minimal udah ngecek bahwa sarapan udah siap, buat teh hangat (tanpa gula, karena suami diabetes), susu low fat….

    1. wah, memang asyik banget tuh, bu enny kalau senam poco2 rame2 dg tetangga dan saudara sekampung. suasana jadi meriah dan hangat. btw, salut juga dg bapak yang sangat setia mendampingi ibu ke manapa pun, hehehe ….

  16. O, iya pak, setiap 3 bulan sekali “geng suami” yang terdiri dari teman-temannya semasa SMA sering kumpul..lha kalau kumpul, arisan dan juga ada dansa nya….dan karena suami jarang latihan, ya berisiko jika kakiku suka ketubruk…hahaha…
    Tapi saya melihat dansa, senam, kalau disikapi secara benar menyehatkan, dan ini juga dalam ruang terbatas, malah mengakrabkan suami isteri dan pertemanan.

    Baca juga tulisan terbaru edratna berjudul Betulkah suatu pertemanan memerlukan “unsur chemistry?”

    1. wahm istilahnya kok, “geng”, bu. tapi bagus juga tuh “geng: bapak yang masih sangat akrab dg teman2 sma-nya, bener2 salut. kayaknya senam dan dansa kalau serempak gerakannya jadi enak dilakukan dan dinikmati, bu.

  17. :waduh..waduh ibu badro ada aja..kow rela ninggalin pak badro sndirian dirmh..buat pak badro..yang sabar ya pa..kn orang yang sabar thu disyng Tuhan lho..N dengan ksbran jg pa Badro silahkan selesaikan pekrjaan rumah,masak kek,nyapu, nuci kek biar ntar ibu badronya plng pocopco ga marh2 lg..tu br namanya gender,td mmndng laki ato prmpuan..

  18. dalam berkeluarga harus memandang bahwa suami-istri adalah partner bukan atasan dan bawahan.jadi sebelum menikah harus memahami hal tersebut terlebih dahulu.

Tinggalkan Balasan ke Sawali Tuhusetya Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *