Membumikan Nilai Demokrasi dari Ruang Kelas

demokrasiSejak reformasi bergulir di negeri ini, atmosfer demokrasi berhembus kencang di segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat. Masyarakat pun menyambut “peradaban” baru itu dengan antusias. Kebebasan yang terpasung bertahun-tahun lamanya kembali berkibar di atas panggung kehidupan sosial. Meskipun demikian, atmosfer demokrasi itu tampaknya belum diimbangi dengan kematangan, kedewasaan, dan kearifan, sehingga kebebasan berubah menjadi “hukum rimba”.

Mereka yang tidak sepaham dianggap sebagai “kerikil” demokrasi yang mesti disingkirkan. Contoh paling nyata adalah meruyaknya berbagai aksi kekerasan yang menyertai perhelatan pilkada di berbagai daerah beberapa waktu yang lalu. Pihak yang kalah bertarung tidak mau menerima kekalahan dengan sikap lapang dada. Jika perlu, mereka memaksakan diri untuk melalukan tindakan anarkhi yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.

Jika kondisi semacam itu terus berlanjut, bukan tidak mungkin benih-benih demokrasi di negeri ini akan layu sebelum berkembang. Bagaimana mungkin nilai-nilai demokrasi bisa tumbuh dan berkembang secara kondusif kalau demokrasi dimaknai sebagai sikap besar kepala dan ingin menang sendiri? Bagaimana mungkin atmosfer demokrasi mampu menumbuhkan kedamaian, keadilan, dan ketenteraman kalau perbedaan pendapat ditabukan?
***

Disadari atau tidak, ketidakmatangan, ketidakdewasaan, dan ketidakarifan masyarakat dalam menyongsong tumbuhnya iklim demokrasi tidak terlepas dari buruknya penanaman nilai-nilai demokrasi dalam dunia pendidikan kita. Kelas bukan lagi menggambarkan masyarakat mini yang mencerminkan realitas sosial dan budaya, melainkan telah menjadi ruang karantina yang membunuh kebebasan dan kreativitas siswa didik.

Guru belum mampu bersikap melayani kebutuhan siswa berdasarkan prinsip kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan –sebagai pilar-pilar demokrasi– tetapi lebih cenderung bersikap bak “diktator” yang memosisikan siswa sebagai objek yang bebas dieksploitasi sesuai dengan selera dan kepentingannya. Masih menjadi sebuah pemandangan yang langka ketika seorang guru tidak sanggup menjawab pertanyaan muridnya, mau bersikap ksatria untuk meminta maaf dan berjanji untuk menjawabnya pada lain kesempatan. Hampir sulit ditemukan, siswa yang melakukan kekhilafan diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri. Yang lebih sering terjadi adalah pola-pola indoktrinasi dan dogma-dogma menyesatkan. Siswa diposisikan sebagai pihak yang paling bersalah sehingga harus menerima sanksi yang sudah dirumuskan tanpa melakukan “kontrak sosial” bersama siswa.

Ketika ada siswa yang mencoba bersikap kritis dengan bertanya: “Mengapa kalau guru terlambat tidak mendapatkan sanksi, sedangkan kalau siswa yang terlambat akan dikenai hukuman tanpa pembelaan? Bak seorang diktator, sang guru akan menjawab secara dogmatis bahwa hal itu sudah menjadi peraturan yang tak boleh ditawar-tawar lagi. Sungguh, sebuah dogma menyesatkan yang bisa membunuh nilai-nilai demokrasi dalam jiwa dan kepribadian siswa.
***
Seiring dengan berhembusnya iklim demokrasi di negeri ini, sudah saatnya dilakukan upaya serius untuk membumikan nilai-nilai demokrasi di kelas. Prinsip kebebasan berpendapat, kesamaan hak dan kewajiban, tumbuhnya semangat persaudaraan antara siswa dan guru harus menjadi “roh” pembelajaran di kelas pada mata pelajaran apa pun. Interaksi guru dan siswa bukanlah sebagai subjek-objek, melainkan sebagai subjek-subjek yang sama-sama belajar membangun karakter, jatidiri, dan kepribadian. Profil guru yang demokratis tidak bisa terwujud dengan sendirinya, tetapi membutuhkan proses pembelajaran. Kelas merupakan forum yang strategis bagi guru dan murid untuk sama-sama belajar menegakkan pilar-pilar demokrasi.

Bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantoro, mewariskan semangat “ing madya mangun karsa” yang intinya berporos pada proses pemberdayaan. Di kelas, guru senantiasa membangkitkan semangat berekplorasi, berkreasi, dan berprakarsa di kalangan siswa agar kelak tidak menjadi manusia-manusia robot yang hanya tunduk pada komando. Dengan cara demikian, kelas akan menjadi magnet demokrasi yang mampu menggerakkan gairah siswa untuk menginternalisasi nilai-nilai demokrasi dan keluhuran budi secara riil dalam kehidupan sehari-hari.

Sudah bukan zamannya lagi, guru tampil bak diktator yang menggorok dan membunuh kebebasan dan kreativitas siswa dalam berpikir. Berikan ruang dan kesempatan kepada mereka di kelas untuk tumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang kritis dan dinamis. Tugas dan fungsi guru adalah menjadi fasilitator dan mediator untuk menjembatani agar siswa tidak tumbuh menjadi pribadi mekanistik yang miskin nurani dan antidemokrasi.

Bukankah membangun pribadi yang demokratis merupakan salah satu fungsi pendidikan nasional sebagaimana tersurat dalam pasal 3 UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas? Kalau tidak dimulai dari ruang kelas, kapan anak-anak bangsa ini akan belajar berdemokrasi? ***

66 Comments

  1. wow, speechless, mantab banget kritikannya !
    seandainya semua guru diindonesia seperti pak sawali ! 🙂

    ershads last blog post..Modus Baru Penipuan ATM

    waduh, jadi malu nih. biasa aja kok mas ershad. hanya kebetulan saja kok tertarik menyoroti masalah yang satu ini….

  2. Cara pembelajaran mungkin harus ada diskusi pak, anak sekarang memang beda. Kalau dulu, kan kata guru selalu diikuti…Guru adalah singkatan dari digugu dan ditiru. Mungkin sekarang guru juga berperan sebagai fasilitator, moderator, sehingga anak-anak bisa mengemukakan idenya, tapi tetap pada koridor aturan main di kelas, sehingga nantinya mereka bisa berdebat dengan santun, bukan kok WTS (waton suloyo).

    Anak sulung saya sejak SMP sering menimbulkan masalah, dan baru berakhir setelah di UI, yang saya lihat karena dosennya demokratis. Guru-guru yang disenanginya adalah yang memberi “room” untuk diskusi, dan anak sebetulnya tak mengharapkan guru tahu semuanya…karena kadang ilmunya dibaca dari internet yang gurunya atau ibunya belum sempat baca.

    Dulu ada guru kesayangan anakku dan teman-temannya, karena masuk kelas selalu ada acara diskusi, beliau guru fisika…dan beliau sangat menghargai ketika anakku banyak bertanya, yang akhirnya beliau tanya..”Narpati, buku apa sih yang kok baca? Bapak boleh pinjam?” Ternyata buku itu, buku milik ayahnya, untuk mahasiswa tingkat persiapan ITB. Tapi pak guru tadi pandai, setelah beliau baca, beliau mengatakan..”Bapak masih bingung, kamu bisa menjelaskannya?” Anak saya maju ke kelas, menjelaskan semuanya. Sejak itu pak guru tadi punya asisten, tapi anak-anak tetap menghormati.

    edratnas last blog post..Suka duka ditinggal asisten saat anak masih kecil

    luar biasa, bu enny. mas narpati yang bagus budaya bacanya sangat mendukung kinerja guru yang kreatif dan inovatif spt pak guru fisika itu. sangat menghargai pendapat murid2nya.

  3. “Disadari atau tidak, ketidakmatangan, ketidakdewasaan, dan ketidakarifan masyarakat”
    hal yang tertulis adalah kenyataan yang bila diruntut bisa terdasar dari pola pendidikan yang salah cerna ,tapi memang tidak harus mutlak menyalahkan sang Guru
    walau memang mestinya mengembalikan filosofi jawa bahwa GURU ( digugu dan di tiru ) hukum atau perjanjian sepihak itu memang masih kental kita nikmati seperti Guru terlambat,kita terlambat bording,dlsbg ,ya mudah mudahan kita bisa mengikis hal hal tersebut
    meski ujar ujar seperti ing madyo….masih menjadi slogan dan para guru ( di sekolah),Kyai,pemimpin,Bos,dll belum memaknai dan menterjemahkan kata kata tersebut
    Embuh lah pak Bingung heheheheh
    saya juga belum berarti jejeje

    genthokelirs last blog post..Perempuan Bergaun Putih

    wew…. pendapat mas totok memang bener, kok, malah bingung sih, hehehehehe …..

  4. Ya. Memang sudah bukannya zamannya lagi guru menjadi pihak yang “terpaksa” untuk disenangi. Istilahnya, guru mesti “jemput bola” mendekatkan diri pada siswa. menanamkan kalau kritik yang sehat bukanlah kritik yang terbelenggu senioritas.

    Benar ya benar. Salah ya salah. guru pun bisa salah. Justru karena guru bisa salah. Guru lebih dewasa dan naik berlevel-level menjadikan kesalahan sebagai pelajaran. Hidup memerdekakan diri. Jangan mau cuma “ungguh-ungguh” (jadi robot) tak peduli salah atau benar.

    😉

    betul banget, mas syam. kira2 begitulah!

  5. wah…kalau dimulai dari kelas itu terlambat,pak. mestinya dimulai dari rumah. tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, kan pak? saya setuju banget.=d> sampai-sampai saya sering minta anak-anak untuk memilih materi yang harus dibahas di kelas, serta tekniknya. tapi saya sering dapat kritikan dari teman. wis ben sak karepe, aku duwe cara dewe kok… bgm pak wal? e… pak li?>:d

    bener jga, bu dwi. kalau panjengengan sudah merasa nyaman dg menggunakan mtode semacam kenapa dipusingkan respon temen2 yang kurang simpatik!

  6. hmm.. jadi membayangkan jika guru datang terlambat, trus di setrap di depan kelas ama muridnya.. asyik juga ya.. jam pelajaran jadi kosong soalnya.. hehehe…

    kembali ke guru.. saya pun punya pengalaman yang menarik seperti yang diceritakan bu enny di atas pak… dan bisa dibilang, apa yang beliau lakukan akhirnya memberikan pengaruh terhadap warna dan juga “pola” tersendiri ketika saya “mendidik”… :d

    yainals last blog post..5 Tips Segar Jualan Ide

    yapas, saya juga sepakat, mas. memang perlu sinergi yang bagus antara guru dan siswa sehingga nilai2 demokrasi bisa tumbuh dan membumi.

  7. Pak Sawali, tapi bagaimana dengan guru-guru yang masih totaliter?
    Guru yang masih berharap orang menganggapnya sebagai orang yang sangat terhormat sehingga anak didik adalah anak yang harus menurut padanya dalam segala hal 🙂

    Hal ini akan dipersulit juga ketika guru membawakan mata pelajaran yang memang tidak terlalu demokratis seperti hmmm.. misalnya Pelajaran Nilai-Nilai.
    Bolehkah murid mendebat nilai-nilai yang sudah terlanjur dianggap baik di masyarakat?

    Donny Verdians last blog post..Lagu Lama dan Kenangan Lalu

    hehehehe …. idealnya, terlepas dari mapel yang diampunya, seorang guru perlu menghargai [endapat murid2nya, sehingga kalau terjadi beda pendapat pun seorang guru tdk boleh serta-merta menganngap pendapatnya yang paling benar.

  8. stuju pak…! jadi nyesel dulu di sekolah banyakan diemnya, ngomong cuma kalo ditunjuk, he..

    Fifis last blog post..Ta’jil

    hehehehe …. gpp, mba fifi. sekarang kan dah nggak gitu lagi, hehehehe ….

  9. kalau mau berubah, agaknya musti revolusi besar-besaran dalam dunia pendidikan kita, pak sawali; merombak tak hanya kurikulum, juga kemampuan SDM para pelakunya.
    masalahnya guru-guru dan para pendidik kita sekarang kan tak lain adalah produk pendidikan generasi sebelumnya, yang notabene minim kemampuan membimbing jiwa demokrasi itu.
    dan kita cenderung melakukan repetisi, meneladani yang sudah ada.
    mungkin biar tak jadi apriori, mulai dari diri sendiri, secara bertahap berusaha menularkan kepada lingkungan masing-masing ya, pak?
    dan pak sawali telah melakukannya di sini.
    salut buat anda!

    marshmallows last blog post..For my dearest old pal

    walah, biasa aja kok, mbak. tapi, makasih banget apresiasinya ….

  10. Sudah bukan zamannya lagi, guru tampil bak diktator yang menggorok dan membunuh kebebasan dan kreativitas siswa dalam berpikir. >> setuju banget nich pak :-w kebanyakan guru kan githu

    hehehehe .. itu dia yang membuat atmosfre demokrasi di negeri ini jadi ndak sehat, haks….

  11. jadi ingat pas SMA pak, untuk semua materi diskusi utk semua matapelajaran, kami dikondisikan dalam kondisi rapat, ada pimpinan dan ada notulen, ada peserta rapat.
    Guru hanya melihat dan nanti menyimpulkan dan pada akhirnya kalo ada yg salah diingatkan.
    kita bisa berdebat sama teman sendiri dan saling bertukar informasi dalam forum tersebut, jadi betul2 kayak sidang anggota DPR itu…

    wah, model pembelajaran semacam itu jelas akan sangat menarik dan bermakna buat siswa, mas arul ….

  12. Dari dulu sekolah jauh dari ajang demokrasi. Sekolah tak bisa bebas berkreasi, karena materi pelajaran aja harus diatur puasa lewat kurikulum. Bahkan dulu lebih aneh lagi, semuanya harus diseragamkan… siswa di Papua harus belajar materi yang sama dengan pelajar di Jawa, misalnya Ini Budi atau Ini Bapak Budi. Padahal di Papua sangat asing nama Budi… kenapa tidak secara demokratis materi itu diubah saja!

    Qizinks last blog post..Pagina Kosong (Salute To Sutardji)

    bisa jadi hal itu akibat penulis buku teks yang melupakan psikologi perkembangan siswa siswa, mas qizink.

  13. Sorry pak, saya ga komen thema diatas, aga berat bagi saya. Saya cuma mau komen ttg blog yang katanya tulisan slengean ??? saya ga nemuin tuh si slengean ada dimana. Coba bapak buka blog saya tuh, bukan slengean lagi pak , tapi ancur2an, amburadul, jungkir balik tulisannya (maklum masih bayi … baru belajar nulis…) :d:d

    siyekateas last blog post..Hard Rock & Heavy Metal Part 1

    hehehehehe …. saya merasa begitu, mas, haks… ok, segera meluncur !

  14. Waduh…. ini banyak yang tersinggung lho pak….. kalau saya 😮 berbeda, hahahahahahahaha, njenengan kok pinter ngorek kami. Btw, terimakasih atas peringatannya.:)>-

    mudah2an saja ndak sampai ada yang tersinggung, pak jaitoe, hehehehe ….

  15. Para guru harus diberdayakan agar bisa menciptakan suasana yang kondusif bagi pembelajaran yang demokratis. Bahwa jaman sekarang itu tidak sama dengan jaman mereka dulu sekolah, dulu waktu para guru itu masih duduk di bangku sekolah, metodenya masih berupa penyampaian materi dan minggu depan diadakan ulangan. Sekarang jaman sudah berbeda, siswa sudah mulai kritis dengan materi yang akan dipelajari.
    Masih teringat guru SMU saya pernah berkata “Tujuan saya sebagai guru adalah bagaimana agar siswa meyenangi Fisika, baik di kelas maupun di luar”. Sungguh luar biasa cara penyampaiannya di dalam kelas, hampir semua rumus fisika itu diturunkan oleh siswanya, guru saya hanya membimbing dan moderator diskusi.

    wah, info yang menarik, mas adipati. makasih tambahan dan sharingnya….

  16. aduh mas, aku tak tega menyalahkan guru
    sebab guru juga srng menjadi korban ketidakadilan
    guru tak bs diharap jd pelopor demokrasi
    selama elite bangsa blm bs menjd teladan
    dan selama demokrasi kt masih berkutat sebatas Menang-Kalah

    mikekonos last blog post..Sahabat Sejati Cuma Ilusi

    hehehehe … saya juga ndak menyalahkan rekan2 sejawat, mas agus. taoi ndak ada salahnya mulai peduli terhadap nilai2 demokrasi.

  17. Visi, misi, dan infrastruktur sudah mendukung tegaknya demokrasi. Bahkan otonomi daerah memberikan wewenang seluas-luasnya teramsuk juga di bidang pendidikan. Mungkin yang manjadi masalah adalah mental. Alamnya sudah demokratis, tapi mentalnya masih otokrasi.

    laporans last blog post..Charles Darwin Mendapat Permintaan Maaf Dari Gereja atas Penolakan Teori Evolusi

    yaps, saya kira pak aryo tdk salah. agaknya memang perlu ada perubahan kultur mental secara berkesinambungan, pak …

  18. betul pak sawali, pendidikan adalah awal dari pembangunan sebuah peradaban. Jika pendidikan tidak digarap dengan sebaik-baiknya, maka berimbas pada peradaban bangsa dikemudian hari.

    sepakat banget dg pendapat dan harapan, mas epat ….

  19. Semoga tidak lama lagi kita akan melihat iklim yang demokratis di ruang kelas, Pak Sawali. Harus ada contoh penerapan demokrasi bagi anak-anak kita. Apabila di rumah suasana demokratis tidak bisa didapatkan maka ruang kelaslah seharusnya yang memberi pengalaman dmokrasi.

    Moh Arif Widartos last blog post..Politisi Jenggot Takut Suara Terbanyak

    yaps, mudah2an saja hal itu segera terwujud melalui dunia pendidikan kita, mas arif ….

  20. saya sangat setuju kalimat ini, pak:
    “Disadari atau tidak, ketidakmatangan, ketidakdewasaan, dan ketidakarifan masyarakat dalam menyongsong tumbuhnya iklim demokrasi tidak terlepas dari buruknya penanaman nilai-nilai demokrasi dalam dunia pendidikan kita.”

    persoalan bangsa ini, adalah persoalan cara berpikir yang sudah tertanam dan disuntikkan, salah satunya di ruang pendidikan. tapi sekaligus pemecahannya juga mestinya salah satunya dari tempat yang sama

    makasih apresiasi dan tambahan infonya, mbak icha.

  21. Alhamdulillah pak sawali, guru2 SMP dan SMK ku dulu udah demokratis banget…mungkin aku sekolahnya udah jaman reformasi jadinya semua2 bebas berdemokrasi, maklum waktu itu masih semangat2 nya menyambut demokrasi itu…]]

    syukurlah, mas agung. memang banyak tantangannya sih utk memasukkan nilai2 demorasi itu ked alam proses pembelajaran.

  22. tetap saja demokrasi itu ada nilai yang dijunjung kan pak? misalnya sekelas sepakat bahwa kelas yang tidak disapu tidak apa-apa, bukan berarti kelas kotor itu baik, hehehe…
    *dalam berdemokrasi di kelas, ada yang golput juga nggak pak?

    betul sekali, mas andy. jika demokrasi jalan, sepertinya hal2 seperti itu akan bisa teratasi.

    Andy MSEs last blog post..saya deg-degan

  23. Kuncinya terletak di sistem, pak Guru. Kalo sistem pendidikannya benar-benar dijalankan dengan baik, dan semua aspek poendukung sistem tersebut juga sepaham saya yakin apa yg dicita-citakan UU tersebut dapat tercapai. 😀

    betul, mas eko. meski demikian, perlu dibarengi dg kultur mental yang bagus.

  24. Kukira pola jaman batu itu memang masih top down. Sehinga tak tercipta atmosfir demokrasi di sana. Ironisnya masih belum banyak yang berani keluar dari jaman batu. Lha Bagaimana, Tuan…

    wah, zaman batu? sungguh primitif kalau begitu, mas daniel, hehehehe …

  25. mantab pak sawali, klo semua guru seperti ini tentu generasi mendatang tak ada lagi yang menelikung demokasi :)>-

    Niffs last blog post..Free Magz Cermin Kemajuan Kota

    walah, biasa, aja kok, mas, hanya sekadar tulisan iseng. yaps, kita berharap mudah2an dunia pendidikan kita mampu melahirka demokrat2 sejati.

  26. Sebaiknya dalam keluarga juga begitu. Orangtua tidak menjadi diktator terutama pada saat anak2 mulai beranjak dewasa. Untuk masa depan mereka, mereka berhak memilih untuk menjadi apa kelak, dan bukan karena paksaan orangtua ingin menjadi ini dan ingin menjadi itu.

    Mudah2an dengan atmosfir seperti ini, selain iklim demokrasi akan lebih cepat terwujud, iklim kedewasaan bangsa dengan kemandirian dalam pengambilan keputusan dapat lebih dini juga terbentuk…..

    Yari NKs last blog post..Kejujuran

    sepakat banget dg bung yari. mudah2an hal itu bisa terwujud, bung!

  27. Masalahnya, orang Indonesia belum terbiasa berdemokrasi baik di sekolah, di rumah, maupun di lingkungan. Sering terjadi, dengan modal kata-kata “kebebasan aktualisasi diri” yang terjadi adalah kebablasan. Bukannya demokrasi, malah jadi “bagaimana saya”.
    Tapi, sesuatu bila tidak dimulai, kapan bisa menjadi? Biarin aja kebablasan, mudah-mudahan berjalan menuju arah yang lebih baik.

    Iwan Awaludins last blog post..Hombreng and Lesbong

    kita tetep berharap semoga saja ada perubahan, pak iwan.

  28. Wahh saya sepakat sekali mas
    karena saya memahami klo kita mau membuat perubahan besar mari kita mulai dari yang terkecil dulu
    salam mas
    maaf saya jarang online jadi baru bisa comment di blog favorit aku ini mas 😀

    gpp, mas maulana, blog ini bisa dikunjungi kapan saja saat mas maulana ol kok.

  29. Setuju sekali dengan tulisan bagus ini, Pak.
    Membumikan demokratis bisa dilakukan dengan menghargai pendapat siswa. Membuat peraturan kelas pada pelajaran yang kita ampu dengan cara musyawarah, dan banyak cara lainnya. :)>-

    yaps, mudah2an rekan sejawat mulai bisa menerapkannya di dalam kelas, pak suhadi.

    suhadinets last blog post..Klimaks Cinta Rani

  30. Saya jadi malu pak. karena kalau di kelas, saya orangnya killer kata anak-anak. kalo nggak tertib sedikit saya pasti marah.. hehehehehe… apalagi kalau dah denger omongan kotor, pasti saya suruh keluar anaknya.. hiks..

    Kalo sudah omongan kotor dari siswa yang keluar [berangkat dari kebiasaan] sementara saya tak terbiasa dengan omongan kotor, apa yang mesti saya lakukan? Dada biasa bergemuruh menahan amarah, kalau ndak dikeluarkan dalam bentuk suara, biasanya dalam bentuk fisik, gebrak meja misalnya.

    Saya kalau urusan yang satu ini sulit banget menerapkan demokrasi. Dari pandangan nilai dan norma manapun itu jelas salah dan bagi saya sudah tidak dapat ditoleransi, apalagi dalam ruangan kelas.

    Pembelaan macam mana yang pantas diberikan jika kesalahan itu terjadi karena kebiasaan dan mereka tahu betul kalau saya, kami, kita semua tahu bahwa omongan kotor itu tak pantas keluar dari mulut kita apalagi dalam ruangan pendidikan.

    Walhasil, dalam kurun 2 tahun ini, saya merasakan dampaknya. Umpatan dan omongan kotor jarang bahkan hampir tidak ada, tereduksi secara signifikan.

    Yah, hanya untuk mereka yang tak tahu aturan dan tak tahu diri yang tak mendapat hak demokrasi di kelas saya. Selebihnya, saya tetap berusaha dalam koridor kebebasan berekspresi, berpendapat juga kalau saya tak bisa menjawab jelas akan saya sampaikan pada lain kesempatan. Atau kalau tidak, saya jawab via blog.

    Contoh kongkritnya, ketika ada siswa yang bertanya “bagaimana pelajaran TIK mampu mengintegrasikan lingkungan hidup ke dalam materi pembelajaran?”. Terus terang saya bingung, mencoba berkonsultasin dengan beberapa kawan, entah dari mana datangnya, saya akhirnya menggagas sistem ujian online yang ramah lingkungan dengan menghemat kertas, biaya, tenaga dan waktu.

    Terima kasih pak, telah mengingatkan saya untuk tetap menjunjung persamaan derajat kemanusiaan.

    hehehhee …. tulisan ini sekaligus juga menjadi pengingat buat saya pribadi, pak gempur, yang belum sepnuhnya mampu bersikap demokratis di dalam kelas. saya percaya pak gempur mampu bersikap yang teraik di depan para murid. salam kreatif, pak.

  31. Demokrasi di kelas?
    Hmm…perlu dicoba nih…
    Hatta sampai pemilihan buku pelajaran, misalnya setiap siswa diwajibkan melakukan survey sendiri, lalu dilakukan voting….
    Pasti menarik tuh…
    Keputusan pembelian buku tidak di tangan guru lagi.
    Btw, bisa nggak ya murid diberi kebebasan seperti ini?
    Boro2 menilai buku mana yang bagus, dari mana mereka bisa menilai?

    Hery Azwans last blog post..Dokter Ngantuk

    idealnya, memang anak2 perlu diajak bersama2 utk membahas topik yang akan dipelajari berdasarkan buku teks yang ada, bung azwan. ttg pemilihan buku teks, agaknya, masih perlu otoritas guru. kalau diserahkan kepada siswa bisa repot karena pemahaan mereka terhadap buku teks belum cukup memadai.

  32. Jika sekiranya semua guru/dosen berpikiran seperti pak sawali, pasti pendidikan kita bakal lebih maju.

    Saya ingin menyorot pendapat pak sawali yang mengatakan

    Masih menjadi sebuah pemandangan yang langka ketika seorang guru tidak sanggup menjawab pertanyaan muridnya, mau bersikap ksatria untuk meminta maaf dan berjanji untuk menjawabnya pada lain kesempatan

    Saya teringat dengan cerita Imam Maliki yang notabene seorang ulama yang sangat terkenal, bahkan hasil ijtihadnya dibuatkan sebuah mahzab yang memiliki pengikut sangat banyak. Beliau pernah disodorkan 40 macam pertanyaan, dan 36 pertanyaan dijawab dengan “Tidak Tahu”. Tapi bukan berarti bahwa Imam maliki adalah seorang ulama yang bodoh, dia cuma tidak mau memberikan jawaban yang salah atas sesuatu yang sebenarnya belum dia ketahui. sekarang ada tidak orang seperti itu saat ini? kebanyakaan orang sekarang menjawab seadanya saja karena tidak mau disebut bodoh

    Hairs last blog post..Kesesatan Berpikir

    tambahan info yang sangat berharga, mashair. makasih vanget. semoga saya dan rekan2 sejawat bisa bersikap seperti imam maliki itu.

  33. Demokrasi mahal ya. Baru tumbuh sudah diterpa badai anarkis, diktator, penindasan kreatifitas dll. Kapan ya, bibit-bibit demokrasi tumbuh subur di tanah air ini, yang seharusnya ditaman dulu dibangku sekolahan.

    yaps, betul banget, bung ozank, saya sependapat kalau sekolah menjadi tempat yang strategis utk menanamkan nilai2 demokrasi itu.

  34. Saya sangat setuju dengan pendapat pak Sawali, pasalnya semua keterpurukan negeri ini bermula dari proses pendidikan, baik pendidikan di sekolah maupun di rumah. Saya akan menggambarkan diri saya (guru) di sekolah yang hanya memberikan doktrin, bukan keteladanan.
    Kita lihat saja korupsi, mungkin sebagian besar guru mengatakan “Apa sih yang bisa dikorupsi guru?, paling-paling kapur”. Jawaban ituhanya sekedar dalih, karena tidak mendapat kesempatan korupsi. Tanpa disadari bahwa terlambat masuk kelas juga bagian dari korupsi. Jelas ini termasuk merugikan anak-anak dan membentuk watak terlambat adalah hal biasa kalau nanti sudah bukan jadi murid. Kita lihat saja budaya jam karet adalah hal umum, mungkin ini salah satu sisi keberhasilan pendidikan.
    Pejabat salah adalah hal lumrah, rakyak gak boleh salah. Ketaatan terhadap aturan, hukum dan norma-norma sering dicontohkan salah dalam proses pembelajaran. Kalau guru salah itu wajar… tapi kalau siswa yang salah maka aturan harus ditegakkan. kalau guru yang salah,… ya kita harus menghormati jasa-jasa guru sebagai pahlawan. damaknya ternyata penegakan hukum di negeri ini menjadi kewajiban rakyat.
    kaya kampanye…..

    budis last blog post..RENUNGAN RAMADHAN

  35. 🙁 pengajar, baik guru ataupun dosen memang memiliki karakter demikian. ya… itulah produk lama. relasi pendidik dengan peserta didik memang dibangun dalam relasi subjek-objek. itu pula mengapa kita membuat standarisasi yang terlalu sempit dalam menilai peserta didik.
    :(( peserta didik diasusikan dengan tabula rasa, kosong dan harus diisi, karenanya setiap wacana kontra akan dianggap pemberontakan. itu yang menyebabkan sebagian kecil pendidik terkadang mengambil alternatif nuntuk bersebrangan dengan mainstream. itupun dianggap tidak populis pada level struktural lembaga pendidikan. berbeda adalah kesalahan. bukankah perbedaan adalah rahmat jika setiap orang dapat melihat beyondnya?
    Kini, seminar pendidikan semakin marak. namun apa daya, pemikiran strukturalis membuat pendidik mengikutinya atas dasar potensi promosi dan naik golongan. haks.
    :-w pada akhirnya wacana perubahan hanya menjadi milik swasta. itupun tidak akan jauh dari program kapitalisasi pendidikan.
    Dimana Oemar Bakri? sudahlah… katanya semua berbicara mengenai ‘berapa gaji mengajar di sekolah tersebut?’ Apa daya, perbedaan sepertinya masih akan jadi kebodohan dan kenakalan dalam mainstream pendidikan kita.
    Mungkin ini hanya pandangan ekstrim korban institusi pendidikan. Ini belum lagi ditambah perbedaan yang muncul karena ‘tidak bisa bayar uang SPP’, birokrasi institusi pendidikan akan bertanya ‘memangnya kamu punya masalah apa?’ pada mahasiswanya… wajar, suatu sistem dimana pendidik menjadi sekedar pentransfer hapalan dan keterampilan teknis menanyakan hal tersebut… sang mahasiswapun hanya bisa berkata dalam hati ‘masalahnya kita beda Bu, anda tidak pernah merasakan miskin’…. :-\”

    BLogicThink [dot] coms last blog post..WordPress Plugin : Nofollow Free

  36. Memang mestinya gitu pak., Tapi tidak hanya itu kadang siswa yang diajar ramai sendiri, buru-buru sang guru menyalahkan siswa, padahal kadang sebenarnya karena dia tidak memberikan pembelajaran yang menarik untuk siswanya

  37. Salam
    Hmm klau saya lebih seneng menyebutnya saling memberi dan menerima, guru dan murid berlaku layaknya mitra yang bekerjasama, berdiskusi memberi masukan bahkan kritikan satu sama lain, anak diajari bersikap kritis namun santun, dan gurupun membimbing murid dengan penuh teladan, kan asyeek Pak jadi si anak ta sungkan namun tah hilang hormat, gurupun mendapat feedback yang baik *halah sok tahu ya* 🙂

    nenyoks last blog post..Beritahu Aku

  38. Wah, tepat sekali pak Li. Semoga tidak berlarut ‘demokrasi bablas’ di negeri ini. Masa harus setiap saat ada kantor dan gedung yang hancur akibat memaksakan kehendak dan tak lapang dada. Ujung-ujungnya ya memang pendidikan kita kurang berhasil, termasuk belum bisa membekali generasi bangsa dengan mental demokrasi yang benar-benar demokrasi.

    atep t hadiwa jss last blog post..MAKNA MENDALAM DARI SUATU CIPTA SASTRA YANG SEDERHANA

Tinggalkan Balasan ke Hery Azwan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *